Shofiyah Dapat
Sentimen SARA, Bagaimana Sikap Nabi?
Shofiyah RA
barangkali kurang begitu populer di sebagian kalangan umat Islam. Akan tetapi,
dia adalah sosok panutan dengan tingkat komitmen dan kecerdasan yang tinggi. Dia
juga anak dari seorang manusia yang pernah melakukan perlawanan dengan
kerasulan dan kenabian Muhammad SAW. Orangtuanya bernama Huyay, bias dikatakan
Ketua Central Commite (CC) Bani Nadhir.
Iya, Shofiyah adalah
istri Nabi, sang rekonsiliator ulung suku-suku di Madinah. Shofiyah
diperkirakan lahir sekitar tahun 610 Masehi dan wafat pada umur 50 tahun. Ia
juga salah satu istri Nabi yang juga meriwayatkan hadits.
Meski sebagai figur
publik kaum muslimin dan istri seorang Nabi, tidak lantas membuat dia sunyi
dari cemoohan dan sentimen “SARA”. Hal tersebut terhubung dengan genealogi
Shofiyah sebagai anak Huyay, Yahudi Bani Nadhir (bani Israel).
Sejarah telah
mencatat bahwa Bani Nadhir ikut terlibat dalam pengkhianatan genjatan senjata
Hudaibiyah, “Sulh Hudaibiyah” antara kafir Qurays dan kaum Muslimin. Peristiwa
ini merupakan secuil peristiwa dari rentetan peristiwa yang melibatkan orang
tua dan asal komunitas Shofiyah RA.
Namun realitas
berkata lain, hingga mempertemukan Shofiyah RA dengan Nabi SAW. Bahkan Abu
Nuaim Ahmad bin Abdillah al-Ashfahaniy (430 H) dalam kitab Hilyatul Auliya wa
Thobaqot al Ashfiya, menggambarkan Shofiyah RA sosok perempuan taqiyyah wa
zakiyah (taqwa nan suci), dzatul ain al bakiyah (pemilik mata nan
berkaca-kaca), shofyat as-shofiyah (bening nan jernih).
Abu Nuaim berkata,
“Sulaiman bin Ahmad menceritakan (hadtsana) kepada kami, Ishaq bin Ibrahim
mendukung kami (tsanna), Abdur Rozzaq mengkabarkan kepada kami (akhbarona),
Muammar mengkhabarkan kepada kami (akhbarona) dari Tsabit dari Anas RA berkata,
“Kepada Shofiyah RA telah sampai sebuah berita bahwa Hafsoh RA telah berkata
kepada Shofiyah RA, “Sungguh engkau adalah putri seroang Yahudi”. Kemudian
Shofiyah menangis. Tak selang lama Nabi masuk ruangan, sementara Shofiyah dalam
keadaan menangis. Nabi lantas bertanya, “gerangan apa yang membuat engkau
menangis? tanya Nabi. Shofiyah menjawab, “Hafsoh telah berkata bahwa aku ini
adalah anak Yahudi!” Nabi kemudian menenangkan seraya berucap kepada Hafsoh,
“Engkau adalah anak Nabi (cicit Harun AS) dan pamanmu adalah Nabi (Musa AS) dan
engkau juga dalam lingkungan Nabi (Muhammad SAW), bagaimana itu tidak membuatmu
bangga,” Nabi melanjutkan nasihatnya kepada Hafsoh, “Bertawakallah wahai
Hafsoh!”
Patut direnungkan
bersama, kekhilafan dan dosa orang tua seseorang tidaklah kemudian ditimpakan
anak sebagai gantinya. Seperti termaktub dalam Firman Allah surat Al–An’am ayat
164, “Dan tidakah seorang berbuat dosa melainkan kembali kepadanya; dan orang
yang berdosa tidak memikul dosa orang lain. Kemudian kepada tuhan-MU lah kalian
kembali. Dan akan kami ceritakan (beritakan) tentang apa-apa yang kalian
selisihkan”.
Shofiyah RA dalam
kasus di atas adalah pihak korban diskriminasi sosial masa Nabi, akibat dari
perbuatan orang tua dan kelompoknya. Tentu, ini pelajaran berharga agar seorang
yang telah bertaubat diberikan hak-hak nya sebagaimana ia hak yang diperoleh
orang lain. Begitupun yang berada (merasa benar) tetap besikap wajar dan
menghargai masa lalu sebagai bagian dari proses hidup seseorang yang tidak bisa
diubah lagi. Semoga bermanfaat! Wallahu alamu bis shawab.
Diambil dari kitab
Abu Nuaim Ahmad bin Abdillah al Ashfahaniy Hilatul Auliya Wa Thobaqot al
Ashfiya, Juz II Cet. 1, (Beirut Lebanon: Darul Kutub al-Ilmiyah, 1988 M/1409
H). []
Ali Makhrus,
Mahasiswa SPs UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar