Kamis, 03 Mei 2018

Mahfud MD: Amien, Politik, Masjid


Amien, Politik, Masjid
Oleh: Moh Mahfud MD

Ketika sedang istirahat Jumat (27/4) kemarin sore handphone (HP) saya berdering-dering. Setelah saya tolak, berdering lagi dan berdering lagi. Ketika dengan agak malas-malasan saya mengangkat HP itu, ternyata peneleponnya adalah wartawati yang langsung saja nyerocos bertanya tentang Amien Rais dan langkah-langkah politiknya. “Mengapa Amien Rais sekarang ini bersikap frontal terhadap pemerintah?” tanya sang wartawati.

Saya jawab, sejauh yang saya kenal, sejak pertengahan 1980-an posisi Amien Rais memang seperti itu. Ia selalu mengambil posisi berhadapan dengan pemerintah. Ketika Presiden Soeharto masih sangat kuat, dia lawan Soeharto dan menjadi salah satu tokoh, bahkan ada yang menyebut, lokomotif reformasi. Saat Gus Dur berkuasa, dia hantam Gus Dur habis-habisan sampai makzul.

Saat Presiden Susilo Bambang Yudhoyono bertakhta, Amien menyerang habis dan mengejek Pak SBY dengan sebutan Pak Susi (comotan dari kata Susilo), bukan menyebut Presiden SBY seperti yang menjadi sebutan populer bagi sang presiden ketika itu. Saat ini pun dia melakukan gempuran yang bertubi-tubi terhadap Presiden Jokowi. Dalam ingatan dan catatan saya, entah kalau terlewat, Amien Rais itu hanya jinak ketika pemerintahan Presiden Megawati Soekarnoputri berlangsung.

Selama Presiden Megawati memerintah, Amien tidak melakukan serangan apa pun. Pada saat itu, seingat saya, Amien hanya mengkritik perdana menteri negara jiran Mahathir Mohammad karena, katanya, berlaku tidak adil terhadap Anwar Ibrahim.

Tapi dia terdiam ketika Mahathir balik menghardik mengatakan, “Jangan campuri urusan kami, urus itu ratusan ribu rakyat Indonesia yang menjadi pendatang haram dan mencari makan di Malaysia.” Waktu itu memang sedang hangat berita adanya 70.000 TKI yang dibuang di Nunukan oleh Pemerintah Malaysia.

Jadi bagi mereka yang kenal lama dengan Amien Rais, ya, begitu itulah dia sejak dulu.

“Apakah langkah-langkah yang seperti itu tidak merusak persatuan kita bangsa Indonesia?” tanya wartawati itu lagi.

“Tergantung orang yang memahaminya saja,” jawab saya.

Dalam iklim demokrasi, bagi Amien dan para pengikutnya, mungkin itu biasa saja sebagai bentuk kritik. Toh, Amien sendiri bisa dikritik juga. Saya, sebagai murid Pak Amien Rais, juga sering mengkritik. “Kritik seperti apa?” tanya sang wartawati lagi.

Ketika pekan lalu Amien Rais berbicara adanya partai Allah dan partai setan, saya menyatakan bahwa dalam faktanya di Indonesia tidak tepat membuat kategori partai Allah dan partai setan. Di semua partai itu ada juga orang-orang baik yang menjaga kejujurannya, tetapi juga di semua partai ada pencoleng dan koruptor terkutuknya. Coba kalau berani sebut satu saja partai mana yang partai setan? Atau sebut satu saja mana yang partai Allah?

Pasti tidak bisa karena di Indonesia sekarang memang tidak ada partai yang benar-benar buruk seperti kandang setan dan tidak ada partai yang benar-benar bersih seperti tempat bersemayamnya hamba-hamba Allah yang saleh.

Para pengikut Amien mencoba meluruskan bahwa di dalam Quran dan hadis ada istilah hizbullah dan hizbussyaithan seperti yang dikatakan Amien. Saya jawab, kalau itu, ya, memang benar, tetapi kata hizb di dalam kedua sumber primer ajaran Islam itu bukan berarti partai seperti yang terkesan dinisbatkan Amien Rais terhadap keadaan Indonesia sekarang. Kata hizb di Quran dan hadis di situ berati barisan, tentara, kelompok, garda, pasukan.

Ada istilah hizbullah yang saat Nabi hidup dulu berarti barisan tentara Allah dan hizbussyaithan yang berarti kelompok pengikut setan. Ada juga istilah hizbul wathon yang berarti barisan pembela tanah air, barisan nasional, atau garda bangsa.

Saat ini memang ada kata hizb yang dikaitkan dengan gerakan yang berbau politik seperti Hizbullah di Lebanon atau Hizbut Tahrir. Tapi istilah partai Allah atau partai setan tidak bisa dipergunakan untuk memotret situasi politik, apalagi partai politik, di Indonesia sekarang.

Jawaban mengada-ada dikemukakan juga bahwa partai Allah itu adalah partai yang tidak membela penista agama. Menurut saya klaim itu terlalu lancang. Bolehlah ada partai yang mengklaim tidak membela penista agama, tetapi selama di partainya ada koruptor atau pembela koruptor, maka dia tidak boleh mengklaim partainya sebagai partai Allah. Klaim seperti itu menodai kemahasucian Allah karena koruptor dan para pembelanya itu justru dilaknat oleh Allah.

Selain soal partai Allah dan partai setan, wartawati itu bertanya juga tentang pernyataan Amien Rais bahwa khutbah di masjid boleh diisi dengan pesan politik.

“Apakah itu benar?” tanya wartawati itu. “Bisa benar dan bisa salah,” jawab saya. Boleh saja di masjid kita menyampaikan pesan politik asalkan yang politik tingkat tinggi (high politics), tetapi hindarkanlah menyampaikan pesan politik praktis (low politics) yang sudah menyangkut kepentingan praktis dari kelompok-kelompok politik yang ada sekarang di Indonesia.

Dulu Nabi mengelola high politics dari masjid, misalnya memerintahkan tegaknya keadilan dan hukum, melakukan musyawarah dalam mengelola pemerintahan, membantu kaum lemah, dan sebagainya.

High politics adalah politik sebagai konsep dan inspirasi tentang kebaikan hidup bernegara, berbangsa, dan bermasyarakat. Adapun low politics adalah politik praktis yang sudah diwarnai kepentingan kelompok-kelompok politik yang saling bersaing seperti serigala.

Saya setuju dengan Buya Syafii Maarif bahwa untuk konteks Indonesia yang seperti sekarang, di masjid hanya boleh menyampaikan pesan politik tingkat tinggi (high politics) dan bukan politik rendah (low politics) yang saling melakukan klaim atas kebenaran sebagai miliknya. Jadi pesan politik yang boleh disampaikan di masjid adalah pesan yang sejuk yang tertuju kepada semuanya, bukan mendukung yang sebagian dan menyerang sebagian lainnya.

“Apakah sikap dan langkah-langkah Amien Rais itu tidak menimbulkan perpecahan di Partai Amanat Nasional (PAN)?” tanya wartawati itu lagi. “Jangan mancing-macing, ya,” jawab saya sambil tertawa.

PAN itu masih terlihat solid, masih menghormati Amien Rais, dan masih di bawah kendali Zulkifli Hasan. PAN tidak pecah, tetapi pengurus-pengurusnya dibuat sibuk oleh Amien Rais untuk menjelaskan bahwa banyak orang salah paham terhadap maksud baik Amien Rais.

Pengurus PAN juga dibuat sibuk untuk menjelaskan bahwa pernyataan Amien Rais itu tidak ada kaitannya dengan PAN. Soal penjelasan pengurus PAN dipercaya ataupun tidak oleh masyarakat, itu soal lain lagi.

“Kesan saya, sih, pengurus PAN seperti dipaksa untuk menjadi pemadam kebakaran, hahaha,” kata saya sambil mematikan HP, tidak memberi kesempatan lagi kepada wartawati itu untuk terus bertanya kepada saya tentang Amien Rais. []

KORAN SINDO, 28 April 2018
Moh Mahfud MD | Ketua Asosiasi Pengajar Hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi Negara (APHTN-HAN); Ketua MK (2008-2013)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar