Mengapa Presiden Jokowi Harus Segera Menerbitkan Perppu
Antiterorisme?
Oleh: Mohamad Guntur Romli
Aksi teror kembali menyerang negeri kita tercinta ini. Tak
berselang lama setelah rusuh di Mako Brimob, Selasa-Kamis (8-10 Mei), tiga bom
bunuh diri menyerang tiga gereja di Surabaya, dan meledak di Rusunawa Wonocolo
(13 Mei). Ada 12 orang meninggal akibat bom bunuh diri ini, baik korban dan
pelaku. Lebih 40 orang lainnya luka-luka.
Sembari mengutuk aksi teror ini, menyatakan duka cita, dan merawat
korban yang luka-luka kita juga perlu memikirkan lebih serius penanganan
terhadap aksi-aksi terorisme ini yang terus menjadi ancaman nyata. Salah satu
masalah terbesar dari penanganan terorisme ini adalah tidak memadainya
perangkat hukum dan perundang-perundangan. Oleh karena itu kami meminta
Presiden Joko Widodo segera menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-undang (Perppu) Antiterorisme.
Mengapa Perppu Antiterorisme ini penting dan mendesak? Paling
tidak ada lima alasan. Pertama, karena UU Tindak Pidana Terorisme No 15 tahun
2003 sudah tidak memadai mencegah, menjerat, dan melawan perkembangan aksi-aksi
terorisme. UU ini hanya bersifat responsif dan reaktif yang melihat terorisme
sebagai pidana biasa. UU ini lahir dari Perppu No 1 Tahun 2002 pasca-Bom Bali
2002. UU ini hanya melihat terorisme sebagai persoalan di hilir, tidak mampu
mencegah (preventif) dari hulu dan sumber masalah.
Salah satu yang fatal adalah, terorisme baru bisa ditindak setelah
ada aksi. Setelah ada bom meledak baru bisa bergerak dan melakukan penindakan.
Selama ini aparat keamanan tidak bisa melakukan penindakan terhadap persiapan
dan pelatihan militer yang sering diadakan kelompok teroris sebelum adanya aksi
teror.
Demikian pula, seseorang yang terlibat aksi militer dan jaringan
teroris di luar wilayah Indonesia tidak bisa ditindak. Inilah masalah besar
saat ini dengan kepulangan ratusan orang yang bergabung dengan ISIS di Suriah
dan Irak yang lepas dari jerat hukum. Padahal pelaku bom di tiga lokasi di Surabaya
adalah keluarga yang merupakan alumni ISIS di Suriah. Sementara menurut data
Kapolri, ada 500 orang Indonesia yang pernah bergabung ISIS yang kini sudah
kembali ke Indonesia. Bukankah ini ancaman yang nyata? Satu keluarga saja yang
berjumlah 6 orang sudah mampu menyerang 3 lokasi di Surabaya, bagaimana dengan
ratusan lainnya?
Kedua, gagalnya DPR menyelesaikan dan mengesahkan Revisi UU Tindak Pidana Terorisme No 15 Tahun 2003 yang sudah dimulai sejak April 2016. Padahal sudah dibentuk Pansus untuk menyelesaikan Revisi UU Tindak Pindana Terorisme itu. Sebagai Ketua Pansus adalah Muhammad Syafi'i dari Fraksi Gerindra, wakil ketua Pansus Hanafi Rais (PAN), Syaiful Bahri Ansori (PKB), dan Mayjen TNI (Purn) Supiadin Aries (Nasdem).
Sayangnya rencana pengesahan RUU Antiterorisme ini beberapa kali ditunda, termasuk dalam paripurna 26 April 2018 lalu. Padahal kesepakatan untuk merevisi UU Tindak Pidana Terorisme setelah Bom Sarinah-Thamrin Januari 2016, setelah Rusuh di Rutan Brimob dan Bom Surabaya, nasib Revisi UU Tindak Pidana Terorisme ini belum jelas. Hal ini benar-benar mengecewakan.
Tarik ulur politik ini membuat aparat keamanan, khususnya Polri tidak bisa mengambil tindakan "extraordinary" di luar ketentuan undang-undang yang ada. Pansus bisa berkilah penundaan ini karena ada kelompok-kelompok yang menentang, misalnya yang datang dari kelompok-kelompok sipil. Tapi, ini hanyalah dalih tidak adanya iktikad dari DPR untuk menyelesaikan Revisi UU Tindak Pidana Terorisme ini. Karena apabila dibandingkan dengan UU MD3 yang terkait dengan kepentingan DPR, meskipun banyak penentangan, dengan cepat disahkan.
Berlarut-larutnya nasib Revisi UU Tindak Pidana Terorisme bahkan cenderung diulur-ulur ini menyebabkan apatisme terhadap pemberantasan terorisme yang komprehensif melalui DPR, maka Presiden bisa mengeluarkan Perppu Antiterorisme.
Ketiga, karena apatis dan kecewa terhadap sikap DPR, maka Presiden bisa menggunakan hak konstitusionalnya di Pasal 22 ayat 1 UUD 1945 dengan mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) Antiterorisme. Syarat materiil tersebut berkenaan dengan situasi genting negara dari serangan kelompok teroris, ditandai dengan dua tragedi teror dalam waktu yang berdekatan. Syarat lain yang terpenuhi adalah kekosongan perundang-undangan yang memungkinkan aparat keamanan untuk melakukan tindakan pencegahan terhadap aksi kelompok teroris.
Keempat, terkait beberapa masalah krusial yang menjadi perdebatan dalam penindakan terorisme ke depan, misalnya keterlibatan TNI, namun mengingat terorisme merupakan masalah keamanan dan ancaman terhadap negara perlu diberikan ruang kepada TNI secara terbatas dalam kegiatan militer selain perang untuk ikut serta dalam penanganan terorisme dengan tetap di bawah koordinasi kepolisian. Kewenangan penangkapan, penahanan dan pencegahan tetap berada di tangan kepolisian.
Kelima, Perppu Antiterorisme selain memperhatikan masalah pencegahan dan penindakan juga masalah pembinaan dan deradikalisasi, baik bagi individu yang terlibat dan tertangkap dalam aksi teror yang kemudian menjalani hukumannya, atau individu yang diduga terpapar virus terorisme dan bersimpati. Di setiap peristiwa aksi teror, media sosial kita diramaikan dengan konten-konten dari yang bersimpati hingga mendukung tidak langsung aksi teror ini, baik dengan mengatakan ini adalah kasus rekayasa, pengalihan isu, cerita, dan lain sebagainya.
Pembinaan dan deradikalisasi sebagai program pencegahan perlu sinergi antarlembaga seperti Polri, BNPT, Kemenag, Kemendikbud, dan Kemensos yang selama ini tidak sinkron dalam merencanakan dan melaksanakan program deradikalisasi.
Selain itu masalah pemulihan hak-hak korban terorisme yang terkait dengan bantuan medis, kompensasi, dan rehabilitasi. UU Tindak Pidana Terorisme No 15 Tahun 2003 adanya kompensasi setelah adanya vonis terhadap pelaku, itu pun tidak benar-benar dilaksanakan, yang ada hanyalah bantuan seadanya.
Menurut AIDA (Aliansi Islam Damai), sebuah organisasi masyarakat sipil yang peduli pada korban aksi teror, korban tindak pidana terorisme berhak mendapatkan bantuan medis, psikologis, rehabilitasi psikososial, dan kompensasi. Korban adalah seseorang atau ahli warisnya yang mengalami penderitaan fisik, mental, dan/atau kerugian ekonomi yang diakibatkan oleh suatu tindak pidana terorisme.
Kompensasi adalah ganti rugi bersifat materiil atas penderitaan dan/atau hal-hal yang hilang atau rusak dari seseorang akibat tindak pidana terorisme. Sedangkan yang dimaksud dengan rehabilitasi adalah pemulihan pada kedudukan semula seperti kehormatan, nama baik, jabatan, atau hak-hak lain termasuk penyembuhan dan pemulihan fisik dan psikis.
Itulah lima alasan yang mendesak agar Presiden Joko Widodo segera menerbitkan Perppu Antiterorisme, sehingga aksi-aksi bisa dicegah di masa mendatang, dan korban-korban teror tidak lagi berjatuhan. []
DETIK, 14 Mei 2018
Mohamad Guntur Romli | Caleg Partai Solidaritas Indonesia (PSI)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar