Belajar dari Kehebatan dan Kesederhanaan
Khalifah Umar
Sejarawan Muslim terkemuka Muhammad Husain
Haykal memberikan kesaksian tentang sosok Umar. Ia berkata: “dialah Umar ibn
al-Khaththâb, lelaki agung yang namanya semerbak harum dalam sejarah besar umat
Muhammad. Umar adalah sahabat Rasulullah yang paling cemerlang, sang
inspirator umat Islam, hamba yang taqwa kepada Rabb-nya.
Dialah Umar, hawâri Rasul terdekat, orang
terpercaya, sekaligus penasihat utamanya. Selepas Rasulullah wafat, Umar adalah
pengganti kedudukan beliau yang kedua, setelah Abu Bakar, dan menjadi khalifah
Islam terbesar sepanjang sejarah.
Umar adalah sosok besar yang menatah sejarah
besar. Di tangan seorang khalifah Umar, Islam telah menjelma ‘imperium’
adiluhung dalam tempo waktu yang tak lebih dari sepuluh tahun, yang mampu
menaklukkan negeri-negeri legendaris, meruntuhkan imperium agung Persia, juga
mengguncang keberadaan imperium adiluhung Byzantium.
Islam pun pada akhirnya memiliki wilayah
kekuasaan yang membentang luas mulai dari Cerynecia (Tripoliana), Mesir, Nubia,
Levantina atau Mediterania Timur (Syam; sekarang wilayahnya meliputi Syria,
Lebanon, Jordania, dan Palestina), Anatolia, hingga Persia.
Sebab itulah, sosok Umar kerap disebut
sebagai seorang ‘Kaisar’ yang setara dengan Alexander Agung—Kaisar Macedonia,
dan Cyrus the Great—Kisra Persia, dua emperor besar dunia pada zamannya, yang
kebesaran serta kekuasaannya malang melintang di seantero jagat.
Namun demikian, jangan pernah membayangkan
jika kehidupan Umar layaknya para Kaisar pada umumnya—sebuah potret kehidupan
yang bergelimpah ruah sebagaimana yang diceritakan oleh epik-epik.
Umar tetap hidup sederhana dan bersahaja:
ketika takwa adalah cita-cita utamanya, ketika Allah jauh lebih ia cintai dari
segala isi dunia, ketika Rasulullah adalah teladan abadinya, dan ketika
kebahagiaan dan kesejahteraan rakyat banyak adalah impiannya.
Hati dan akhlak Umar jauh lebih besar dari
nama besarnya, jauh lebih luas dari wilayah kekuasaan dan taklukan-taklukannya,
jauh lebih mulia dari kemuliaan yang diberikan orang-orang kepadanya. Hal ini
bukan karena apa-apa, tetapi karena Umar lebih mengedepankan ketakwaan di atas
segalanya.
Jangan heran ketika kita temukan seorang
‘Kaisar’, seorang Emperor yang jauh melebihi tahta seorang presiden, yang
makanannya adalah roti juwawut beroles minyak zaitun, minumnya hanya air putih,
ranjang tidurnya adalah alas tikar, pakaiannya penuh dengan jahitan karena
robek dan tercabik di banyak tempat, dan mahkotanya adalah serban yang sudah
lusuh.
Sekali-kali jangan heran ketika kita temukan
seorang kaisar agung yang tidak memiliki ajudan seorang pun, tidak memiliki
harta yang melimpah ruah sedikit pun, karena Umar men-tasaruf-kan semua gajinya
untuk rakyat-rakyatnya. []
(Fathoni)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar