Khalifah Al-Muhtadi: Umar bin Abdul Azis-nya Dinasti Abbasiyah
Oleh: Nadirsyah Hosen
Khalifah ketiga belas Dinasti Abbasiyah, al-Mu’tazz, dipaksa
lengser dan kemudian disekap dan disiksa hingga wafat. Sesaat sebelum wafat dia
menyerahkan tampuk kekuasaan kepada Muhammad bin al-Watsiq, yang kemudian
bergelar al-Muhtadi. Khalifah yang baru ini merupakan putra Khalifah
kesembilan, al-Watsiq. Bagaimana jalannya roda pemerintahan di masa Khalifah
al-Muhtadi? Kembali yuk kita simak lanjutan ngaji sejarah politik Islam di
portal Geotimes.
Semula al-Muhtadi menolak menerima ba’iat sebagai khalifah.
Mewarisi pemerintahan yang bangkrut dan karut marut tentu bukan sesuatu yang
menyenangkan. Militer Turki masih berkuasa di Samarra, ibu kota negara. Sejak
pembunuhan atas Khalifah kesepuluh, al-Mutawakkil, oleh militer Turki,
berturut-turut naik-turunnya khalifah lewat pertumpahan darah yang direkayasa
oleh mereka. Al-Muhtadi sadar betul risiko yang dihadapinya saat, pada
akhirnya, menerima ba’iat sebagai khalifah.
Imam Suyuthi menggambarkan sosok al-Muhtadi yang alim. Rajin salat
dan tidak pernah meninggalkan puasa selama menjadi Khalifah. Diriwayatkan bahwa
al-Muhtadi ingin meniru langkah yang telah dilakukan oleh khalifah Dinasti
Umayyah yang legendaris, yaitu Umar bin Abdul Aziz. Al-Muhtadi menginginkan
hidup yang sederhana seperti dicontohkan Umar bin Abdul Azis.
Ini saja sudah luar biasa. Kita tahu Dinasti Abbasiyah dibangun
atas puing-puing keruntuhan Dinasti Umayyah. Tidak jarang para pemuka Abbasiyah
mengecam Mu’awiyah, Marwan, dan keturunan mereka. Namun, kini Al-Muhtadi malah
mengagumi salah satu khalifah Dinasti Umayyah. Sayang, baik Umar bin Abdul Azis
maupun al-Muhtadi berkuasa hanya sebentar dan wafat secara tragis.
Imam Thabari melaporkan bahwa ibunda al-Muhtadi, namanya Qurb,
sudah wafat beberapa waktu sebelum al-Muhtadi menjadi khalifah. Dikabarkan
al-Muhtadi berkata, “Saya sudah tidak punya ibu, tidak seperti al-Mu’tazz yang
ibunya menginginkan 10 juta dinar setiap tahun untuk membayar keperluannya dan
para pelayannya. Saya hanya ingin hidup sederhana.”
Saya kisahkan sebelumnya bagaimana al-Mu’tazz yang dipaksa memberi
uang 50 puluh ribu dinnar kepada Jenderal Salih bin Washif, dan karena kas negara
yang kosong lalu meminta uang kepada ibunya. Namun, ibunya menolak sambil
mengaku tidak punya uang. Kegagalan al-Mu’tazz menyediakan uang itu yang
membuat tentara marah dan akhirnya menurunkannya dari jabatan khalifah dan
berujung pada kematiannya.
Pada masa al-Muhtadi, militer menangkap Qabihah, ibu al-Mu’tazz,
dan kemudian memeriksa tempat tinggalnya. Semula tidak ditemukan harta di sana,
tapi kemudian ternyata ada terowongan bawah tanah yang, setelah ditelusuri,
ditemukanlah berbagai macam permata dan uang jutaan dinar. Inilah hasil korupsi
sang ibu khalifah.
Bahkan tragisnya, dia tidak mau menolong anaknya mengirimkan 50
puluh ribu dinar untuk menyelamatkan kekuasaan dan nyawa anaknya, padahal
ternyata dia memiliki jutaan dinar. Jenderal Salih bin Washif kemudian menyita
semua harta Qabihah untuk membayar pasukannya.
Kekuasaan memang mendatangkan kemewahan. Tanpa mekanisme checks and balances, baik
melalui institusi politik maupun partisipasi publik, kekuasaan menjadi absolut.
Tambah dua kali absolut ketika kekuasaan semacam itu mengambil legitimasi dari
ajaran agama.
Kembali ke kisah al-Muhtadi. Seperti khilafah sebelumnya, beliau
juga harus menghadapi para Jenderal Turki yang sangat berkuasa. Sebenarnya ada
sedikit celah untuk sang Khalifah keluar dari jebakan dan tekanan militer,
yaitu para jenderal juga saling berebut kekuasaan. Jenderal Bayakbak yang
menguasai pasukan dan keamanan istana (mungkin semacam Paspampres zaman old) dicopot dan diganti
oleh Jenderal Satikin.
Dahulu Jenderal Washif dan Bugha kompak, namun para putra mereka,
yaitu Salih bin Washif dan Musa bin Bugha, tidak cocok satu sama lain. Mampukah
al-Muhtadi mengambil keuntungan dari celah perpecahan di kalangan militer atau
dia malah terjepit di saat dua gajah bertempur?
Setelah harta Qabihah disita dan diberikan kepada pasukannya,
Perdana Menteri Ahmad bin Israil juga dibunuh oleh Jenderal Salih bin Washif.
Siapa pun yang bersalah seharusnya dibawa ke pengadilan, diberi hak membela
diri, dan pengadilan yang memutuskan bersalah atau tidak. Negara pula yang
berhak mengeksekusi dan menyita harta. Namun, semua itu diterabas oleh Salih
bin Washif.
Kesewenang-sewenangan itu menimbulkan kecemburuan dan juga
kejengkelan Jenderal Musa bin Bugha yang memutuskan untuk memasuki ibu kota dan
hendak menuntut balas atas kematian al-Mu’tazz dan penyitaan harta Qabihah.
Rakyat berseru, “Musa datang mengejar Fir’aun.” Yang disebut Fir’aun itu
adalah Jenderal Salih bin Washif. Ini karena tindakannya sudah melampaui batas
dan Khalifah al-Muhtadi tidak berdaya menghadapinya.
Jenderal Musa bin Bugha memasuki istana dan memaksa Khalifah
al-Muhtadi naik ke atas kuda. Al-Muhtadi berseru, “Apa-apaan ini, Musa! Apa
yang kamu inginkan?” Musa menjawab, “Saya hanya menginginkan kebaikan untukmu.
Saya minta Anda bersumpah bahwa Anda tidak akan mendukung Salih bin Washif.”
Maka bersumpahlah Khalifah al-Muhtadi.
Salih bin Washif lantas bersembunyi. Pasukan Musa mencarinya namun
tidak berhasil menemukannya. Keadaan semakin kacau balau. Musa bin Bugha
mengumumkan akan memberi hadiah 10 ribu dinar kepada sesiapa yang bisa
menemukan Salih bin Washif.
Khalifah al-Muhtadi menyarankan agar terjadi ishlah (alias perdamaian)
di antara kedua jenderal ini. Namun, pasukan Musa salah paham dengan permintaan
ishlah ini dan
menganggap al-Muhtadi mendukung Salih dan tidak melaksanakan isi sumpahnya.
Dikepung oleh pasukan Musa, dengan gagah berani al-Muhtadi keluar
menemui mereka dengan sebilah pedang dan berkata: “Aku tidak tahu di mana Salih
bin Washif berada. Aku bukanlah al-Musta’in dan al-Mu’tazz yang bisa kalian
paksa. Ini pedangku. Akan aku tebas kalian selama aku masih sanggup memegang
pedang ini. Tidakkah kalian punya agama? Tidakkah kalian merasa malu? Tidakkah
kalian punya perasaan?”
Imam Thabari melaporkan bahwa al-Muhtadi juga berseru: “Wahai
Bayakbak, lihatlah kondisi rumah dan harta bendaku milik keluargaku. Tidak kau
dapati perabotan yang mewah yang kami atau pelayan kami miliki. Bahkan
kolegamu, para jenderal, hidupnya lebih beruntung dan lebih mewah dari kami.
Kalau Anda mau memuaskan rasa haus darah kalian untuk membunuh Salih, silakan
cari dia, tapi jangan libatkan aku, ini bukan urusanku!”
Bayakbak dan Muhammad bin Bugha (saudaranya Musa) jengkel dengan
al-Muhtadi yang menyebut-nyebut keterlibatan mereka dalam hal kemewahan dulunya
bersama Salih bin Washif saat menurunkan al-Mu’tazz dan menyita harta Qabihah,
tapi kini seolah hendak cuci tangan dan menyalahkan semuanya kepada Salih bin
Washif.
Lantas, di mana Salih bin Washif bersembunyi? Akhirnya dikisahkan
ada seorang anak kecil yang melihat lorong bawah tanah, dan kemudian melihat
Salih tengah tertidur di sana. Setelah mendapat laporan itu, seperti dituturkan
dengan detail oleh Imam Suyuthi, pasukan Musa menangkap Salih dan kemudian
memenggal kepala Jenderal Salih bin Washif. Kepalanya dibawa ke al-Muhtadi yang
baru selesai salat. Respons sang Khalifah, “tutup kepala itu,” dan berulang
kali dia mengucap “Subhanallah”.
Kepala Salih bin Washif kemudian diarak dan digantung di atas
gerbang kota selama 3 hari. Pada 1 Februari 870 kepala Salih dikirimkan kepada
saudari perempuannya, Ummu al-Fadl, yang kemudian menguburkannya. Begitulah
darah dibalas darah. Kepala dibalas kepala. Semua atas nama Islam.
Ketidaksukaan Bayakbak, Muhammad, dan Musa kepada al-Muhtadi
semakin dalam, tapi mereka kekurangan dana untuk menggerakkan pasukan. Sampai
akhirnya pada 4 Januari 870 mereka mendapat dana kiriman dari setoran
daerah Fars dan al-Ahwaz sebesar 17.5 juta dinar. Namun, mereka memilih
bergerak menghadapi pasukan Musawir, pemimpin Khawarij.
Ini satu tanda bahwa lebih dari seratus tahun setelah Nabi
Muhammad wafat, berkali-kali Khawarij memberontak baik di masa Dinasti Umayyah
dan kini di masa Abbasiyah, dan meski berkali-kali kalah, mereka belum punah
dan lenyap. Tak aneh di masa sekarang pun kita melihat sejumlah kelompok yang
pantas dijuluki Neo-Khawarij.
Al-Muhtadi melihat ada kesempatan menyingkirkan Musa bin Bugha
yang sedang bertempur dengan Khawarij. Al-Muhtadi mengirm surat kepada Bayakbak
dan memintanya mengambil alih tongkat komando militer dan membunuh Musa bin
Bugha atau mengikatnya dengan rantai. Sayangnya, Al-Muhtadi salah perhitungan.
Bayakbak malah melaporkan isi surat itu kepada Musa bin Bugha.
Musa menyarankan Bayakbak keluar dari medan pertempuran dan segera menuju
istana dan berpura-pura tetap loyal kepada Khalifah, sambil menunggu Musa dan
pasukannya menyusun rencana membunuh Khalifah al-Muhtadi. Bayakbak mengikuti
saran ini.
Sesampainya di istana, Bayakbak menemui Khalifah al-Muhtadi yang
langsung murka, “Saya perintahkan Anda membunuh Musa, kok, malah Anda
meninggalkan pasukan dan menghadap saya ke istana. Kenapa masalah ini Anda
anggap sepele?”
Bayakbak menjawab, “Bagaimana bisa saya membunuh Musa yang
pasukannya lebih superior dibanding saya?” Khalifah tidak bisa menerimanya dan
meminta Bayakbak dilucuti senjatanya dan kemudian dimasukkan penjara. Tindakan
khalifah ini menimbulkan kemarahan saudara Bayakbak dan juga asistennya, yaitu
Ahmad bin Khaqan, yang mengumpulkan pasukan untuk mengepung istana. Begitulah
jika aliansi politik tidak berdasarkan loyalitas, tapi kepentingan semata.
Terjadilah pertarungan antara pasukan Bayakbak dengan pasukan yang
masih setia di bawah komando al-Muhtadi, yang kemudian memerintahkan Bayakbak
yang dalam tahanan segera dieksekusi. Perintah yang kemudian langsung
dikerjakan. Selesailah Bayakbak.
Tapi pertempuran di sekitar istana masih terjadi. Dikabarkan
al-Muhtadi membeli loyalitas pasukan yang melindunginya dengan membayar 2
dirham per hari setiap tentara. Akibat pertempuran sesama Muslim ini, sekitar 4
ribu tentara mati dalam perang saudara ini, yang terjadi sekitar tanggal 16
Juni 870.
Satu versi yang dikisahkan Imam Thabari, pasukan Ahmad bin Khaqan
akhirnya berhasil menangkap Khalifah al-Muhtadi. Ibn al-Atsir dalam al-Kamil fit Tarikh
mengatakan al-Muhtadi dihajar dengan pedang. Imam Thabari mengatakan al-Muhtadi
dilecehkan, diludahi dan disiksa, bahkan buah pelir al-Muhtadi ditendang hingga
dia ambruk dan wafat.
Ibn Atsir mencatat al-Muhtadi berkuasa hanya selama 11 bulan dan
15 hari. Al-Muhtadi berusia 38 tahun saat wafat. Maka, dapat kita berikan
ringkasan apa yang terjadi dengan lima khalifah pada periode ini.
Khalifah kesepuluh Abbasiyah, Al-Mutawakkil, usia 40 tahun saat
wafat, berkuasa 14 tahun, dibunuh konspirasi militer Turki dan al-Muntashir,
anaknya sendiri.
Al-Muntashir, khalifah kesebelas, berusia 25 tahun saat wafat dan
hanya berkuasa sekitar 6 bulan, dan mati diracun oleh militer.
Khalifah kedua belas, al-Musta’in, kalah dalam perang saudara dan
dipaksa lengser, lantas dipenggal kepalanya atas perintah keponakannya,
al-Mu’tazz. Al-Musta’in berusia 31 tahun saat wafat dan berkuasa selama 4
tahun.
Penggantinya, al-Mu’tazz, sebagai Khalifah ketiga belas, berusia
19 tahun saat diangkat menjadi Khalifah oleh Militer Turki. Sayang, dia hanya
menjabat kurang dari 3 tahun dan dipaksa mundur oleh militer dan kemudian
dibunuh setelah sebelumnya disiksa.
Dan baru saja kita menyimak kisah khalifah keempat belas, yaitu
al-Muhtadi, yang berusia 38 tahun dan wafat disiksa oleh militer, setelah
berkuasa hanya sebelas bulan.
Apa kesimpulan dari bahasan khalifah kesepuluh sampai keempat
belas Dinasti Abbasiyah ini? Mereka naik dan wafat pada usia masih muda.
Dinasti Abbasiyah mengalami instabilitas luar biasa. Negera bangkrut. Para
khalifah menjadi boneka dari para Jenderal Militer Turki. Kelimanya wafat dalam
kondisi mengenaskan, dan umumnya berkuasa cukup singkat.
Insya Allah kita lanjutkan pada kolom Jum’at berikutnya
untuk mengupas kisah khalifah kelima belas dan bagaimana nasib Dinasti
Abbasiyah selanjutnya. []
GEOTIMES, 26 Januari 2018
Nadirsyah Hosen | Rais Syuriah NU Australia – Selandia Baru dan
dosen senior di Faculty of Law, Monash University
Tidak ada komentar:
Posting Komentar