Pendiri NU dan
Muhammadiyah Berguru ke Tremas
Judul
: Bunga Rampai dari Tremas; Dari Catatan Sejarah, Kisah Penuh Hikmah hingga
Anekdot dan Cerita Khas yang Tak Terlupakan
Penulis
: Ahmad Muhammad
Penerbit
: Phoenix Publisher
Cetakan
: Pertama, 2017
ISBN
: 978-602-5416-12-5
Peresensi
: Abdullah Alawi
Kalangan pesantren
pasti mengenal Pondok Pesantren Tremas. Paling tidak, ingat kepada sosok ulama
Nusantara kaliber internasional yang bermukim dan wafat di Makkah, Syekh
Mahfuzh Tremas. Namun, mungkin hanya sebagian orang yang mengetahui
seluk-beluk, kisah-kisah, dan sepak terjang para kiainya yang lain.
Kisah-kisah itu, itu
kini didokumentasikan dalam Bunga Rampai dari Tremas; Dari Catatan Sejarah,
Kisah Penuh Hikmah hingga Anekdot dan Cerita Khas yang Tak Terlupakan, buah
karya Ahmad Muhammad.
Buku itu ditulis
dengan cuplikan-cuplikan dimulai dari riwayat singkat mencari ilmu hingga
pendirian pesantren oleh Bagus Darso atau kemudian dikenal KH Abdul Manan
hingga riwayat-riwayat para santri pesantren terkini, misalnya kesurupan
jin.
Kiai Abdul Manan
merupakan generasi awal orang Nusantara yang menuntut ilmu di Universitas
Al-Azhar, Kairo, Mesir. Salah seorang gurunya pada waktu itu adalah Syekh
Ibrahim Al-Bajuri. Sebelumnya, ketika di Nusantara, ia pernah nyantri di Pondok
Pesantren Tegalsari, Ponorogo, semasa dengan Ronggo Warsito III.
Kemudian setelah
berguru ke berbagai tempat, Kiai Abdul Manan mendirikan pondok pesantren di
Tremas. Di situlah ia mulai mengkader putra-putranya menjadi pemuka agama
pilihan serta menggembleng para santri yang berdatangan.
Buah dari kaderisasi
itu, di kemudian hari, salah seorang cucu KH Abdul Manan, yaitu KH Mahfuzh
Tremas, menjadi salah seorang ulama terkemuka di Makkah, menjadi guru pendiri
Nahdlatul Ulama, Hadratussyekh KH Hasyim Asy’ari. Cucunya yang lain, KH Ahmad
Dahlan menjadi guru pendiri Muhammadiyah yang memiliki nama kecil Muhammad
Darwis, yang kemudian mengubah namanya menjadi KH Ahmad Dahlan.
KH Ahmad Dahlan
memiliki murid KH Ahmad Dahlan ketika ia menjadi menantu KH Saleh Darat. Di
pesantren itu pula KH Hasyim Asy’ari pernah menjadi santri.
Tremas sebagai
pusat
Kiai Abdul Manan
memiliki putra yaitu KH Abdullah yang menimba ilmu di Makkah. Kiai Abdullah
memiliki putra empat yakni Syekh Mahfuzh Tremas, KH Ahmad Dahlan, KH Dimyathi,
dan KH Abdurrazaq. Syekh Mahfuhz Tremas memiliki keturunan yang mendirikan
pesantren Busytanu Usyaqil Qur’an di Betengan, Demak, Jawa Tengah.
Sementara KH Ahmad
Dahlan memilliki putra KH Ahmad Al-Hadi yang mendirikan Pondok Pesantren di
Loloan, Jembrana, Bali, sekitar tahun 1930. Pesantren itu kemudian menjadi
pelopor NU Bali sejak tahun 1934 (hal 17).
Masa keemasan pondok
Pesantren Tremas terjadi pada masa KH Dimyathi Abdullah 1894-1934. Dalam
catatan KH Wahid Hasyim yang ditulis Abubakar Aceh pada buku Sejarah Hidup
K.H.A.Wahid Hasyim dan Karangan Tersiar, KH Dimyathi hadir pada Muktamar NU
kelima di Pekalongan pada 1930.
Pada masa KH
Dimyathi, santri Pondok Pesantren Tremas pernah mencapai 2000 orang lebih.
Mereka berasal dari penjuru Nusantara, termasuk Malaysia dan Singapura (hal
27).
Menurut buku itu, ada
dua faktor yang menyebabkan Tremas pada masa KH Dimyathi disebut sebagai masa
keemasan, yaitu faktor internal dan eksternal. Faktor yang pertama adalah
keberhasilan kaderisasi dari dalam pesantren itu sendiri. Empat putra Kiai
Abdullah saat itu menjadi ulama jempolan sehingga Tremas menjadi pusat tujuan
para pecinta ilmu.
Kedua, lahirnya
Politik Etis penjajah Belanda. Saat itu, Belanda membuka sekolah-sekolah yang
menerima murid dari pribumi. Namun, sekolah itu hanya menerima murid dari
kalangan bangsawan. Sehingga anak-anak rakyat biasa menyalurkan pendidikan di
pondok pesantren (hal 24-25).
Karya Tulis
Karya tulis yang
dilahirkan kiai-kiai Tremas menunjukkan penguasaan ilmu mereka yang luas dan
mendalam. Contohnya Syekh Mahfuzh Tremas. Karyanya yang terdokumentasi ada
sekitar 20 kitab. Kitab-kitab itu menjadi rujukan di Timur Tengah dan Afrika
Utara.
Kiai lain yang
memiliki karya tulis adalah adiknya Syekh Mahafudz Tremas, KH Ahmad Dahlan. Ia
dikenal ahli falak sehingga hal itu melekat menjadi nama belakangnya.
Dan tentu saja ada
karya-karya lain, termasuk buku ini yang merupakan cucu dari KH Abddurozaq,
serta kisah yang layak dibaca oleh kalangan pesantren untuk berkaca dengan
kisahnya sendiri di pesantren masing-masing. Selamat membaca. []
Tidak ada komentar:
Posting Komentar