Jangan Diam Lawan Teroris!
Oleh: Musdah Mulia
BELUM habis rasa sedih dan geram kita akibat aksi teror di Mako
Brimob, terjadi lagi aksi teroris di Surabaya. Kali ini menggunakan gereja
untuk melampiaskan syahwat kekejiannya. Ibarat binatang buas, para teroris itu
sudah tidak punya rasa kemanusiaan sedikit pun. Hati dan pikiran mereka sudah
penuh diliputi kebencian dan permusuhan, tinggal mencari panggung
pembenarannya.
Saya pribadi turut berduka sangat mendalam, dan dengan tulus
mendoakan semoga semua korban ledakan bom di gereja mendapatkan cinta dan
kasih-sayang Tuhan Yang Mahapengasih. Mereka ialah orang-orang yang dikasihi
Tuhan untuk menjadi peringatan bagi kita yang hidup bahwa betapa bejatnya
perilaku teror.
Sebab itu, tidak boleh ada pembenaran sedikit pun untuk semua aksi
terorisme. Demikian juga bagi keluarga yang ditinggalkan, semoga dikuatkan iman
dan diringankan penderitaan serta berharap negara selalu melindungi mereka.
Kepada institusi kepolisian, saya mendesak untuk segera menangkap
para pelaku pengeboman dan menghancurkan jaringan terorisme sampai ke akarnya.
Polri perlu lebih meningkatkan kualitas kerja dan profesionalitas agar gerakan
terorisme di negeri ini dapat dilumpuhkan.
Mengapa muncul terorisme? Berbagai penelitian menyimpulkan bahwa
akar dari terorisme ialah 'perasaan ditinggalkan atau perasaan kalah dan tak
berdaya akibat kehidupan modern'. Terorisme muncul karena manusia tidak berdaya
atas 'prestasi peradaban' yang ironisnya telah diciptakan dirinya sendiri.
Manusia tergerus oleh arus kuat modernisasi dan globalisasi yang kemudian
menghapus cara-cara hidup tradisional, adat istiadat, kebiasaan, dan institusi
yang mereka warisi turun-temurun. Perasaan 'kalah' membawa kepada keterasingan
atau alienasi dan perasaan tersingkirkan.
Mereka yang terasing tersebut lalu keluar mencari perlindungan
dari komunitas primordial semisal agama. Mengapa agama? Karena agama menawarkan
penghiburan dan ketetapan hati. Namun, karena tanpa kontrol dan fanatisme buta,
orang-orang yang kalah dari peradaban tersebut kehilangan sikap kritis dan rasionalitasnya.
Tidak mengherankan jika kemudian mereka mudah diarahkan berontak kepada
peradaban modern yang mereka klaim sebagai sumber segala kejahatan modern.
Bagaimana dengan keterlibatan perempuan dan anak-anak? Sejumlah
penelitian mengungkapkan, para perempuan tersebut mengalami kekecewaan yang
amat dalam, putus asa, mengalami gangguan jiwa, dibelenggu laki-laki atas nama
agama. Sebagian mereka frustrasi dengan kondisi ketidaksetaraan dan
ketidakadilan gender, serta ketimpangan sosial di lingkungan mereka dan
sebagainya.
Faktor lain menyebutkan karena perempuan dan anak-anak kurang
dicurigai petugas keamanan. Lazimnya, perempuan menjalani proses pemeriksaan
tidak lebih ketat daripada laki-laki saat berhadapan dengan petugas keamanan.
Mereka sering kali dianggap tidak membahayakan sehingga petugas keamanan lengah
dan insiden pengeboman yang dilakukan perempuan pun tidak terelakkan.
Misalnya, aksi pengeboman di Turki yang sukses dilakukan seorang
perempuan yang membawa anak-anak kecil untuk mengelabui petugas keamanan.
Anak-anak kecil tersebut tampak malanutrisi sehingga petugas tidak merasa
curiga terhadap perempuan yang membawa mereka. Setelah anak-anak tersebut
dibawa ke dalam ambulans, sang perempuan teroris meledakkan diri dan mencederai
lusinan orang.
Sejumlah penelitian mengungkapkan secara jelas bentuk-bentuk
jaringan terorisme dan hubungan antara satu tokoh dan lainnya. Tempat di mana
mereka membangun kekuatan pun begitu kasatmata. Bahkan, jaringan itu bisa
ditelusuri sejak Indonesia merdeka. Pertanyaannya, mengapa begitu sulit
menghadapi mereka? Jangankan menghadapi jaringan terorisme, membuat
undang-undang antiterorisme saja sulitnya luar biasa. Sampai sekarang RUU
tersebut tak kunjung selesai diperdebatkan di DPR. Bisa tebak, ada apa ya di
baliknya?
Aksi-aksi teror semakin nyata di depan mata. Kita semua warga
bangsa jangan tinggal diam. Kebisuan kita selama ini ialah amunisi berharga
bagi mereka. Diam dan bisunya sebagian besar warga bangsa menjadikan mereka
semakin semangat dan berani.
Mulai detik ini kita tidak bisa lagi hanya mengimbau, mendoakan,
dan menyampaikan rasa duka dan prihatin. Mari bersama bangkit dengan aksi-aksi
konkret. Kita harus melakukan penyisiran terhadap bibit-bibit terorisme dalam
bentuk ajaran radikalisme agama. Namun ingat, selalu kedepankan cara-cara yang
santun dan beradab. Kekerasan tidak pernah menyelesaikan masalah!
Mulai sekarang, jangan biarkan sikap intoleran, ujaran kebencian,
dan permusuhan menghiasi media sosial kita. Jangan biarkan para guru, khususnya
guru agama mengotori hati dan pikiran anak-anak dengan sikap intoleran, ajaran
kebencian dan permusuhan. Jangan biarkan para pemuka agama menyampaikan dakwah
agama yang mengandung konten horor dan sikap menyalahkan orang lain yang
berbeda pandangan.
Jangan memilih parpol dan politisi yang menggunakan isu SARA dalam
kampanye dan aktivitas lain di publik. Jangan biarkan media televisi dan
lainnya menyuarakan aroma kebencian dan permusuhan terhadap Pancasila dan NKRI.
Jangan biarkan institusi publik, seperti rumah ibadah, kantor negara, dan
tempat-tempat lainnya dicemari dengan ajakan untuk menghapus demokrasi dan
ideologi Pancasila.
Mulai sekarang, jangan diam dan membisu! Mari bersama mendesak
pemerintah mengatasi ketidakadilan sosial yang menjadi narasi para teroris.
Berteriaklah jika agama, negara, dan bangsamu diinjak-injak mereka yang tidak
punya nurani kemanusiaan. Mari bersatu melawan terorisme! Dengan bersatu, kita
pasti menang! []
MEDIA INDONESIA, 15 Mei 2018
Musdah Mulia | Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar