Penuh Hikmah, KH
Tubagus Muhammad Falak Sempat Dikira Dukun
Di antara kelebihan
para ulama pendahulu adalah karomah atau keistimewaan selain ilmu agama yang
mumpuni. Bahkan, para ulama pesantren juga mempunyai bekal ilmu kanuragan atau
kesaktian bela diri dan tenaga dalam. Ilmu agama, dipadu dengan keistimewaan dan
kanuragan yang tinggi menjadi pendamping setia dalam menghadapi setiap ancaman
dalam berdakwah.
Sejarah mencatat,
para kiai Nahdlatul Ulama (NU) mendapat rintangan yang tidak mudah ketika
berdakwah dengan mendirikan pesantren di sebuah wilayah yang merupakan ‘zona
merah’. Sebut saja Hadratussyekh Hasyim Asy’ari saat mendirikan Pondok
Pesantren Tebuireng, Jombang yang mendapat gangguan dari orang-orang jahat yang
tidak suka dengan keberadaan dakwah pesantren kala itu. Namun dengan bekal ilmu
hikmah dan kanuragan yang cukup, Kiai Hasyim Asy’ari tidak hanya mampu
menaklukkan para bandit, tetapi menyadarkan mereka untuk ikut dan belajar di
pesantren.
Begitu juga dengan KH
Tubagus Muhammad Falak. Kiai kelahiran 1842 di Kampung Sabi, Pandeglang, Banten
yang merupakan teman seperjuangan Kiai Hasyim Asy’ari ini juga mendapat
rintangan serupa ketika ingin mendirikan sebuah Pesantren Al-Falak di daerah
Pagentongan, Desa Gunung Batu, Kecamatan Ciomas, sekitar 9 kilometer dari pusat
Kota Bogor, Jawa Barat.
Kiai yang juga
perintis NU di wilayah Bogor ini mendapat tantangan tidak mudah ketika
mendapati sebuah masyarakat yang percaya akan dukun dan penuh dengan
mistifikasi. Sehingga putra KH Tubagus Abbas yang mempunyai ketersambungan
nasab kepada Sultan Maulana Hasanuddin, Raja Banten putra Sunan Gunung Jati ini
harus terlebih dahulu menghadapi dukun-dukun tangguh dan kuat di kampung
tersebut.
Pertarungan dengan
dukun di sini bukan dalam hal fisik, tetapi lebih kepada penguatan akidah dan
nilai-nilai Islam. Kiai Tubagus Muhammad Falak dengan ilmu hikmah dan
karomahnya mampu membuat masyarakat di Pagentongan percaya bahwa Allah-lah Yang
Maha Kuasa dan Penolong sehingga mereka tidak lagi percaya kepada dukun,
kembali kepada ajaran ulama yang tersambung ilmunya hingga Nabi Muhammad.
Setelah para dukun
dikalahkan, sasaran berikutnya adalah para jawara – penjahat jagoan kampung –
yang seringkali mengganggu kehidupan penduduk, terutama di malam hari dan di
tempat-tempat terpencil. Sehingga Kiai Tubagus Muhammad Falak yang paham dan
menguasai ilmu tenaga dalam (kanuragan) mengajarkan wirid syaman kepada
beberapa santrinya. (Choirul Anam, 2010)
Wirid syaman
merupakan doa-doa yang berasal dari ajaran Syekh Syaman disertai jurus dan
gerakan-gerakan berkeliling dan maju, dilakukan oleh laki-laki. Dengan wirid
ini, para santri mempercayai seperti mendapat tambahan kekuatan jasmani dan
keberanian untuk menghadapi lawan dan pergulatan. Bekal ilmu kanuragan berbasis
spiritualitas ini yang kemudian membuat para santri mampu mematahkan gangguan
dari para ‘jawara’ tersebut.
Masyarakat merasa
tertolong dengan adanya bantuan dari kiai yang merupakan seorang mursyid (guru
besar) Thariqah Qadiriyah wa Naqsyabandiyah ini. Dengan demikian, tumbuhlah
pengakuan masyarakat terhadap kelebihan Kiai Muhammad Falak. Bahkan dalam
pandangan awam, Kiai Muhammad Falak tidak hanya dikenal sebagai ulama terkemuka
dan sakti, tetapi juga sempat dianggap sebagai dukun keramat yang memiliki
banyak ilmu hikmah.
Padahal, kesaktian
kiai yang wafat pada 1972 di usia 130 tahun di Pagentongan ini diperoleh dari
memahami ilmu tenaga dalam yang disertai dengan sejumlah wirid dan doa sebagai
wujud kepasrahan manusia terhadap kekuatan Allah Yang Mahadahsyat. Dengan
perjuangan untuk masyarakatnya itu, Kiai Muhammad Falak ditetapkan oleh
masyarakat sebagai seorang pemimpin kharismatik yang kehadirannya banyak
menolong masyarakat sekitar.
Karena itu, seiring
dengan berjalannya waktu, banyak santri dan masyarakat berbondong-bondong ingin
belajar ilmu agama kepada Kiai Tubagus Muhammad Falak di Pesantren Al-Falak
Pagentongan. Itulah titik awal pesantren yang didirikan pada 1907 itu menjadi
pesantren yang masyhur dan terus bergerak maju. []
(Fathoni Ahmad)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar