Abu Yazid dan Pemabuk
Salah satu kebiasaan Imam Abu Yazid (804-874
M) adalah sering berjalan-jalan di sekitar pemakaman. Suatu malam ketika
kembali, ia berpapasan dengan seorang bangsawan muda yang sedang memainkan
barbath (semacam kecapi). Imam Abu Yazid secara refleks mengatakan: “La haula
wa la quwwata illa billahi” sebagai bentuk memohon perlindungan Allah.
Pemuda itu tengah mabuk dan memukul kepala
Imam Abu Yazid dengan barbathnya, hingga barbathnya pecah. Kepala Imam Abu
Yazid pun berdarah. Ia kembali ke tempatnya dan memanggil salah seorang
temannya. Ia memberikan kepada temannya sebuah bungkusan yang dilipat rapi
sembari mengatakan: Sampaikan maafku pada fulan dan berikan ini padanya serta
sampaikan perkataanku ini:
الدراهم
ثمن بربطك الذي كسرته علي رأسي, والحلوي عوض الغصّة التي حصلت لك أوان الضرب
“Uang dirham ini adalah kompensasi atas
barbath tuan (semacam kecapi) yang hancur karena kepalaku, dan manisan ini
untuk menghilangkan kesedihan tuan sebab (hancurnya barbath tuan) di saat
memukulkannya (ke kepalaku).” (Fariduddin Attar, Tadzkirah al-Auliya’, alih
bahasa Arab oleh Muhammad al-Ashiliy al-Wasthani al-Syafi’i (836 H), Damaskus:
Darul Maktabi, 2009, hlm 193).
Setelah pemuda bangsawan itu mengetahui,
bahwa orang yang dipukulnya tadi malam adalah Imam Abu Yazid, ia terharu dan
bergegas mendatanginya untuk meminta maaf dan bertaubat.
****
Akhlak Imam Abu Yazid ini mengandung dua
dimensi, yaitu dimensi pembersihan hatinya sendiri dan dimensi dakwah. Dimensi
pertama, ketika mengucapkan “la haula wa la quwwata illa billah,” ada seberkas
prasangka bahwa dirinya lebih baik dari pemabuk yang sedang bermusik di
jalanan. Amal ibadahnya selama ini membuka pintu ‘ujub dan takabbur dalam
hatinya, seakan mengemukakan perkataan halus, “ana khairun minhu—aku lebih baik
darinya.”
Karena itu, ia memandang pentingnya taubat
dari keterjebakan ketaatan agar tidak seperti Iblis. Ia berkata: “Taubatun
al-ma’shiyah wahidah, wa taubatun al-tha’ah alfu taubatin—taubat maksiat itu
satu nilainya, sedangkan taubat taat itu seribu nilainya.” (Dr. Abdul Halim
Mahmud, Abu Yazid al-Bistham, Kairo: Darul Ma’arif, tt, 111).
Menurut Syekh Abdul Halim Mahmud (1910-1978
M), konsep taubat Imam Abu Yazid ini berdasarkan pada ayat (Q.S. al-Baqarah
[2]: 221: “Inna Allah yuhibbu al-tawwabin—sesungguhnya Allah mencintai
orang-orang yang memperbanyak taubatnya”, atau secara terus menerus.
Lafad yang digunakan Al-Qur’an adalah
al-tawwabin yang berarti orang yang banyak atau memperbanyak taubatnya, bukan
al-ta’ibin (orang yang bertaubat). Tujuannya adalah, untuk menjaga pintu hati
tidak mudah disusupi oleh sifat takabbur, sum’ah dan ‘ujub.
Dimensi kedua (dakwah), dengan menyampaikan
permohonan maaf dan mengganti alat musik yang pecah sesuai dengan harganya,
meskipun posisi Imam Abu Yazid di sini adalah korban, meninggalkan keharuan dan
kesan mendalam di hati pemuda itu. Ditambah perhatian Imam Abu Yazid atas
kesedihan hati pemuda itu karena barbathnya yang rusak, sehingga pemuda itu
mengalami ekstase keharuan yang disebabkan oleh akhlak mulia seseorang, yang sama
sekali tidak pernah sekalipun terlintas di benaknya, bahwa ada orang yang mampu
bertindak di luar cakupan prediksi.
Akhirnya, Ia berlari menghampiri Imam Abu
Yazid al-Bistham, memohon maaf dan menyatakan diri bertaubat. Taubat pemuda
bangsawan itu bukan karena terancam oleh sesuatu, tapi kehalusan budi Imam Abu
Yazid al-Bistham.
Sehingga Fariduddin ‘Attar menggambarkan
taubatnya pemuda itu dengan kalimat: “Taba min al-ma’ashi bi barakah dzalika
al-huluq al-husn al-shadir ‘an Abi Yazid rahima Allah—pemuda itu bertaubat dari
segala kemaksiatan karena berkah akhlak mulia yang keluar dari diri Abu Yazid,
semoga Allah merahmatinya.” (Fariduddin ‘Attar, Tadzkirah al-Auliya’, hlm 193).
Akhlak mulia itu bersumber pada kontinuitas
taubat, setiap saat, dimanapun tempatnya dan kapanpun waktunya. Baginya, taubat
tidak perlu harus bermaksiat dulu, taubat seharusnya dilakukan setiap saat,
untuk menjaga hati kita dari sifat-sifat tercela. Semoga bermanfaat. Wallahu
a’lam. []
Muhammad Afiq Zahara, alumnus Pondok
Pesantren al-Islah, Kaliketing, Doro, Pekalongan dan Pondok Pesantren
Darussa’adah, Bulus, Kritig, Petanahan, Kebumen.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar