Narasi Welas Asih
Oleh: Haedar Nashir
Ketika seorang Muslim yang berpuasa diajak bertengkar pada bulan
Ramadhan, Nabi memberikan pesan luhur: katakan inni shaimun, aku sedang
berpuasa. Sungguh betapa dahsyat ajaran puasa dalam mendidik rohani insan
beriman agar mampu menunjukkan sikap ihsan sebagai kebaikan semesta.
Nabi Muhammad menemukan seseorang yang tengah memaki hamba
sahayanya, padahal kala itu tengah berpuasa. Nabi lalu memberi orang itu
makanan. Si fulan itu sungguh kaget dan berkata kepada Nabi, “Aku ini sedang
berpuasa, ya Rasul”. Nabi kemudian menjawab, yang artinya, “Banyak orang
berpuasa, tiada hasil puasanya kecuali lapar dan dahaga.”
Pernah pasca-Perang Uhud Nabi ditanya oleh para sahabat, “Ya
Rasulullah, mengapa engkau maafkan dan mendoakan kebaikan bagi orang-orang yang
melukai di kala Perang Uhud?” Padahal, kala itu Nabi terluka sampai giginya
pecah. Nabi pun menjawab, “Aku diutus bukan untuk melaknati orang, tetapi aku
diutus sebagai pembawa rahmat dan risalah dakwah.”
Nabi pun sosok pemaaf. Nabi bersabda, yang artinya, "Sesungguhnya
Allah itu pemaaf dan suka memaafkan." Di lain hadis Nabi bersabda,
"Barang siapa memberikan maaf ketika dia mampu membalas, maka Allah akan
mengampuni dia di saat kesukaran." Beliau pun bersabda, "Bahwa orang
yang memberikan maaf kepada orang yang menzaliminya karena mengharap ridha
Allah maka Allah akan menambahkan kemuliaan kepadanya di hari akhirat.”
Penggalan kisah dan sabda Nabi itu membuktikan baginda Rasulullah
meneladankan kepada umatnya ajaran kasih sayang atau welas asih terhadap sesama,
meski pada orang yang dianggap musuh dan yang tidak disukai sekalipun. Orang
Islam harus mencintai sesamanya sebagaimana mencintai dirinya, jangan menyakiti
dan memperlakukan orang lain dengan kasar dan sewenang-wenang. Islam niscaya
menghadirkan ajaran dan perangai kasih sayang!
Kasih sesama
Islam sesungguhnya agama kasih. Nabi bahkan diutus untuk menjadi
rahmat bagi seluruh alam (QS al-Anbiya: 107), yang mengandung makna menebar
kasih sayang yang melintasi. Jangankan terhadap sesama manusia, bahkan tehadap
seluruh makhluk ciptaan Allah setiap insan Muslim niscaya memberikan kasih
sayang. Dalam salah satu hadisnya Nabi bersabda, yang artinya, “Barang siapa
yang mengasihi apa yang di bumi, maka yang di Atas akan mengasihimu.” Allah SWT
bahkan memihak para hamba-Nya sejauh hamba-hamba itu mengasihi dan membela
sesamanua.
Inilah ajaran mulia Islam tentang welas asih. Ajaran kasih sayang
dalam Islam harus diwujudkan dalam perilaku sehari-hari. Pada suatu ketika,
Ibnu Abbas menyampaikan wejangan bahwa Allah Yang Rahman dan Rahim
memerintahkan kepada orang beriman untuk bersabar tatkala ada yang membuat
marah, membalas dengan kebaikan jika ada yang berbuat jahil, dan memaafkan
manakala ada yang berbuat buruk.
Jika setiap hamba melakukan perbuatan yang baik tersebut, Allah
akan melindunginya dari gangguan setan dan akan menundukkan musuh-musuhnya.
Mereka yang semula bermusuhan malah dapat menjadi teman dekatnya karena tingkah
laku baik tersebut.
Islam harus membentuk perangai umatnya agar lurus dan lapang hati
dalam menghadapi keadaan. Nabi bersabda, ahabbu
al-din ila Allah al-hanafiyatu al-samhah, bahwa agama yang paling
dicintai di sisi Allah adalah agama yang lurus dan lapang hati (HR Muslim dari
Ibn Abbas). Makna sebaliknya, umat Islam jangan menampilkan perangai yang buruk
dan kerdil diri, baik terhadap sesama seiman maupun terhadap mereka yang
berbeda agama dan golongan. Tampilkan sikap lurus dan lapang hati sehingga
wajah Islam sebagai agama welas asih hadir di hadapan sesama.
Dalam berdakwah dan menyikapi orang lain yang berbeda keyakinan
sekalipun, sungguh terhormat manakala lurus dan lembut hati. Kelembutan hati
jika tetap dilandasi kekuatan prinsip atas keyakinan Islam tidak akan
menjadikan diri rendah atau kalah di hadapan orang lain. Allah bahkan
mengajarkan kepada mukmin dan Muslim untuk berlemah-lembut sebagaimana
firman-Nya dalam Alquran, yang artinya, “Maka disebabkan rahmat dari Allahlah
kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi
berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu.” (QS Ali
Imran: 159).
Nabi dengan kekuatan prinsipnya juga memiliki sifat lemah lembut
dan tidak kasar hati. Menurut al-Hasan al-Bashri, sosok sufi ternama, “Berlaku
lemah lembut inilah akhlak Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wasallam yang di mana
beliau diutus dengan membawa akhlak yang mulia ini."
Mereka yang memiliki sifat membalas keburukan dengan kebaikan
tentu memiliki kekuatan rohani kesabaran yang luar biasa. Menurut mufasir
ternama Ibnu Katsir Abu Fida Ismail, “Bahwa yang mampu melakukan seperti ini
adalah orang yang memiliki kesabaran. Karena membalas orang yang menyakiti kita
dengan kebaikan adalah suatu yang berat bagi setiap jiwa."
Lantas, untuk apa dan atas nama apa insan Muslim menjadi garang,
keras, dan bersikap penuh amarah terhadap sesama? Termasuk bagi para pemimpin,
mubaligh, penyebar risalah, serta sosok-sosok Muslim dan mukmin di mana pun
berada dan dalam menyikapi banyak hal dalam berdakwah, mengapa harus kasar
hati? Sejauh masih dapat lembut hati dalam menyikapi keadaan, maka ke
depankanlah sikap dan perangai yang mulia itu. Kuat prinsip, murni akidah, dan
sebagai penggerak Islam tidak harus garang dan keras hati sehingga nilai-nilai habluminannas makin luruh
dan kering. Bukankah Nabi bersabda, "Aku tidak diutus kecuali untuk
menyempurnakan akhlak mulia."
Keutamaan perilaku
Kini sikap welas asih dan keutamaan akhlak umat Islam diuji. Dalam
kehidupan sehari-hari akan selalu hadir peristiwa dan keadaan yang membuat
insan beriman marah, jengkel, dan masygul hati. Kehidupan pada era kini, baik
karena faktor internal maupun luar akan hadir berbagai keadaan serbakeras dan
ragam masalah yang mewarnai kehidupan di mana saja. Sebagai insan beriman tentu
diajarkan agar setiap masalah harus disikapi dan dihadapi guna dicari
penyelesaiannya. Namun, umat Islam mesti memiliki keagungan hati, pikiran, dan
tindakan dalam menghadapi kehidupan yang tidak menyenangkan sekalipun.
Manusia Muslim selaku insan biasa memang berhak marah dan masygul.
Namun, marahnya insan beriman mesti berbeda jauh dari mereka yang tidak beriman
atau siapa pun dia yang tidak menjadikan agama sebagai pedoman hidup. Umat
Islam di negeri ini niscaya mengikuti jejak Nabi bagaimana mempraktikkan sikap
serbautama, seperti adil, lapang hati, sabar, toleran, lembut, dan segala
kebaikan dalam hubungan dengan sesama. Termasuk saling menghormati dengan umat
yang beragama lain. Memupuk jiwa toleran dan lapang hati tidak hanya dalam
keindahan lisan dan tulisan, tetapi tidak kalah pentingnya dalam tindakan.
Bagi Muslim yang baik dan tulus, lebih-lebih bagi para ahli
ibadah, sungguh niscaya menampilkan sikap lapang hati dan welas asih meski
kepada orang yang menzalimi sekalipun. Ikutilah perintah Allah yang utama ini,
"Maka disebabkan rahmat dari Allahlah kamu berlaku lemah lembut terhadap
mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka
menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu, maafkanlah mereka, mohonkanlah
ampun bagi mereka, dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu.
Kemudian, apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakkallah kepada
Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal
kepada-Nya." (QS Ali Imran: 159).
Ketika kekerasan, kevulgaran, dan dunia serbagarang hadir dalam
kehidupan saat ini, termasuk terorisme, maka sungguh mulia manakala umat Islam,
lebih-lebih pada bulan Ramadhan yang penuh berkah, menampilkan narasi pikiran,
ujaran, sikap, dan tindakan welas asih sebagai perwujudan ihsan dalam ajaran
Islam. Jangan memberikan zona toleran seinci pun tehadap setiap bentuk
kekerasan atas nama apa pun, bertujuan apa pun, dan oleh siapa pun. Kekerasan
adalah kekerasan, yang menggerus welas asih antarsesama dan merugikan
kehidupan.
Perbedaan politik, cara pandang, dan posisi antaranak negeri dalam
kehidupan umat dan bangsa di negeri ini tidak diiringi dengan menebar
kebencian, perseteruan, permusuhan, kekerasan, dan kesewenang-wenangan yang
menjadikan kehidupan menjadi kehilangan jiwa welas asih dan kebaikan semesta.
Umat beragama, lebih-lebih umat Islam sebagai penduduk mayoritas, niscaya
menampilkan uswah hasanah, termasuk dalam menebar ajaran welas asih di tubuh
bangsa dan negeri tercinta ini.
Para tokoh dan elite pun mesti memberikan keteladanan dalam
menampilkan perangai welas asih dan tidak mengirimkan pesan-pesan serta ajakan
yang garang serta menyebar amarah dan permusuhan. Hentikan memproduksi
pesan-pesan yang beraura negatif, buruk, dan marah yang boleh jadi akan diikuti
oleh umat yang awam. Peran para tokoh wibawa sungguh mulia dalam meneladankan
perangai utama itu. Umat dan warga bangsa di negeri ini sungguh mengikuti para
pemimpinnya sebagai panutan diri. Ketika para pemimpin dan elitenya menyebar
ajaran welas asih, umat pun akan menirunya.
Jiwa welas asih yang bersih dan lapang menunjukkan kemuliaan
setiap insan Muslim, bukan kejatuhan atau rendah posisi. Ketika berhadapan
dengan orang lain yang berbuat buruk sekalipun, sikap welas asih, dan ihsan itu
harus tetap dikedepankan untuk membedakan diri selaku Muslim dengan lainnya.
Allah berfirman, yang artinya: “Tolaklah (keburukan) dengan cara yang lebih
baik, maka tiba-tiba orang yang antaramu dan antara dia ada permusuhan
seolah-olah telah menjadi teman yang sangat setia.” (QS Fushilat: 34-35). Lalu,
mengapa mesti serbagarang dan menebar gaduh yang menggerus jiwa welas asih
selaku insan Muslim yang autentik? []
REPUBLIKA, 27 Mei 2018
Haedar Nashir | Ketua Umum Muhammadiyah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar