Mbah Ngis dan
'Win-Win Solution'
Mbah Ngismatun
Sakdullah Solo (wafat 1994)–biasa dipanggil Mbah Ngis–adalah seorang ibu yang
menjunjung tinggi keadilan dan perdamaian. Demi keadilan dan perdamaian, Mbah
Ngis rela mengorbankan sesuatu yang dirasanya cukup berharga. Apalagi hal itu
menyangkut kehidupan bersama di antara anak-anaknya. Suatu hari menjelang
lebaran di awal tahun 1970-an, kedua anak laki-laki Mbah Ngis bertengkar
berebut sehelai sarung dewasa kiriman dari seorang saudara. Mbah Ngis mencoba
menengahi dengan menyarankan supaya sarung itu dipakai bergantian.
Saran tersebut tak
dihiraukan karena kedua anak laki-laki Mbah Ngis bermaksud memakai sarung itu
untuk shalat Idul Fitri di masjid. Jadi masalahnya, tidak mungkin sarung itu
dipakai bergantian pada saat yang sama sewaktu shalat. Pertengkaran makin seru
ketika mereka saling menarik sarung itu sambil baku hantam. Mbah Ngis sekali
lagi mencoba melerai tapi tak ada seorangpun dari keduanya mau berhenti,
apalagi mengalah, karena mereka merasa paling berhak atas sarung itu dengan
argumentasi masing-masing.
Sarung dewasa itu
kemudian ditarik paksa oleh Mbah Ngis sekuat tenaganya dan lepaslah dari tangan
kedua anak laki-laki itu. Mbah Ngis lalu menawarkan solusi untuk memotong
sehelai sarung itu menjadi dua bagian yang sama, bagian atas dan bagian bawah.
Kedua anak laki-laki itu menyetujui tawaran solusi dari Mbah Ngis setelah
keduanya berpikir sejenak.
Mbah Ngis kemudian
mengambil sebuah gunting. Meski sebetulnya terasa berat di hati karena harus
mengorbankan sarung baru, Mbah Ngis melakukan hal itu demi perdamaian kedua
anak laki-laki yang sama-sama dicintainya dan masih kecil-kecil. Sarung itu
akhirnya terpotong menjadi dua, bagian atas dan bagian bawah. Bagian atas
diberikan kepada anak yang lebih tua, dan bagian bawah untuk anak yang lebih
muda. Mereka puas dengan solusi yang ditawarkan Mbah Ngis. Meski mereka
mengakui sarung itu tingginya ideal, namun terlalu lebar untuk ukuran mereka.
Itulah win win
solution di mana semua pihak yang bertikai merasa dimenangkan meski tidak ada
satupun pihak yang mereka dikalahkan dalam penyelesaian konflik ini. Mbah Ngis
memang tidak selalu menekankan cara penyelesaian di mana yang besar harus selalu
mengalah. Diakui atau tidak cara seperti ini tidak selalu adil sehingga sering
kali tidak menuntaskan persoalan. Konflik sewaktu-waktu bisa pecah kembali dan
mengancam perdamaian.
Win win solution
sebenarnya adalah metode penyelesaian konflik yang telah lama dicontohkan
Rasulullah SAW ketika beliau belum menjadi nabi dan masih berusia 35 tahun. Di
usia ini beliau telah dipercaya menengahi kasus hajar aswad. Waktu itu,
orang-orang Quraisy di Mekah berselisih hebat tentang suku mana yang akan
mengembalikan hajar aswad ke tempatnya setelah berpindah tempat karena terseret
arus banjir. Pertumpahan darah hampir saja terjadi karena masing-masing suku
merasa paling berhak dan pantas melakukan sesuatu yang sangat bergengsi itu
pada sekitar tahun 606 M.
Pertumpahan darah
akhirnya bisa dihindarkan setelah Rasulullah SAW meminta semua pemimpin suku
secara bersama-sama memegangi dan mengangkat kain surban beliau yang di
tengahnya telah diletakkan hajar aswad hingga batu hitam ini sampai ke dekat
Ka’bah. Dari situ Rasulullah SAW meletakkan sendiri hajar aswad itu ke
tempatnya.
Cara penyelesaian
konflik yang menempatkan semua pihak yang berselisih pada posisi tidak
dikalahkan seperti itu adalah cara adil dan lebih menjajikan perdamaian.
Keadilan seperti ini hanya bisa diharapkan lahir dari pemimpin yang memiliki
komitmen tinggi terhadap keadilan dan perdamaian. Mbah Ngis memang salah
seorang pemimpin meski hanya bagi anak-anak dalam keluarganya. []
Muhammad Ishom, dosen
Fakultas Agama Islam Universitas Nahdlatul Ulama (UNU) Surakarta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar