Drama Maut di Gereja Surabaya
Oleh: Ahmad Syafii Maarif
Baru saja drama maut usai di Mako Brimob pada 10 Mei setelah 36
jam berada dalam ketegangan tingkat tinggi, meledak pula drama maut yang lain
di lokasi tiga gereja di Surabaya: Gereja Pantekosta Pusat Surabaya, Gereja
Santa Maria Tak Bercela, Gereja Kristen Indonesia. Semua drama ini merupakan bintik-bintik
hitam yang berbahaya dan brutal yang mengancam sistem keamanan masyarakat luas
di Indonesia sejak meledaknya Bom Bali tahun 2002 yang silam.
Semua aksi terorisme ini telah mengguncangkan jagat raya, baik
yang terjadi di Indonesia maupun mitranya di beberapa negara lain yang masih
saja belum berakhir. Sungguh sangat menyakitkan bahwa banyak publik Barat yang
menyimpulkan bahwa Islam itu identik dengan terorisme, sedangkan mayoritas
mutlak Muslim sedunia menolak semua bentuk terorisme, bahkan tidak sedikit dari
mereka telah jadi mangsa sadis terorisme.
Adalah sebuah penyesatan yang amoral bila ada pihak yang berusaha
menggoreng bahwa tragedi-tragedi ini bertujuan untuk membelokkan perhatian
publik yang disengaja oleh pemerintah karena dinilai lemah dalam perbaikan
ekonomi. Bahwa pemerintah punya banyak kelemahan di sisi kinerjanya yang bagus,
kita sudah maklum. Tetapi, jika pemerintah dituduh telah merekayasa drama maut
ini, sungguh sudah keterlaluan.
Sikap ini sama sekali tidak menaruh simpati kepada para korban
terorisme yang superbiadab itu. Memang, Densus 88 yang bertugas memburu teroris
itu kadang kala tidak profesional dalam menjalankan tugasnya, sesuatu yang
memerlukan perhatian serius dari pimpinan Polri.
Tragedi Surabaya semakin membuat batin kita terluka amat mendalam
karena para pelakunya berasal dari sebuah keluarga: suami (47), istri (43), dan
empat anak, yaitu dua laki-laki masing-masing 18 dan 16 tahun serta dua bocah
perempuan dalam usia 12 dan 9 tahun. Total enam anak manusia telah terlibat
dalam drama maut itu demi menjalankan doktrin teologi sesat yang berasal dari
ISIS itu.
Dari sumber yang dapat dipercaya, kedua suami-istri memang pernah
pergi ke Suriah dan kembali tahun 2017, sementara anak-anaknya tetap tinggal di
Surabaya. Adapun dua bocah putri yang dibawa ibunya meledakkan diri di Gereja
Kristen Indonesia tentu tidak mengerti apa-apa mengapa harus menjalani kematian
yang sangat mengenaskan itu.
Saat artikel ini ditulis, Senin pagi, 14 Mei, sudah tercatat 13
yang tewas: tujuh jemaah gereja, enam pelaku. Jumlah yang terluka 43, sebagian
besar jemaah ketiga gereja yang akan mengikuti misanya masing-masing pada hari
Ahad, 13 Mei 2018. Rasa simpati dan empati kita yang tulus teruntuk jemaah yang
wafat dan jemaah yang terluka. Mereka adalah korban dari praktik teologi maut
yang diyakini para pelaku sebagai ujung tombak dari sayap ISIS yang sedang
mengalami kekalahan di negara-negara asalnya.
Bagaimana reaksi Koordinator Front Moderat Mantan Pimpinan
Kelompok Salafi Jihadis Sinai, Mesir, Syekh Shabra al-Qasimi, terhadap drama
Surabaya? Berikut ini diturunkan kiriman Bung Mush’ab Muqoddas, mahasiswa
Indonesia dan pengamat terorisme global di Kairo dengan sedikit perubahan tata
tulis tertanggal 14 Mei jam 05.20: \"... Aksi teror ledakan gereja
Surabaya yang dilakukan oleh sekeluarga beserta anak-anaknya merupakan bentuk
aksi teror pertama kali dalam sejarah kelompok Salafi Jihadis karena biasanya
para pelaku teror tetap memiliki rasa kasih kepada anak-anaknya. Pada benak para
pelaku aksi-aksi teror di Indonesia masih adanya khayalan akan masifnya
gerakan-gerakan misionaris yang dianggap bahaya bagi umat Islam sehingga
melancarkan aksi sampai luar batas kemanusiaan.”
Dari pengamatan al-Qasimi di atas menjadi jelas bahwa menjadikan
anak-anak sebagai peserta bom bunuh diri adalah yang pertama kali dilakukan
dalam gerakan terorisme jihadis. Dan itu terjadi di negara Pancasila kita yang
kondisinya jauh lebih baik dan aman dibandingkan dengan situasi runyam di
beberapa negara Arab. Kapan kira-kira berakhirnya drama maut ini di muka bumi?
Bergantung pada pemahaman kita yang lurus dan benar terhadap agama.
Selama orang masih saja menundukkan ajaran dan penafsiran agama
kepada syahwat kekuasaan, selama itu pulalah drama maut akan sukar dihindari.
Indonesia harus tampil sebagai garda terdepan dalam memelopori penafsiran agama
yang benar dan lurus ini! []
REPUBLIKA, 15 Mei 2018
Ahmad Syafii Maarif | Mantan Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar