Dasar Qawa’id dan Dlawabith
dalam Fiqih Transaksi
Pada waktu membahas materi fiqih, terkadang
kita sering ditanya: dlabith-nya apa? Diambil dari qaidah apa?
Pertanyaan ini selalu menghiasi setiap forum-forum bahtsul masail, di mana saja
dan kapan saja, khususnya bila permasalahan itu membahas hal-hal baru yang
sifatnya urgen–waqi‘iyah (kasus spesifik), maudlu‘iyah (tematik),
qanuniyyah (perundang-undangan).
Inilah yang mendorong saya pada kesempatan
kali ini untuk mengulas sedikit tentang dlawabith (bentuk plural dari
dlabith) dan qawa’id (bentuk plural dari qaidah), utamanya yang berkaitan
dengan akad dalam bingkai fiqih muamalah terapan.
Dlawabith sering disebut juga sebagai aturan
standar, batasan masalah, atau ruang lingkup kajian. Jadi, jika penulis
berbicara masalah akad dalam transaksi misalnya, maka dlabith itu pasti akan
berbicara soal: Siapa pelaku akad? Apa tujuan akad? Kapan akad berakhir?
Bagaimana akad dilaksanakan? Dan lain-lain, yang memuat garis baku aturan
semacam AD/ART, sehingga suatu bahasan termasuk melebar atau tidak (tathwil).
Inilah peran dari dlawabith itu.
Beberapa contoh dlawabith, misalnya:
• Siapa pun yang dilarang karena alasan
kekerabatan maka dilarang pula karena alasan kepengasuhan
• Setiap kontrak yang dibuat oleh seseorang,
adalah dapat diserahkan kepada orang lain melalui konsep wakalah (agensi)
• Segala akad yang terjadi dengan deskripsi
waktu yang menyertai, maka akad tersebut pasti berhubungan dengan objek kontrak
salam
• Ketika air di kamar mandi mencapai
ketinggian lebih dari 60 cm dengan lebar bak mandi 60 cm, dan panjang 60 cm,
serta tidak ada perubahan bau, rasa, dan warna, maka air tersebut adalah suci.
Jika dlabith memuat sebuah aturan atau
batasan dan satu lingkup tertentu/tema khusus, maka lain halnya dengan
qawa’id/qaidah. Qaidah memuat hal-hal yang berkaitan dengan spesifikasi umum
dan juga bisa berlaku untuk semua aspek syariat lingkup kajian fiqih. Qaidah
ini biasanya berisi semangat fiqih. Inilah yang nantinya menempati posisi yang
paling urgen dalam forum kajian, karena posisi qaidah ini sangat mempengaruhi
arah keputusan suatu bahasan.
Qaidah Fiqhiyah dan Relevansinya terhadap
Arah Keputusan Hukum Fiqih
Pada dasarnya peletakan batu dasar ilmu qawa’id
fiqhiyah (kaidah-kaidah fiqih) telah di mulai sejak tiga kurun pertama dari
tahun Hijriiah, yaitu sejak masa Rasulullah SAW, sahabat, dan tabi’in. Hal ini
dapat di lihat dari hal-hal berikut ini:
• Terdapat beberapa Ayat dari Al Quran yang
secara implisit telah menunjukan qawa’id fiqhiyah. Di antaranya adalah yang
terdapat dalam QS al-Baqarah ayat 228:
وَلَهُنَّ
مِثْلُ الَّذِي عَلَيْهِنَّ بِالْمَعْرُوفِ
“…dan para wanita mempunyai hak yang seimbang
dengan kewajibannya menurut cara yang ma’ruf….”
Ayat ini di kemudian hari dijadikan sebagai
landasan lahirnya kaidah:
العادة
محكمة
“ Adat kebiasaan merupakan hukum.”
• Terdapat hadist-hadist Rasulullah yang
padat dan singkat. Di antaranya adalah hadist “Innamal a’malu binniyah….”
dan hadist “La dlarara wa la dlirara”.
Hadits innamal a’maalu bi al niyat pada
akhirnya nanti akan melahirkan qaidah:
الأمور
بمقاصدها
"Semua perkara tergantung pada
maksudnya."
Setidaknya ada beberapa hadits yang singkat
namun memiliki makna yang mendasar dan kelak akan sangat penting dalam
pengkajian fiqih akad, antara lain:
1. Siap menerima untung berarti siap pula
menerima rugi.
Qaidah ini diambil dari hadits: الخراج بالضمان
Seperti misalnya, seseorang ingin melakukan
sebuah wirausaha, yang mana kegiatan ini banyak mengandung risiko, yaitu jika
tidak untung, maka rugi. Hikmahnya adalah seorang wirausahawan, berarti harus
siap dengan semua risiko tersebut. Akibatnya ia harus mempersiapkan diri
menghadapi situasi terburuk yang mungkin timbul, kegagalan dan kepailitan
misalnya. Jadi wirausaha itu “siap rugi tetapi ingin untung”.
Namun seringkali kita membaliknya menjadi
“siap untung tetapi ingin rugi”. Maksudnya kita lebih senang membayangkan
keuntungan yang akan kita peroleh tanpa mempersiapkan usaha dengan baik. Kita
seringkali melihat angka-angka proyeksi dan potensi keuntungan dari wirausaha
yang akan kita jalankan. Bahkan terkadang kita berangan-angan bagaimana
menikmati keuntungan yang akan kita peroleh dengan membeli rumah, mobil dan
berjalan-jalan ke luar negeri atau tempat-tempat yang kita sukai. Kita sudah
menyusun rencana dengan sangat lengkap tentang angka-angka keuntungan usaha
tersebut. Namun kita justru lalai memikirkan dan mempersiapkan dengan baik agar
bagaimana angka-angka proyeksi keuntungan tersebut menjadi kenyataan. Kita
sudah siap untung tetapi tanpa sadar kita justru ingin rugi sebab tindakan kita
yang tidak sungguh-sungguh dalam merencanakan dan menjalankan usaha tersebut
berarti “keinginan” kita untuk rugi.
Tentu sangat boleh membayangkan dan
menghitung potensi keuntungan kegiatan wirausaha yang akan kita jalankan sebab
hal tersebut dapat lebih membuat kita terpacu dan bersemangat. Tetapi yang jauh
lebih penting dari itu adalah merencanakan dan mempersiapkan diri dan usaha
dengan sebaik-baiknya. Bahkan kita perlu menyusun rencana jika segala
sesuatunya berjalan tidak sesuai harapan. Kita perlu “sedia payung sebelum
hujan”, kita lebih perlu mempersiapkan diri menghadapi kerugian daripada
menghadapi keuntungan. Berwirausaha berarti kita harus “siap rugi tetapi ingin
untung”. Kita melakukan persiapan untuk menghadapi situasi terburuk namun kita
juga menyusun rencana dan langkah terbaik untuk meraih keuntungan.
Jadi lebih baik kita siap rugi namun akhirnya
meraih keuntungan daripada kita siap untung tetapi justru kerugian yang kita
dapat. Selamat ber wirausaha dan sukses.
2. Suatu yang membahayakan tidak
diperbolehkan, baik dalam bentuk melakukannya, maupun dalam bentuk menggantinya
sehingga menimbulkan bahaya yang lain. Misalnya dalam transaksi, bahwa jika
sebuah pekerjaan dilarang karena tidak dilabeli dengan syariah, bukan kemudian
menjadi boleh setelah dilabeli dengan syariah, padahal menyimpan dan praktiknya
sama.
Qaidah ini diambil dari hadits: لاضرر ولاضرار
3. Hukum huddud harus dicegah jika terdapat
suatu keraguan
Suatu contoh misalnya ragu-ragu untuk
memutuskan apakah seseorang benar terlibat dalam kasus pencurian atau tidak,
namun penghakiman massa benar-benar terjadi. Hukum penghakiman massa merupakan
yang ditolak oleh syariat, sementara pelaku yang diduga belum mendapatkan
haknya menerima pengadilan.
Qaidah ini diambil dari الحدود يدرأ بالشبهات
4. Setiap hutang yang membawa keuntungan bagi
orang yang meminjamkannya adalah riba.
Contoh praktiknya: Jika hukum memberi bunga
kredit ke bank yang diakibatkan seseorang meminjam bunga ke bank dihukumi
sebagai riba, maka seharusnya demikian juga bila bank memanfaatkan tabungan
giro yang dititipkan oleh nasabah kepada bank dengan akad wadi’ah, karena di
dalam wadi’ah tidak dikenal istilah orang yang dititipi (bank) boleh
memanfaatkan harta titipin pemilik. Bunga yang diberikan oleh bank kepada
nasabah yang menitipkan bisa disebut sebagai riba pula bila berapa persen
bunganya juga ditentukan di awal.
Qaidah ini berasal dari: كل قرض جر نفعا فهو الربا
5. Jangan menjual apa yang tidak engkau
miliki.
Qaidah ini berasal dari hadits: لابيع ما ليس عندك
Contoh kasus:
Kami adalah beberapa orang yang bertanggung
jawab atas sebuah koperasi yang dikelola oleh kerabat kami. Dan kami membeli
beberapa mobil baru dengan surat-surat pabean, dan ada pula dengan STNK. Kami
mejualnya dengan sistem angsuran. Perlu diketahui bahwa kami tidak memindah
namakan barang tersebut dengan menggunakan nama-nama kami dan tidak
mengeluarkannya dari tempat penjual, tetapi kami menjualnya di tempat
pembeliannya. Permasalahannya: apakah hal itu termasuk riba atau tidak? Jika
memang riba, lalu bagaimana kami harus menyelamatkan diri darinya? Perlu
diketahui bahwa kami tidak pernah menerima keuntungan.
Jawaban dari masalah ini sudah pasti adalah
tidak boleh melakukan jual beli produk mobil tersebut baik secara tunai maupun
kredit, secara berangsur maupun tidak, kecuali pemilik barang itu telah
dikuasai oleh orang yang menjual dan ia telah menerimanya secara penuh.
Maksudnya adalah: pembeli pertama telah menerimanya, menguasainya dan
memindahkannya ke tempat ia sendiri. Dan sekedar memperoleh surat-surat pabean
tidak dianggap sebagai jual beli sebelum adanya penguasaan dan pemilikan barang
itu secara sempurna. Berdasarkan hal tersebut, menjual mobil dengan surat-surat
pabean sebelum adanya penerimaan barang dan penguasaannya secara penuh, maka
dianggap sebagai jual beli yang tidak sah dan diharamkan untuk melakukannya,
serta harus dibatalkan. Sedang pembayarannya dikembalikan kepada yang berhak.
Dan tidak dihalalkan untuk mendapatkan hasil penjualannya kecuali dengan
mengadakan akad baru setelah mobil itu menjadi milik pembeli secara penuh dan
berada dalam kekuasaannya.
Lantas solusi apa yang ditawarkan? Fiqih
kemudian menjawab, yaitu dengan jalan berganti akad, yang sebelumnya akad jual
beli menjadi akad salam (pemesanan) atau akad samsarah (makelar). []
Muhammad Syamsudin, pegiat kajian
fiqih terapan; pengasuh Pondok Pesantren Hasan Jufri Putri, Pulau Bawean
Tidak ada komentar:
Posting Komentar