Rabu, 30 Mei 2018

(Buku of the Day) Ngaji Toleransi


Ngaji Toleransi untuk Keutuhan Indonesia


Judul                : Ngaji Toleransi 
Penulis             : A. Syarif Yahya
Penerbit            : Quanta (Elex Media Komputindo, Kompas Gramedia)
Terbit                : Senin, 9 Oktober 2017 
Halaman           : 200 
Peresesnsi        : Arif Hamdani, Mahasiswa STAINU Temanggung, Jawa Tengah.

Setelah buku Fiqih Toleransi, Ahmad Syarif Yahya (alumni Pondok Pesantren Al-Anwar Sarang, Rembang) meluncurkan buku terbarunya: Ngaji Toleransi. Jika Fiqih Toleransi lebih teoritis, Ngaji Toleransi ini lebih aplikatif. Penulis memaparkan pengalamannya bergaul dan berdakwah di tengah masyarakat majemuk.

Syarif Yahya lahir dan dibesarkan di Kaloran, Temanggung, Jawa Tengah. Sebuah desa yang berpenduduk majemuk. Masyarakat desa Kaloran, mayoritas beragama Islam dengan jumlah 36.726 jiwa, disusul umat Buddha berjumlah 7983 jiwa, Kristen Protestan 903 jiwa, dan Katolik 756 jiwa. 

Dalam keadaan sosial yang sedemikian kompleks – menurut penulis –umat muslim harus betul-betul memiliki ilmu tertentu agar bisa tetap menjalankan perikehidupan sosial, tanpa harus menciderai ajaran agama kami. Ilmu tersebut disebut ilmu toleransi. 

Sebab dalam kehidupan majemuk, Islam yang ajarannya bersifat kaffah atau menyeluruh atau total menyentuh semua sendi kehidupan, pasti akan berhadapan dengan realita sosial yang tak jarang bertentangan dengan ajaran agama. Dalam keadaan demikian, seorang muslim harus bisa bersiasat agar tetap bisa menjalankan kewajiban horisontal tanpa menciderai kewajiban vertikal. 

Penulis mencontohkan masalah menyembahyangi mayat. Bahwa di desanya, banyak keluarga yang memiliki struktur anggota yang beragam keyakinan. Pernah, seorang Buddha meninggal. Anak-anaknya sebagian muslim sebagian Buddha. Salah satu anaknya yang muslim, datang ke penulis meminta agar menyalati bapaknya. 

Maklum saja, anak itu mualaf dan belum paham betul bahwa Islam melarang menyalati jenazah non muslim. Larangan menyalati jenazah non muslim, bukanlah ajaran intoleran, sebab toleransi memang tidak boleh masuk ranah ritual, hanya sebatas sosial. 

Diceritakan bahwa kemudian penulis berpikir; jika menyalati jenazah nonmuslim tentu itu melanggar kanun agama. Jika tidak datang, si anak yang muslim pasti akan tersinggung. Akhirnya penulis berangkat dan shalat di depan jenazah Buddha itu. 

Tapi niat shalatnya ganti dengan shalat gaib. Sebab menurut mazhab Syafi’i, shalat gaib boleh dilakukan di mana saja, kapan saja, dan berpakali saja. Maka, selesailah masalahnya.

Buku ini menarik dan kontekstual untuk Indonesia saat ini yang tengah dilanda krisis toleransi. Buku ini menjadi panduan bagi seluruh umat muslim di Indonesia, agar bisa hidup berdampingan dengan non muslim. 

Bahkan, buku ini juga baik dibaca oleh non muslim. Agar nonmuslim juga tahu bahwa dalam Islam, toleransi bukan tanpa batas. Selain pengalaman, buku ini juga banyak menukil teladan toleransi dari Nabi, sahabat, tabiin, dan para khalifah. Juga menjelaskan secara gamblang bahwa Islam yang didakwahkan para wali di Indonesia adalah Islam murni, yang bercirikan universal tidak parsial. []

Tidak ada komentar:

Posting Komentar