Selasa, 08 Mei 2018

(Ngaji of the Day) Dasar Qawa’id dan Dlawabith dalam Fiqih Transaksi


Dasar Qawa’id dan Dlawabith dalam Fiqih Transaksi

Pada waktu membahas materi fiqih, terkadang kita sering ditanya: dlabith-nya apa? Diambil dari qaidah apa? Pertanyaan ini selalu menghiasi setiap forum-forum bahtsul masail, di mana saja dan kapan saja, khususnya bila permasalahan itu membahas hal-hal baru yang sifatnya urgen–waqi‘iyah (kasus spesifik), maudlu‘iyah (tematik), qanuniyyah (perundang-undangan). 

Inilah yang mendorong saya pada kesempatan kali ini  untuk mengulas sedikit tentang dlawabith (bentuk plural dari dlabith) dan qawa’id (bentuk plural dari qaidah), utamanya yang berkaitan dengan akad dalam bingkai fiqih muamalah terapan.

Dlawabith sering disebut juga sebagai aturan standar, batasan masalah, atau ruang lingkup kajian. Jadi, jika penulis berbicara masalah akad dalam transaksi misalnya, maka dlabith itu pasti akan berbicara soal: Siapa pelaku akad? Apa tujuan akad? Kapan akad berakhir? Bagaimana akad dilaksanakan? Dan lain-lain, yang memuat garis baku aturan semacam AD/ART, sehingga suatu bahasan termasuk melebar atau tidak (tathwil). Inilah peran dari dlawabith itu. 

Beberapa contoh dlawabith, misalnya:

• Siapa pun yang dilarang karena alasan kekerabatan maka dilarang pula karena alasan kepengasuhan

• Setiap kontrak yang dibuat oleh seseorang, adalah dapat diserahkan kepada orang lain melalui konsep wakalah (agensi)

• Segala akad yang terjadi dengan deskripsi waktu yang menyertai, maka akad tersebut pasti berhubungan dengan objek kontrak salam

• Ketika air di kamar mandi mencapai ketinggian lebih dari 60 cm dengan lebar bak mandi 60 cm, dan panjang 60 cm, serta tidak ada perubahan bau, rasa, dan warna, maka air tersebut adalah suci.

Jika dlabith memuat sebuah aturan atau batasan dan satu lingkup tertentu/tema khusus, maka lain halnya dengan qawa’id/qaidah. Qaidah memuat hal-hal yang berkaitan dengan spesifikasi umum dan juga bisa berlaku untuk semua aspek syariat lingkup kajian fiqih. Qaidah ini biasanya berisi semangat fiqih. Inilah yang nantinya menempati posisi yang paling urgen dalam forum kajian, karena posisi qaidah ini sangat mempengaruhi arah keputusan suatu bahasan. 

Qaidah Fiqhiyah dan Relevansinya terhadap Arah Keputusan Hukum Fiqih

Pada dasarnya peletakan batu dasar ilmu qawa’id fiqhiyah (kaidah-kaidah fiqih) telah di mulai sejak tiga kurun pertama dari tahun Hijriiah, yaitu sejak masa Rasulullah SAW, sahabat, dan tabi’in. Hal ini dapat di lihat dari hal-hal berikut ini:

• Terdapat beberapa Ayat dari Al Quran yang secara implisit telah menunjukan qawa’id fiqhiyah. Di antaranya adalah yang terdapat dalam QS al-Baqarah ayat 228:

وَلَهُنَّ مِثْلُ الَّذِي عَلَيْهِنَّ بِالْمَعْرُوفِ

“…dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma’ruf….”

Ayat ini di kemudian hari dijadikan sebagai landasan lahirnya kaidah:

العادة محكمة

“ Adat kebiasaan merupakan hukum.”

• Terdapat hadist-hadist Rasulullah yang padat dan singkat. Di antaranya adalah hadist “Innamal a’malu binniyah….” dan hadist “La dlarara wa la dlirara”.

Hadits innamal a’maalu bi al niyat pada akhirnya nanti akan melahirkan qaidah:

الأمور بمقاصدها

"Semua perkara tergantung pada maksudnya."

Setidaknya ada beberapa hadits yang singkat namun memiliki makna yang mendasar dan kelak akan sangat penting dalam pengkajian fiqih akad, antara lain:

1. Siap menerima untung berarti siap pula menerima rugi.

Qaidah ini diambil dari hadits: الخراج بالضمان

Seperti misalnya, seseorang ingin melakukan sebuah wirausaha, yang mana kegiatan ini banyak mengandung risiko, yaitu jika tidak untung, maka rugi. Hikmahnya adalah seorang wirausahawan, berarti harus siap dengan semua risiko tersebut. Akibatnya ia harus mempersiapkan diri  menghadapi situasi terburuk yang mungkin timbul, kegagalan dan kepailitan misalnya. Jadi wirausaha itu “siap rugi tetapi ingin untung”. 

Namun seringkali kita membaliknya menjadi “siap untung tetapi ingin rugi”. Maksudnya kita lebih senang membayangkan keuntungan yang akan kita peroleh tanpa mempersiapkan usaha dengan baik. Kita seringkali melihat angka-angka proyeksi dan potensi keuntungan dari wirausaha yang akan kita jalankan. Bahkan terkadang kita berangan-angan bagaimana menikmati keuntungan yang akan kita peroleh dengan membeli rumah, mobil dan berjalan-jalan ke luar negeri atau tempat-tempat yang kita sukai. Kita sudah menyusun rencana dengan sangat lengkap tentang angka-angka keuntungan usaha tersebut. Namun kita justru lalai memikirkan dan mempersiapkan dengan baik agar bagaimana angka-angka proyeksi keuntungan tersebut menjadi kenyataan. Kita sudah siap untung tetapi tanpa sadar kita justru ingin rugi sebab tindakan kita yang tidak sungguh-sungguh dalam merencanakan dan menjalankan usaha tersebut berarti “keinginan” kita untuk rugi.

Tentu sangat boleh membayangkan dan menghitung potensi keuntungan kegiatan wirausaha yang akan kita jalankan sebab hal tersebut dapat lebih membuat kita terpacu dan bersemangat. Tetapi yang jauh lebih penting dari itu adalah merencanakan dan mempersiapkan diri dan usaha dengan sebaik-baiknya. Bahkan kita perlu menyusun rencana jika segala sesuatunya berjalan tidak sesuai harapan. Kita perlu “sedia payung sebelum hujan”, kita lebih perlu mempersiapkan diri menghadapi kerugian daripada menghadapi keuntungan. Berwirausaha berarti kita harus “siap rugi tetapi ingin untung”. Kita melakukan persiapan untuk menghadapi situasi terburuk namun kita juga menyusun rencana dan langkah terbaik untuk meraih keuntungan. 

Jadi lebih baik kita siap rugi namun akhirnya meraih keuntungan daripada kita siap untung tetapi justru kerugian yang kita dapat. Selamat ber wirausaha dan sukses.

2. Suatu yang membahayakan tidak diperbolehkan, baik dalam bentuk melakukannya, maupun dalam bentuk menggantinya sehingga menimbulkan bahaya yang lain. Misalnya dalam transaksi, bahwa jika sebuah pekerjaan dilarang karena tidak dilabeli dengan syariah, bukan kemudian menjadi boleh setelah dilabeli dengan syariah, padahal menyimpan dan praktiknya sama.

Qaidah ini diambil dari hadits: لاضرر ولاضرار 

3. Hukum huddud harus dicegah jika terdapat suatu keraguan

Suatu contoh misalnya ragu-ragu untuk memutuskan apakah seseorang benar terlibat dalam kasus pencurian atau tidak, namun penghakiman massa benar-benar terjadi. Hukum penghakiman massa merupakan yang ditolak oleh syariat, sementara pelaku yang diduga belum mendapatkan haknya menerima pengadilan. 

Qaidah ini diambil dari الحدود يدرأ بالشبهات 

4. Setiap hutang yang membawa keuntungan bagi orang yang meminjamkannya adalah riba. 

Contoh praktiknya: Jika hukum memberi bunga kredit ke bank yang diakibatkan seseorang meminjam bunga ke bank dihukumi sebagai riba, maka seharusnya demikian juga bila bank memanfaatkan tabungan giro yang dititipkan oleh nasabah kepada bank dengan akad wadi’ah, karena di dalam wadi’ah tidak dikenal istilah orang yang dititipi (bank) boleh memanfaatkan harta titipin pemilik. Bunga yang diberikan oleh bank kepada nasabah yang menitipkan bisa disebut sebagai riba pula bila berapa persen bunganya juga ditentukan di awal.

Qaidah ini berasal dari: كل قرض جر نفعا فهو الربا 

5. Jangan menjual apa yang tidak engkau miliki.

Qaidah ini berasal dari hadits: لابيع ما ليس عندك

Contoh kasus: 

Kami adalah beberapa orang yang bertanggung jawab atas sebuah koperasi yang dikelola oleh kerabat kami. Dan kami membeli beberapa mobil baru dengan surat-surat pabean, dan ada pula dengan STNK. Kami mejualnya dengan sistem angsuran. Perlu diketahui bahwa kami tidak memindah namakan barang tersebut dengan menggunakan nama-nama kami dan tidak mengeluarkannya dari tempat penjual, tetapi kami menjualnya di tempat pembeliannya. Permasalahannya: apakah hal itu termasuk riba atau tidak? Jika memang riba, lalu bagaimana kami harus menyelamatkan diri darinya? Perlu diketahui bahwa kami tidak pernah menerima keuntungan. 

Jawaban dari masalah ini sudah pasti adalah tidak boleh melakukan jual beli produk mobil tersebut baik secara tunai maupun kredit, secara berangsur maupun tidak, kecuali pemilik barang itu telah dikuasai oleh orang yang menjual dan ia telah menerimanya secara penuh. Maksudnya adalah: pembeli pertama telah menerimanya, menguasainya dan memindahkannya ke tempat ia sendiri. Dan sekedar memperoleh surat-surat pabean tidak dianggap sebagai jual beli sebelum adanya penguasaan dan pemilikan barang itu secara sempurna. Berdasarkan hal tersebut, menjual mobil dengan surat-surat pabean sebelum adanya penerimaan barang dan penguasaannya secara penuh, maka dianggap sebagai jual beli yang tidak sah dan diharamkan untuk melakukannya, serta harus dibatalkan. Sedang pembayarannya dikembalikan kepada yang berhak. Dan tidak dihalalkan untuk mendapatkan hasil penjualannya kecuali dengan mengadakan akad baru setelah mobil itu menjadi milik pembeli secara penuh dan berada dalam kekuasaannya.

Lantas solusi apa yang ditawarkan? Fiqih kemudian menjawab, yaitu dengan jalan berganti akad, yang sebelumnya akad jual beli menjadi akad salam (pemesanan) atau akad samsarah (makelar). []

Muhammad Syamsudin, pegiat kajian fiqih terapan; pengasuh Pondok Pesantren Hasan Jufri Putri, Pulau Bawean

Tidak ada komentar:

Posting Komentar