Kiai Muzani Bunyamin dan Kafarat Ucapan
‘Bodoh’
Sore itu seorang guru dipanggil Kiai Muzani.
Suasana pesantren berubah sedikit tegang. Ada kecemasan di wajah guru yang
dipanggil itu. Ketika guru itu telah sampai di ndalem kiai, Ia duduk
sembari menundukkan kepalanya. Kakinya tidak bersila, tapi menyamping seperti
posisi duduk perempuan.
Tak lama kemudian, Kiai Muzani keluar dari
ruang tengah membawa nampan yang berisi dua piring nasi dan dua gelas teh
hangat. Beliau duduk di hadapan santri yang telah menjadi guru itu dan
menyodorkan nampan itu.
“Monggo didahar, kang—silahkan
dimakan, kang,” ujarnya dengan lembut.
“Kulo sampun.—saya sudah,”jawabnya
terbata-bata.
“Mboten kerso tho dahar sareng kulo?—tidak
berkenan makan bersama saya?”tanya Kiai Muzani dengan tersenyum.
“Monggo didahar—silahkan
dimakan,”lanjutnya sembari menggeser satu piring nasi itu di depan santrinya.
“Nggih Kiai—baik kiai,”santri yang
telah menjadi guru dan pengurus pondok itu makan dengan penuh ketidak-nyamanan.
Setelah selesai makan, Kiai Muzani bertanya:
“Benar tadi pagi njenengan mengumbar kata ‘bodoh’ pada salah seorang santri
yang tidak lancar menyetorkan hafalannya?”
“Benar, Kiai,” jawabnya terbata-bata.
“Jangan lakukan itu lagi,” kata Kiai Muzani.
“Dalam proses belajar, kita tidak boleh mengumbar kata ‘bodoh’. Para santri itu
orang yang sedang berporses, dari kurang tahu menjadi sedikit tahu, kemudian
bertambah pengetahuannya.
Ada yang cepat, ada pula yang lambat. Jika
seorang guru, seperti njenengan, dengan mudah mengatakan muridnya bodoh, apa
artinya pengajaran dan pendidikan?”
Santri itu diam, tertunduk tanpa berani
memandang wajah kiainya. “Perlu diingat, tidak ada orang bodoh, yang ada hanya
orang yang sedang berusaha menghilangkan kebodohannya.
Jadi, jangan dilakukan lagi, ya? Memberikan
label bodoh kepada mereka, sama saja dengan mengendurkan keinginan belajar
mereka,” ujarnya perlahan dan jelas. “Tapi ya, karena sudah terlanjur,
njenengan harus pilih kafaratnya, sedekah atau puasa.”
“Puasa mawon, Kiai—puasa saja, Kiai,”
katanya dengan kepala masih tertunduk.
“Baik, tapi ada syaratnya, buka dan sahurnya
harus bersama saya di sini,” ucap Kiai Muzani dengan senyum yang terus
mengembang.
Santri itu hanya menunduk, tak mampu berkata
apa-apa lagi. Di wajahnya menampakkan rasa malu dan segan yang luar biasa.
Jauh-jauh hari, ketika masih menjadi santri
di Pondok Pesantren Darussa’adah, Bulus, Kritig, Kebumen, saya sering mendengar
Romo Kiai Muzani dawuh: “Pesantren itu bukan sekedar tempat pengajaran, tapi
tempat pendidikan.
Karenanya pesantren menerima semua orang.
Anak nakal ketika masuk pesantren diharapkan kenakalannya bisa berkurang. Anak
baik-baik ketika masuk pesantren diharapkan kebaikannya bertambah.
Maka dari itu, untuk para ustadz, hati-hatilah
dalam mendidik dan mengajar, jangan sampai kata-kata ‘bodoh’ dan ‘nakal’ keluar
dari kemarahan kalian. Jika ada yang melakukannya, harus bayar kafarat. Bukan
sebagai kewajiban hukum, tapi kewajiban moral kita sebagai pendidik, bahwa
untuk sesaat kita telah lalai dan marah, sehingga mengeluarkan kata-kata tak
bijak semacam itu.”
Di waktu lain, beliau dawuh: “Ucapan ‘bodoh’
itu bisa menjadi pemutus keinginan belajar santri. Dikhawatirkan Ia akan
memandang belajar tidak lagi berguna, toh saya orang bodoh, tidak ada harapan
untuk saya, guru agama saya sendiri memvonis saya sebagai orang bodoh.
Jika itu terjadi, kita telah mencegah
kewajiban thalâb al-‘ilm (menuntut ilmu). Jangan sampai tindakan dan
ucapan kalian sebagai guru, menjadi benih keputus-asaan murid dalam menuntut
ilmu.”
Kiai Muzani menerapkan kebijakan kafarat
tidak lain sebagai pendidikan spiritual untuk para guru di pesantrennya. Selama
mereka tinggal di pesantren, mereka adalah santri yang memerlukan pendidikan.
Karena itu, Kiai Muzani biasanya mendampingi pelaksanaan kafarat santri atau
puteranya sendiri yang kadung melontarkan kata-kata itu.
Jika mereka memilih kafarat puasa, maka Kiai
Muzani akan berpuasa bersama mereka. Ini adalah bentuk pendidikan yang
diterapkan Kiai Muzani sebelum melepas para guru itu di lingkungannya
masing-masing.
Dasar pandangan Kiai Muzani adalah, anak yang
menerima hardikan ‘bodoh’ akan meninggalkan bekas di hatinya. Kepercayaan
dirinya memudar. Bahkan tidak sedikit yang meyakini bahwa dirinya memang bodoh,
tak perduli seberapa keras mereka belajar, Ia tetap bodoh sebagaimana perkataan
gurunya.
Rasulullah saja menegur seorang ibu yang
membentak anaknya ketika Ia mengencingi baju Rasulullah. Beliau berkata:
“Mengapa kau memarahi dan merenggutnya dengan kasar?” Kemudian beliau
melanjutkan: “Baju yang kotor ini bisa dicuci dan dihilangkan kotorannya, tapi
siapa yang bisa menghilangkan kekeruhan jiwa seorang anak atas bentakan dan
renggutan kasar kepadanya?”
Karena itu, bagi Kiai Muzani kultur yang
sehat dan lingkungan yang baik dalam aktivitas didik-mendidik sangat penting.
Salah satu pendekatan yang beliau ambil adalah dengan menerapkan kebijakan
kafarat untuk guru yang mengatai muridnya ‘bodoh’.
Kebijakan kafarat itu bersifat tarbiyyah
akhlaqiyyah (pendidikan keakhlakan), sebagai sebuah proses pembiasaan dalam
menerapkan akhlak yang baik sehari-hari, khususnya bagi para guru dan pendidik.
Mereka adalah pemeran utama dalam pembangunan
lingkungan yang sehat, jika gurunya baik, insya Allah muridnya pun baik,
seperti kata pepatah: “Guru kencing berdiri, murid kencing berlari.”
Semoga amal ibadah beliau (al-Maghfûrlah,
KH. Imam Muzani Bunyamin) diterima di sisi Allah dan seluruh dosanya diampuni
olehNya. Lahu al-fâtihah... []
Muhammad Afiq Zahara, Alumnus Pondok
Pesantren al-Islah, Kaliketing, Doro, Pekalongan dan Pondok Pesantren
Darussa’adah, Bulus, Kritig, Petanahan, Kebumen.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar