TGH Shaleh Hambali
Memanggil Santrinya dengan Sebutan Kiai
Sebagai pendidik
sekaligus panutan masyarakat, Tuan Guru Haji (TGH) Muhammad Shaleh Hambali
(1896-1968) mempunyai strategi khusus dalam memotivasi siswa agar menjadi
manusia hebat dan bermanfaat di masa mendatang. Strategi tersebut dilakukan
dengan memanggil seluruh santrinya dengan sebutan kiai.
Sebutan kiai untuk
para santrinya merupakan upaya ulama yang juga dikenal sebagai Tuan Guru
Bengkel ini menyalurkan energi positif kepada santri agar memiliki motivasi
berlipat untuk menjadi orang yang beilmu dan bermanfaat bagi orang lain. Hal
ini sesuai dengan karakter kiai atau tuan guru dalam sebutan masyarakat Nusa
Tenggara Barat.
Shaleh Hambali yang
lahir di Desa Bengkel, Labuapi, Lombok Barat ini merintis Pondok Pesantren
Darul Qur’an Bengkel. Melalui pesantren ini, ia bukan hanya memberikan ilmu agama,
tetapi juga menggembleng siswa dengan wawasan kebangsaan sehingga generasi muda
mempunyai jiwa nasionalisme tinggi.
Setidaknya
indoktrinasi nasionalisme ini terlihat di dalam tiga butir wasiatnya sesaat
sebelum meninggal dunia. Pertama, peliharalah persatuan dan kesatuan di antara
sesamamu. Kedua, belajarlah pada guru yang beraliran Ahlussunnah wal Jamaah.
Ketiga, peliharalah Yayasan Perguruan Darul Qur’an dan usahakanlah agar
berkembang.
Wasiat tersebut
terpampang rapi di dinding Pondok Pesantren Darul Qur’an agar diketahui oleh
para santri, guru, dan ustadz sehingga visi Tuan Guru Bengkel bisa diwujudkan
dalam setiap gerak langkah pesantren. Dari ketiga wasiat tersebut, TGH Shaleh
Hambali menginginkan kesinambungan peran para santrinya, terutama ketika sudah
hidup di tengah masyarakat.
Cucu Tuan Guru
Bengkel, TGH Halisussabri mengungkapkan seluruh santrinya saat ini setidaknya
menjadi penyebar ajaran TGH Shaleh Hambali, baik dia mendirikan pesantren,
menjadi pendakwah, guru ngaji, dan lain-lain. Hal ini menurut dia merupakan
wujud motivasi Shaleh Hambali yang memotivasi santri dengan panggilan kiai.
Mereka menjadi pelayan umat dengan tetap memegang teguh ajaran Aswaja NU.
Shaleh Hambali
merupakan Rais Syuriyah pertama Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama (PWNU) Nusa
Tenggara Barat (NTB). Ia menjabat posisi tertinggi di NU NTB selama tiga
periode, 1953-1968. Dengan kata lain, sampai akhir hayatnya, pengarang 17 kitab
ini menjabat Rais Syuriyah.
Pengalaman
mendakwahkan NU di Pulau Lombok, Sumbawa, dan sekitarnya, Shaleh Hambali
bebrapa kali dikunjungi para kiai, di antaranya KH Wahab Chasbullah, KH
Saifuddin Zuhri, KH Idham Chalid, Subhan ZE, KH Yusuf Hasyim, dan tokoh-tokoh
lainnya.
Di saat disambangi
langsung oleh para kiai besar tersebut, Shaleh Hambali mengajak serta mereka
untuk menyampaikan NU secara mendalam kepada masyarakat NTB. Shaleh Hambali
yang menjadi panutan utama disambut antusias oleh warga sehingga pemahaman NU
dan Aswaja masyarakat NTB semakin kuat.
Shaleh Hambali juga
tidak pernah terputus dengan fatwa dan gerakan Hadratussyekh KH Hasyim Asy’ari
dalam mengawal pergerakan nasional melawan ketidakperikemanusiaan penjajah.
Salah satunya penanaman cinta tanah dan jiwa nasionalisme kepada generasi muda,
masyarakat NTB, dan para santri.
Bahkan, komitmen
kebangsaan Shaleh Hambali dalam melawan setiap gerakan yang mengancam keutuhan
bangsa dan negara mendapat perhatian khusus dari Presiden Soekarno saat itu.
Hal ini terlihat ketika Soekarno secara khusus berkunjung ke Desa Bengkel untuk
menemui Shaleh Hambali dan masyarakat NTB. Pesantren Darul Qur’an menyimpan
rapi dokumentasi Soekarno saat menyampaikan orasi di tengah masyarakat Desa
Bengkel. []
(Fathoni)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar