Empat Shalat yang
Mewajibkan Imam Niat Berjamaah
Di dalam ibadah apa pun, bahkan dalam
perbuatan-perbuatan yang secara lahir tidak termasuk kategori ibadah, niat
merupakan satu unsur sangat penting yang menentukan nilai ibadah dan perbuatan
itu. Suatu perbuatan disebut ibadah atau bukan, sebuah ibadah dinilai
berkualitas atau tidak, sebuah perbuatan mubah bisa menjadi ibadah atau tidak,
sangat ditentukan oleh kebenaran dan kebaikan niat pelakunya. Inilah salah satu
pelajaran penting yang bisa dipetik dari sabda Rasulullah shallallahu
‘alaihi wasallam:
إِنَّمَا
الأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ
Artinya: “Sesungguhnya amal-amal perbuatan
tergantung pada niatnya.” (HR. Imam Bukhari)
Di dalam shalat niat juga menjadi bagian
terpenting yang bisa menentukan sah atau tidaknya shalat seseorang. Begitu
pentingnya peranan niat di dalam shalat para ulama menentukan berbagai aturan
yang mesti ditaati baik orang yang melakukan shalat tersebut menjadi seorang
imam, makmum, ataupun shalat sendirian.
Di dalam madzhab Syafi’i orang yang shalat
berjamaah bila berposisi sebagai makmum maka ia harus berniat sebagai makmum
dengan menambahkan kata ma’mûman saat berniat di dalam hati berbarengan
dengan takbiratul ihramnya. Bila makmum tidak berniat demikian namun gerakan
shalatnya mengikuti gerakan shalatnya orang lain maka shalatnya tidak sah
karena tidak adanya hubungan shalat dengan orang tersebut.
Namun bila ia berposisi sebagai imam ia tidak
wajib niat berjamaah atau tidak wajib menambahkan kata imâman di dalam
niatnya. Hanya saja shalat yang ia lakukan itu dianggap sebagai shalat
sendirian, tidak dengan berjamaah. Karena setiap amal itu tergantung pada
niatnya sebagaimana hadits di atas.
Akan tetapi, meskipun pada dasarnya seorang
imam tidak wajib berniat sebagai imam namun ada shalat-shalat tertentu di mana
seorang yang berposisi sebagai imam harus berniat sebagai imam bersamaan dengan
takbiratul ihramnya.
Syekh Salim bin Sumair dalam kitabnya Safînatun
Najâ menyebutkan ada 4 (empat) shalat di mana seorang imam harus berniat
sebagai imam.
الذي
يلزم فيه نية الإمامة أربع الجمعة والمعادة والمنذورة جماعة والمتقدمة في المطر
Artinya: “Ada 4 (empat) shalat yang
mewajibkan berniat sebagai imam: shalat Jumat, shalat yang diulang, shalat
jama’ah yang dinadzarkan, dan shalat jama’ taqdim karena hujan.”
Lebih lanjut Syekh Muhammad Nawawi Banten
dalam kitabnya Kâsyifatus Sajâ menjelaskan keempat shalat tersebut
sebagai berikut:
Pertama, shalat Jumat.
Seorang yang menjadi imam shalat Jumat
baginya wajib berniat untuk menjadi imam. Bila ia tidak berniat demikian pada
saat takbiratul ihram maka tidak sah niatnya yang juga berarti tidak sah pula
shalat Jumatnya. Ini dikarenakan shalat Jumat harus dilakukan secara berjamaah.
Bila imam di dalam niatnya tidak menyebutkan kata imâman maka ia dianggap
shalat sendirian, tidak berjamaah.
Kedua, shalat mu’âdah atau
shalat yang diulang.
Shalat yang diulang adalah shalat wajib yang
telah dilakukan atau shalat sunah yang disunahkan dilakukan secara berjamaah
yang untuk kedua kalinya dilakukan kembali secara berjamaah pada waktunya
karena berharap pahala.
Alasan seseorang mengulang shalatnya secara
berjamaah adalah karena shalat yang kedua dianggap lebih utama dari pada shalat
yang pertama. Seperti ketika seseorang yang mengulang shalat secara berjamaah
karena sebelumnya ia telah melakukan shalat tersebut namun sendirian, tidak
berjamaah. Atau pada saat shalat yang pertama ia telah melakukannya secara
berjamaah namun mengulangnya kembali secara berjamaah karena melihat shalat
jamaah yang kedua ini lebih utama dibanding shalat jamaah yang pertama yang
telah ia lakukan. Ini bisa karena pada shalat jamaah yang kedua jumlah
jamaahnya lebih banyak, imamnya lebih alim atau wara’, tempatnya lebih mulia
dan alasan lainnya.
Kesunahan mengulang shalat yang demikian
didasarkan pada sebuah hadits riwayat Imam Nasai dan lainnya yang menceritakan
adanya dua orang yang datang ke masjid pada waktu subuh namun tidak mengikuti
shalat berjamaah bersama Rasul. Ketika Rasulullah bertanya kepada keduanya
seusai shalat mereka menjawab, “Kami sudah shalat di rumah kami.” Maka kemudian
Rasul bersabda:
فَلَا
تَفْعَلَا، إِذَا صَلَّيْتُمَا فِي رِحَالِكُمَا، ثُمَّ أَتَيْتُمَا مَسْجِدَ
جَمَاعَةٍ فَصَلِّيَا مَعَهُمْ، فَإِنَّهَا لَكُمَا نَافِلَةٌ
Artinya: “Jangan kalian lakukan (lagi). Bila
kalian telah shalat di rumah kemudian kalian datang ke masjid yang sedang
dilakukan shalat berjamaah maka shalatlah bersama mereka, karena bagi kalian
itu adalah kesunahan.” (HR. Imam Nasai).
Bila pada shalat yang diulang ini sang pelaku
berposisi sebagai imam maka ia wajib menyebutkan kata imâman dalam niatnya
bersamaan dengan pengucapan takbiratul ihram.
Ketiga, shalat yang
dinadzarkan secara berjama’ah.
Seseorang bernadzar bahwa bila ia mendapatkan
apa yang dicita-citakan maka ia akan shalat subuh berjamaah, misalnya. Ketika
apa yang ia citakan tercapai dan kemudian ia shalat berjamaah subuh untuk
memenuhi nadzarnya, bila dalam shalat berjamaah itu ia berposisi sebagai imam
maka ia mesti menambahkan kata imâman di dalam niatnya bersamaan dengan
pengucapan takbiratul ihram. Bila tidak demikian maka ia dianggap shalat
sendirian, tidak berjamaah, dan karenanya dianggap melakukan perbuatan dosa
karena tidak memenuhi nadzarnya.
Keempat, shalat yang
dilakukan secara jama’ taqdim karena hujan.
Sebagaimana diketahui bahwa pada waktu hujan
yang sangat deras diperbolehkan menjama’ shalat secara jama’ taqdim di mana
shalat yang kedua dilakukan pada waktu shalat yang pertama; shalat isya
dilakukan pada waktu shalat madghrib dan shalat ashar dilakukan pada waktu
shalat dhuhur.
Shalat jama’ taqdim karena hujan deras ini
diperbolehkan bagi orang yang shalat berjamaah di masjid dan cukup jauh jarak
antara masjid dan rumahnya, sehingga akan mendatangkan mudarat bila ia mesti
berjalan bolak-balik ke masjid untuk melakukan shalat berjamaah. Bagi orang
yang shalatnya tidak berjamaah, atau berjamaah namun tidak di masjid, atau
berjamaah di masjid namun rumahnya tidak jauh tidak diperbolehkan melakukan
jama’ taqdim ini.
Sebagai gambaran, ketika Anda sedang
melakukan shalat madhrib berjamaah di masjid datang hujan yang sangat deras
yang diduga kuat belum berhenti sampai dengan waktunya shalat isya. Karena
rumah Anda cukup jauh dari masjid maka akan sangat merepotkan bila setelah
shalat maghrib Anda pulang ke rumah lalu pergi lagi ke masjid untuk shalat isya
berjamaah. Dalam keadaan demikian setelah shalat maghrib Anda diperbolehkan
melakukan shalat isya secara jama’ taqdim.
Dalam keadaan seperti ini bila Anda berposisi
sebagai imam maka Anda wajib menambahkan kata imâman di dalam niat berbarengan
dengan takbiratul ihram untuk shalat isya-nya. Bila tidak maka shalat isya Anda
tidaklah dianggap. Anda dianggap belum shalat isya, baik secara berjamaah
maupun sendirian. Ini dikarenakan kebolehan menjama’ taqdim di waktu hujan
lebat harus dengan berjamaah. Maka bila sang imam tidak berniat sebagai imam
itu berarti ia tidak shalat secara berjamaah.
Wallahu a’lam. []
Sumber: NU Online
Tidak ada komentar:
Posting Komentar