Ma'unah Ketahanan
Fisik Ketua Umum PBNU
Judul
: Uang Koin; Keping Cerita Kiai Hasyim Muzadi
Penulis
: Muhammad Ghozi Alfatih
Penerbit
: Kompas
Cetakan
: Pertama, 2017
ISBN
: 978-602-412-299-7
Peresensi
: Abdullah Alawi
Mustasyar PBNU KH
Ahmad Mustofa Bisri mengggambarkan KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) sebagai “kiai
unta”. Maksudnya ialah kiai yang tahan bepergian jauh ke desa terpencil, kota
kecil atau kota besar, bahkan lintas negara.
KH Abdul Mun’im DZ
pada tulisan Gus Dur Mengabdi mendeskripsikan cucu Hadratussyekh KH
Hasyim Asy’ari itu begini:
“Suatau hari, di
tahun 1985, Gus Dur mengunjungi sahabatnya, KH Muhammad Jinan di gunung Balak,
Lampung. Setelah naik bus Jakarta-Lampung, lalu naik angkot, ia meneruskan dengan
berjalan kaki sepanjang empat kilo meter. Jalan menuju pesantren memang hanya
setapak. Coba bayangkan, Gus Dur jalan kaki dengan badan tambun, kacamata
tebal, sementara jalan berbatu. Tapi Gus Dur menjalaninya dengan enteng, bahkan
ceria.”
Begitu juga Ketua
Umum PBNU KH Said Aqil Siroj. Menurut sekretaris pribadinya, Kiai Said memiliki
tiga kamar, yaitu kamar di rumah, di mobil, dan di pesawat terbang. Acara yang
dihadiri pun bervariasi, mulai dari pelantikan pengurus NU dari tingkat cabang
hingga wilayah, pengajian, seminar, sampai acara pernikahan atau silaturahim.
Dalam satu hari Kiai Said bisa menghadiri acara di beberapa tempat. Bahkan,
sehari pernah melakukan lima kali perjalanan pesawat.
Bagaimana dengan
aktivitas tokoh NU awal-awal organiasi didirikan? Sepertinya sama saja. Malah
lebih harus ekstra keras. Dengan alat transportasi dan komunikasi yang tentu
saja masih sulit, juga ongkos perjalanan, waktu itu para tokoh NU harus
berjuang keras mengkonsolidasi kiai-kiai NU dan pesantren di daerah-daerah
dengan jarak berjauhan.
Bukti kesibukan dari
konsolidasi mereka, pada Muktamar NU keempat di Semarang, Jawa Tengah pada
1929, NU telah memiliki 67 Cabang, terbentang dari Madura hingga ujung Banten,
Menes.
Keberhasilan itulah
yang membuat KH Wahid Hasyim berdecak kagum, dan memantapkan diri turut serta
di NU. Menurut dia, NU memang didirikan para orang tua, tapi dalam waktu
sepuluh tahun mampu membentuk ratusan cabang dan tak hanya di pulau Jawa. NU
memiliki gerak cepat daripada organisasi pemuda waktu itu, yang dalam rentang
waktu yang sama hanya bisa membentuk beberapa cabang di beberapa keresidenan
yang berdekatan. NU memang didirikan orang tua, tapi geraknya melebihi anak
muda. Begitu kesimpulan Kiai Wahid setelah mengamati selama empat tahun.
Sepak terjang pada
masa itu, tentu kita ingat akan konsolidasi Kiai Wahab Chasbullah, yang menurut
Choirul Anam, bisa dikatakan tak pernah tidur, saking padat aktivitasnya. Kiai
Wahab sibuk mengkader anak muda, mengajar, berdebat, konsolidasi NU, sowan
kepada kiai yang lebih tua, bersilaturahim dengan sesama temannya. Di samping
itu, menurut KH Saifuddin Zuhri, Kiai Wahab tidak lupa memberikan oleh-oleh
perjalanan untuk keluarganya, termasuk membetulkan petromaks yang rusak.
Di samping
risiko-risiko lain, paling tidak, risiko kesibukan itulah yang selalu dialami
Ketua Umum PBNU di periode mana pun. Termasuk periode 2000-2010 dengan Ketua
Umum KH Hasyim Muzadi. Kesibukannya didokumentasikan dengan apik pada Uang
Koin; Keping Cerita Kiai Hasyim Muzadi yang ditulis sekretaris pribadinya,
Muhammad Ghozi Alfatih.
Ketahanan fisik
adalah maunah
Setahu saya, tidak
pernah ada agenda senam kebugaran khusus untuk tokoh-tokoh NU, misalnya Ketua
Umum PBNU sekarang, KH Said Aqil Siroj, Kiai Idham Chalid, Gus Dur, termasuk KH
Hasyim Muzadi.
Saat menjadi Ketua
Umum PBNU, Kiai Hasyim menjalani rutinitas yang tidak normal. Pagi hari,
sebelum jam kantor dimulai, ia biasanya menerima tamu di rumah. Lalu berangkat
ke kantor PBNU untuk mengurusi tugas-tugas organisasi yang sering kali berakhir
saat larut malam. Itu pun kerap diselingi acara-cara di luar kantor yang
mengharuskan Kiai Hasyim menyampaikan ceramah di lebih dari satu tempat dengan
topik pembicaraan yang berbeda-beda. Umumnya sampai rumah pukul sebelas malam.
Itu pun belum langsung istirahat karena sudah ada tamu yang menunggu. (hal.65)
Barulah sekitar jam
satu malam, Kiai Hasyim bisa istirahat. Tiga jam kemudian, ia sudah harus
berangkat ke bandara, ke luar kota atau luar negeri untuk menghadiri
acara.
Mendapati rutinitas
semacam itu, malah sang sekretaris Kiai Hasyim yang meminta istirahat di hari
berikutnya. Sementara dia tetap menjalankan aktivitas sesuai yang dijadwalkan.
Padahal aktivitas itu bukan urusan bisnis atau dinas yang sudah jelas ongkosnya.
Kiai Hasyim malah harus mengeluarkan kocek sendiri.
“Bukan saya orang
hebat. Tuhan yang memberi ma’unah (pertolongan). Badan saya biasa saja,
sama seperti orang lain. Bisa kuat karena Tuhan yang menguatkan,” jelas Kiai
Hasyim menjelaskan kekuatan fisiknya.
“Bagaimana mungkin
saya bisa menjaga fisik? lstirahat hanya sebentar. Olahraga tidak pernah. Makan
juga sembarangan dan tidak teratur. Tanpa ma’unah Allah, saya tidak akan
bisa apa-apa.”
“Mungkin karena
dipakai keliling untuk ngurusi umat, ngurusi persoalan masyarakat, akhirnya
Allah memberi kemampuan fisik lebih kepada saya."
“Seandainya badan
cuma dipakai jalan-jalan, pelesiran, mungkin jadinya malah gampang masuk
angin."
“Saya ini kalau
berhari-hari tidak ke mana-mana kadang justru mudah sakit," kelakar
beliau. (hal. 67)
Aktivitas semacam itu
memang tidak selamanya membuat Kiai Hasyim sehat-sehat saja. Karena menjalani
aktivitas padat yang mengharuskannya berpindah-pindah dari satu tempat ke
tempat lain yang berjarak puluhan hingga ratusan kilometer, sebagai manusia
biasa, ia harus dilarikan ke rumah sakit. Lantaran benar-benar kelelahan usai menghadiri
acara atau menyampaikan ceramah yang sambung menyambung di berbagai daerah, ia
harus istirahat total sehari dua.
Risiko ke rumah sakit
dan risiko-risiko lain tentu selalu ada. Bahkan risiko kematian akibat
kecelakaan atau lainnya. Ambil contoh KH Wahid Hasyim, ia wafat di perjalanan
ketika akan menuju Sumedang pada 1953. Salah satu agenda ke tempat itu, ia
mensosialiasikan NU yang telah menjadi partai, hasil Muktamar NU Palembang
tahun 1952.
Tentu tidak hanya
melulu soal kesibukan Kiai Hasyim di buku itu. Ada humor, catatan masa muda
yang penuh teladan, pengalaman spiritual, serta pandangan-pandangan keislamaan
dan kebangsaan jam’iyyah NU yang diwakilinya. Semuanya disajikan dengan cara
yang ringan dan sederhana sehingga mudah dicerna.
Buku semacam ini
harus diperbanyak, untuk cermin keteladanan generasi muda NU, umat Islam dan
bangsa Indonesia. []
Tidak ada komentar:
Posting Komentar