Khalifah al-Mu’tadhid: Jago Perang dan Kuat di Ranjang
Oleh: Nadirsyah Hosen
Khalifah al-Mu’tadhid menerima ba’iat menggantikan pamannya,
Al-Mu’tamid, pada 17 Oktober 892 M. Beliau melanjutkan Dinasti Abbasiyah yang
terus berusaha bertahan di tengah lepasnya sejumlah wilayah yang telah
independen dari pusat kekuasaan. Mampukah al-Mu’tadhid mempertahankan
kekhilafahan yang dibangun atas dasar hubungan darah kekeluargaan ini? Simak
yuk lanjutan ngaji sejarah politik Islam.
Imam Suyuthi mendeskripsikan sosok al-Mu’tadhid sebagai penguasa
yang pemberani, tampilannya perkasa, sangar, banyak akalnya, dan perkasa dalam
urusan seks. Kalau dia marah, tanpa ampun, komandan tentara pun dia perintahkan
dikubur hidup-hidup. Dia juga seorang politikus ulung.
Sekitar sepuluh hari setelah dilantik menjadi Khalifah, datang
utusan penguasa Mesir, Khumarawayh bin Ahmad bin Thulun, yang bernama Ibn
al-Jassas. Utusan ini membawa berbagai hadiah dari mulai emas, unta, kuda,
jerapah, sampai pelayan kasim. Tujuannya adalah untuk menikahkan putri
Khumarawayh dengan anak al-Mu’tadhid yang bernama Ali. Ini adalah diplomasi
tingkat tinggi mengingat dulu bapak al-Mu’tadhid yang bernama al-Muwaffaq,
berperang melawan Ahmad bin Thulun, bapak Khumarawayh.
Namun, seperti dikisahkan Imam Thabari, Khalifah al-Mu’tadhid
menolak proposal pernikahan untuk anaknya itu. Malah dia memutuskan bahwa dia
sendiri yang akan menikahi putri dari Khumarawayh. Anaknya yang diincar, malah
bapaknya yang kepengen menikah. Alamak!
Nama putri penguasa Mesir itu Qatrun Nada. Dia membawa satu juta
dinar pada hari pernikahannya. Ini tercatat sebagai pernikahan paling megah dalam
sejarah khilafah Abbasiyah. Bapaknya pun diangkat resmi sebagai Emir yang
menguasai wilayah Mesir dan Syiria dengan kewajiban menyetor 300 ribu dinar per
tahun kepada al-Mu’tadhid, sang khalifah, yang juga menantunya.
Pernikahan politik ini sayang tidak berlangsung lama. Qatrun Nada
meninggal tak lama kemudian. Emir Khumarawayh di Mesir dibunuh pelayannya
sendiri yang merupakan selingkuhan istrinya. Anak lelaki Khumarawayh yang
bernama Jays berkuasa menggantikan bapaknya sebagai Emir, namun hanya berkuasa
beberapa bulan, dia diturunkan dan dibunuh, lalu digantikan oleh adiknya, yaitu
Harun. Suasana kacau di Mesir ini langsung dimanfaatkan al-Mu’tadhid yang
menancapkan kuku kekuasaannya dengan tajam.
Pada 3 Maret 893 M, Khalifah al-Mu’tadhid memimpin salat Idul
Adha. Tapi ada yang aneh. Baik Imam Thabari maupun Imam Suyuthi sama-sama
melaporkan bahwa al-Mu’tadhid mengucapkan takbir sebanyak enam kali pada rakaat
pertama, dan hanya mengucapkan sekali takbir di rakaat kedua. Dan tidak
terdengar dia menyampaikan khutbah.
Yang dilakukan oleh al-Mu’tadhid ini tentu merupakan pelanggaran
fatal. Kalau di zaman old
sudah ada medsos, bisa jadi al-Mu’tadhid bakal di-bully netizen: masak seorang Khalifah tidak
mengerti berapa kali takbir dalam salat Ied? Kalau di zaman sekarang netizen
banyak yang nyinyir dengan seorang presiden yang kabarnya tidak fasih membaca
surat al-Fatihah saat menjadi imam salat, lalu bagaimana dengan Khalifah
al-Mu’tadhid yang malah salah dalam tata cara salatnya?
Berbeda dengan jumhur ulama, dalam mazhab Hanafi, membaca
al-Fatihah itu bukan sebuah kewajiban. Bisa diganti dengan surat lainnya. Jadi,
kalau berdasarkan mazhab Hanafi, jangankan keliru membaca surat al-Fatihah,
tidak membaca Fatihah saja salat tetap sah!
Lantas, bagaimana dengan tindakan al-Mu’tadhid yang membaca takbir
enam kali di rakaat pertama dan sekali takbir di rakaat kedua, serta tidak
menyampaikan khutbah, adakah mazhab fiqh yang mendukungnya?
Masalah takbir dalam salat Ied ini ada beberapa pendapat yang
tercatat dalam literatur keislaman. Pertama, mayoritas ulama berpendapat jumlah
takbir salat Ied itu tujuh kali di rakaat pertama dan lima kali di rakaat
sebelum membaca surat Al-Fatihah. Inilah pendapat mayoritas sahabat Nabi, para
tabi’in, fuqaha tujuh di Madinah, juga Khalifah Umar bin Abdul Azis. Begitu
pula pendapat Imam Syafi‘i dan Imam Malik.
Kedua, Imam Malik berpendapat tujuh takbir di rakaat pertama itu
termasuk takbiratul ihram, sementara Imam Syafi‘i mengatakan tujuh takbir
itu tidak termasuk takbiratul ihram. Imam Malik hanya mewajibkan mengangkat
tangan saat takbir yang pertama di rakaat pertama, setelah itu tidak perlu
mengangkat tangan saat membaca takbir.
Ketiga, Ibn ‘Abbas, Anas bin Malik (keduanya sahabat Nabi) dan
Sa‘id ibn Musayyab (tabi’in)
berpendapat, rakaat pertama dan kedua sama-sama tujuh kali. Keempat, Ibn Mas‘ud
dan Abu Musa Al-Anshari (keduanya sahabat Nabi), Imam Awza‘i dan Imam Abu
Hanifah (pendiri mazhab Hanafi) berpendapat, rakaat pertama salat Ied tiga kali
takbir sebelum membaca surat Al-Fatihah, dan pada rakaat kedua tiga kali takbir
sebelum ruku‘.
Selanjutnya yang kelima, Muhammad bin Sirrin berpendapat pada
rakaat pertama dan kedua membaca empat kali takbir (tidak termasuk takbiratul
ihram). Keenam, ada pendapat yang menyatakan tujuh kali takbir pada rakaat
pertama, terus membaca Al-Fatihah, lantas pada rakaat kedua membaca Al-Fatihah
dan surat pendek lain, baru kemudian lima kali takbir. Ini pendapat Huzaifah
dan Sa‘id bin Al-Ash.
Ketujuh, ada yang membedakan jumlah rakaat takbir pada salat Idul
Fitri dan Idul Adha. Diriwayatkan, Ali bin Abi Thalib berpendapat, pada salat
Idul Fitri 11 kali takbir (lima di rakaat pertama dan enam di rakaat kedua),
sedangkan pada salat Idul Adha tiga kali takbir pada rakaat pertama dan dua
kali pada rakaat kedua.
Yang dilakukan oleh Khalifah al-Mu’tadhid saat menjadi imam salat
Ied jelas tidak berasal dari ketujuh pendapat fiqh di atas. Tapi, ya siapa sih
yang berani melawan Khalifah yang sangar dan garang ini?
Kesangarannya membuat dia juga dijukuki sebagai Abul ‘Abbas
as-Saffah kedua. Bukan saja karena dia berhasil memimpin Dinasti Abbasiyah dari
jurang kehancurannya, namun al-Mu’tadhid juga mengikuti as-Saffah, pendiri
Dinasti Abbasiyah, yang terkenal sangar dan garang terhadap lawan-lawan
politiknya. Siapa yang melakukan kesalahan di depan al-Mu’tadhid akan terkena
hukuman berat.
Misalnya, menurut Imam Suyuthi, ada tiga pencuri kebun yang
dihukum mati oleh al-Mu’tadhid. Tindakan ini tentu melebihi ketentuan pemahaman
tradisional fiqh jinayat yang paling maksimal hanya menjatuhkan hukuman potong
tangan, bukan malah dibunuh. Tapi, ya sekali lagi, siapa sih yang berani
melawan tindakan Khalifah?!
Masa kempimimpinan al-Mu’tadhid juga ditandai dengan berbagai
fenomena alam dan musibah bencana alam. Terjadi gerhana matahari, di susul
badai angin. Kemudian menyusul gempa bumi dengan korban 150 puluh ribu
penduduk. Segarang-garangnya khalifah tentu takluk dengan kekuatan alam.
Imam Suyuthi juga menceritakan bahwa terjadi luapan air di
sejumlah kota sehingga air bersih susah didapat. Penduduk tidak sanggup membeli
air bersih yang harganya mendadak meningkat. Walhasil, banyak yang kelaparan
dan karena darurat terpaksa memakan bangkai binatang. Secara fiqh tentu ini
dibenarkan. Kaidah fiqhnya: ad-dharurah
tubihul mahzhurat (kondisi emergensi membolehkan hal-hal yang
sebelumnya dilarang).
Ada pula warna merah di langit Mesir, saking terangnya, sehingga
melihat wajah atau bangunan lain itu menjadi merah semua. Ini berlangsung dari
Ashar sampai malam hari. Setahun kemudian di Bashrah juga berhembus angin
kencang yang berwarna kuning, kemudian berubah menjadi hijau dan hitam. Lima
ratus pohon kurma tumbang karena angin kencang ini. Disusul dengan hujan batu
es yang beratnya sama dengan uang 150 dirham. Hujan batu es ini membuat rusak
sejumlah kota.
Ini artinya mau negara yang pakai sistem khilafah atau sistem
demokrasi, yang namanya fenomena alam dan musibah bencana alam itu gak pilih-pilih
datangnya. Jangan pula terburu-buru menganggap setiap bencana alam sebagai azab
Allah. Paling penting itu kita mengantisipasi agar musibah bencana alam bisa
kita minimalisasi dampak dan korbannya.
Bukan lagi rahasia umum kalau Al-Mu’tadhid menggemari perempuan
dan bangunan (an-nisa wal
bana). Keduanya pas dan cocok. Al-Mu’tadhid membangun gedung mewah
seharga 60 ribu dinar di kota Buhairah. Dia tinggal di dalamnya bersama para
budak wanitanya. Salah satu yang paling dia sayangi bernama Darirah. Wafatnya
Darirah membuat Sang Khalifah berduka dan goncang jiwanya. Sesangar-sangarnya
Khalifah, ya klepek-klepek juga dia ditinggal kekasihnya. Mungkin cuma seorang
Dilan yang sanggup menahan beratnya rindu, Khalifah aja gak kuat.
Imam Suyuthi melaporkan al-Mu’tadhid kondisinya melemah. Menurut
penulis Tarikh al-Khulafa
ini, al-Mu’tadhid kebanyakan berhubungan seks sehingga kondisi fisiknya tidak
terjaga. Dia wafat pada usia sekotar 48 tahun, dan berkuasa selama 10 tahun.
Kita akan lanjutkan ngaji sejarah politik Islam pada kesempatan
berikutnya. Kita akan simak apakah setelah pemerintahan ala tangan besi yang
dijalankan al-Mu’tadhid yang sukses menarik Khilafah Abbasiyah dari jurang
kehancuran akan dapat berlanjut pada khalifah berikutnya? Atau malah balik lagi
ke kondisi yang kacau balau? Sabar ya menunggu lanjutannya. []
GEOTIMES, 2 Februari 2018
Nadirsyah Hosen | Rais Syuriah NU Australia – Selandia Baru dan
dosen senior di Faculty of Law, Monash University
Tidak ada komentar:
Posting Komentar