Ngaji Toleransi untuk
Keutuhan Indonesia
Judul
: Ngaji Toleransi
Penulis
: A. Syarif Yahya
Penerbit
: Quanta (Elex Media Komputindo, Kompas Gramedia)
Terbit
: Senin, 9 Oktober 2017
Halaman
: 200
Peresesnsi
: Arif Hamdani, Mahasiswa STAINU Temanggung, Jawa Tengah.
Setelah buku Fiqih
Toleransi, Ahmad Syarif Yahya (alumni Pondok Pesantren Al-Anwar Sarang,
Rembang) meluncurkan buku terbarunya: Ngaji Toleransi. Jika Fiqih Toleransi
lebih teoritis, Ngaji Toleransi ini lebih aplikatif. Penulis memaparkan
pengalamannya bergaul dan berdakwah di tengah masyarakat majemuk.
Syarif Yahya lahir
dan dibesarkan di Kaloran, Temanggung, Jawa Tengah. Sebuah desa yang
berpenduduk majemuk. Masyarakat desa Kaloran, mayoritas beragama Islam dengan
jumlah 36.726 jiwa, disusul umat Buddha berjumlah 7983 jiwa, Kristen Protestan
903 jiwa, dan Katolik 756 jiwa.
Dalam keadaan sosial
yang sedemikian kompleks – menurut penulis –umat muslim harus betul-betul
memiliki ilmu tertentu agar bisa tetap menjalankan perikehidupan sosial, tanpa
harus menciderai ajaran agama kami. Ilmu tersebut disebut ilmu toleransi.
Sebab dalam kehidupan
majemuk, Islam yang ajarannya bersifat kaffah atau menyeluruh atau total
menyentuh semua sendi kehidupan, pasti akan berhadapan dengan realita sosial
yang tak jarang bertentangan dengan ajaran agama. Dalam keadaan demikian,
seorang muslim harus bisa bersiasat agar tetap bisa menjalankan kewajiban
horisontal tanpa menciderai kewajiban vertikal.
Penulis mencontohkan
masalah menyembahyangi mayat. Bahwa di desanya, banyak keluarga yang memiliki
struktur anggota yang beragam keyakinan. Pernah, seorang Buddha meninggal.
Anak-anaknya sebagian muslim sebagian Buddha. Salah satu anaknya yang muslim,
datang ke penulis meminta agar menyalati bapaknya.
Maklum saja, anak itu
mualaf dan belum paham betul bahwa Islam melarang menyalati jenazah non muslim.
Larangan menyalati jenazah non muslim, bukanlah ajaran intoleran, sebab
toleransi memang tidak boleh masuk ranah ritual, hanya sebatas sosial.
Diceritakan bahwa
kemudian penulis berpikir; jika menyalati jenazah nonmuslim tentu itu melanggar
kanun agama. Jika tidak datang, si anak yang muslim pasti akan tersinggung.
Akhirnya penulis berangkat dan shalat di depan jenazah Buddha itu.
Tapi niat shalatnya
ganti dengan shalat gaib. Sebab menurut mazhab Syafi’i, shalat gaib boleh
dilakukan di mana saja, kapan saja, dan berpakali saja. Maka, selesailah
masalahnya.
Buku ini menarik dan
kontekstual untuk Indonesia saat ini yang tengah dilanda krisis toleransi. Buku
ini menjadi panduan bagi seluruh umat muslim di Indonesia, agar bisa hidup
berdampingan dengan non muslim.
Bahkan, buku ini juga
baik dibaca oleh non muslim. Agar nonmuslim juga tahu bahwa dalam Islam,
toleransi bukan tanpa batas. Selain pengalaman, buku ini juga banyak menukil
teladan toleransi dari Nabi, sahabat, tabiin, dan para khalifah. Juga
menjelaskan secara gamblang bahwa Islam yang didakwahkan para wali di Indonesia
adalah Islam murni, yang bercirikan universal tidak parsial. []
Tidak ada komentar:
Posting Komentar