Akhirnya HTI Resmi Dibubarkan
Oleh: Zuhairi Misrawi
PENGADILAN tata usaha negara (PTUN) akhirnya memutuskan surat
keputusan (SK) Kementerian Hukum dan HAM perihal pembubaran Hizbut Tahrir
Indonesia (HTI) sudah sesuai aturan. Artinya, organisasi HTI resmi dibubarkan.
Gugatan HTI ditolak semuanya. Majelis hakim memutuskan berdasarkan
fakta-fakta persidangan yang secara eksplisit menyebutkan HTI mempunyai intensi
menyusun konstitusi yang bertentangan dengan Pancasila. HTI juga terbukti
sebagai organisasi politik, bukan organisasi sosial keagamaan sehingga badan
hukum organisasi tidaklah tepat.
Tentu saja, keputusan PTUN tersebut disambut positif banyak
kalangan karena akhirnya pengadilan mengambil langkah hukum yang tepat.
Pasalnya, keberadaan HTI menjadi polemik yang berkepanjangan di tengah-tengah
masyarakat. Di dunia Islam lainnya, HTI sudah lama menjadi organisasi terlarang
karena ditengarai dapat mengancam eksistensi sebuah negara.
Selama ini HTI hanya bisa eksis di negara-negara Eropa dan Amerika
Serikat dengan argumen hak asasi manusia yang sebenarnya ditentang HTI. Kenapa
HTI menjadi organisasi terlarang dan harus dibubarkan?
Pertama, HTI secara eksplisit mengusung ideologi khilafah.
Ideologi itu pada hakikatnya ingin melakukan glorifikasi khilafah di masa lalu
untuk diterapkan di masa kini. Kita semua tahu, sejak jatuhnya Dinasti Ottoman
pada 1923 di Turki, dunia Islam tidak lagi berada di dalam payung khilafah.
Turki sendiri memilih jalur sekularisme sebagai antitesis terhadap khilafah.
Dunia Islam lainnya pun meninggalkan khilafah dan menjadi negara-bangsa yang
sekuler atau semisekuler.
Jikapun tidak sekuler, mereka memilih untuk membentuk negara-bangsa yang berlandaskan hukum Islam. Setidak-tidaknya di dalam konstitusi mereka menyebut Islam sebagai dasarnya agama Islam, seperti di Mesir dan Pakistan.
Jikapun tidak sekuler, mereka memilih untuk membentuk negara-bangsa yang berlandaskan hukum Islam. Setidak-tidaknya di dalam konstitusi mereka menyebut Islam sebagai dasarnya agama Islam, seperti di Mesir dan Pakistan.
Tidak relevan
Intinya, tidak ada satu pun negara yang mayoritas penduduknya
muslim memilih sistem khilafah. Mereka memandang khilafah sudah tidak relevan
lagi untuk diterapkan pada masa kontemporer, bersamaan dengan runtuhnya Dinasti
Ottoman di Turki pada 1923.
Kedua, sistem khilafah bukan jantung ajaran Islam. Hal tersebut
disebutkan secara eksplisit oleh al-Igi dalam kitabnya, al-Mawaqif, yaitu kitab
komentator terlengkap terhadap teologi Imam Abu al-Hasan al-Asy’ari, bahwa
khilafah bukan terhadap ajaran primer (ushuliyyat) dalam Islam.
Artinya, khilafah sebagai sistem politik termasuk ajaran yang
sekunder (furu’iyyat). Karenanya, tidak ada kewajiban bagi umat Islam untuk
mendirikan sistem khilafah. Kalangan Ahlussunnah wal Jamaah sepakat bahwa
sistem politik dalam Islam berdasarkan musyawarah (syura), bisa menjadi
khilafah, teokrasi, dan demokrasi. Semuanya diserahkan kepada umat Islam untuk
menentukan sistem yang terbaik.
Mari kita lihat fakta politik umat Islam pada masa kontemporer
yang secara mayoritas tidak menerima khilafah. Hampir seluruh dunia Islam
menolak khilafah. Mereka menganggap sistem khilafah dapat mengganggu eksistensi
negara dan solidaritas kebangsaan. Pasalnya HTI secara eksplisit mengafirkan
nasionalisme dan sistem negara-bangsa.
Menurut Imam Besar Al- Azhar Mesir Syekh Ahmed Tayyeb, bahwa
mendirikan khilafah termasuk upaya membuang-buang waktu. Hal itu karena konteks
umat Islam saat ini sudah berbeda seratus persen dengan konteks umat Islam di
masa lalu. Bukan hanya itu, Imam Besar Al-Azhar Mesir juga berpandangan bahwa
sistem khilafah berpotensi menimbulkan konflik dan perseteruan di tengah umat
Islam.
Intinya sistem khilafah merupakan sebuah ijtihad politik yang bisa
ditegakkan dan bisa juga tidak ditegakkan. Namun, bila melihat konteks politik
dunia Islam saat ini, sistem khilafah sama sekali sudah tidak mungkin
ditegakkan karena dunia Islam sudah memilih bentuk negara-bangsa dengan sistem
yang secara umum mengadopsi demokrasi.
Ketiga, HTI mempunyai pandangan yang mudah mengafirkan pihak-pihak
yang tidak sejalan dengan pandangan mereka. Hal tersebut dapat ditemukan dengan
mudah dalam kitab-kitab yang ditulis Taqiyuddin al-Nabhani, pendiri Hizbut
Tahrir, yang menyebukan secara eksplisit bahwa setiap negara yang meskipun
secara mayoritas penduduknya muslim, tapi tidak menerapkan khilafah, maka
mereka disebut kafir. Begitu pula mereka yang menerapkan demokrasi, juga
dianggap kafir.
Mengancam soliditas
Kecenderungan mengafirkan mereka yang tidak menerapkan sistem
khilafah menjadi persoalan serius karena dapat memecah belah umat Islam.
Apalagi di negara kita yang secara bulat sudah menjadikan Pancasila sebagai
dasar negara, dan demokrasi sebagai sistem untuk memilih pemimpin di lembaga
legislatif dan eksekutif.
Jika cara pandang HTI tersebut dibiarkan, akan menimbulkan
benturan di tengah-tengah masyarakat. Pasalnya HTI telah menganggap khilafah
sebagai sistem yang fi nal, sebagaimana yang telah digariskan Taqiyuddin
al-Nabhani. Pemutlakan terhadap sistem khilafah sangat bertentangan dengan
mayoritas pandangan umat Islam. Sebagaimana dijelaskan di atas, tidak ada
kewajiban bagi umat Islam untuk menerapkan sistem khilafah karena khilafah
bersifat sekunder, bukan ajaran primer dalam Islam.
Dalam konteks keindonesiaan, khilafah dapat mengancam soliditas
dan solidaritas kebangsaan karena kita sudah memilih Pancasila sebagai dasar
negara, Undang-Undang Dasar Tahun 1945 sebagai konstitusi, Negara Kesatuan
Republik Indonesia sebagai bentuk negara, dan Bhinneka Tunggal Ika sebagai
semboyan untuk penyatukan keragaman bangsa.
Maknanya, jika ideologi dan sistem khilafah yang diyakini HTI
dibiarkan berkembang, tidak menutup kemungkinan adanya benturan di tengahtengah
masyarakat. Setidaktidaknya dengan kalangan Nahdlatul Ulama dan kelompok Islam
lainnya yang secara eksplisit telah menyatakan Pancasila sebagai dasar negara
yang bersifat final.
Di samping itu, sistem khilafah bertentangan dengan kebinekaan
yang sudah menjadi karakter utama negeri ini, terutama keragaman agama, suku,
dan keyakinan. Maka dari itu, mayoritas warga menyambut baik langkah pengadilan
yang secara konstitusional menolak organisasi HTI.
Meskipun demikian, hal tersebut bukan akhir dari upaya mengatasi
maraknya kampanye sistem khilafah. Toh setelah dikeluarkan keputusan
Kementerian Hukum dan HAM, HTI masih terus menyebarluaskan sistem khilafah
melalui bendera yang lain. Artinya, pemerintah dan masyarakat harus membuat
kanal dialog perlunya pencerahan perihal absurditas khilafah dalam konteks
keindonesiaan. Diperlukan radikalisasi Pancasila, khususnya bagi kaum muda dan
mereka yang sudah terpapar ideologi khilafah. []
MEDIA INDONESIA, 08 Mei 2018
Zuhairi Misrawi | Intelektual Muda Nahdlatul Ulama, Ketua Moderate
Muslim Society (MMS)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar