KH Anwari Faqih
Bawean, Pendidik Visioner
“…kita itu harus
punya idealisme, dan idealisme kita jangan pernah hilang…” (KH Anwari Faqih)
Demikian salah satu
potongan kalimat yang pernah disampaikan KH Anwari saat memberi pengajian rutin
yang pernah didengar langsung oleh penulis. Satu potongan kalimat yang masih
mengiang kuat di telinga penulis bahkan sejumlah santri beliau yang
mengikutinya saat itu.
Kalimat yang memiliki
muatan makna yang cukup dalam dan bisa menjadi bekal yang amat berharga bagi
kita dalam menajalani kehidupan, baik kehidupan pribadi maupun dalam berjuang
di masyarakat.
Kiai Berik, demikian
nama KH Anwari Faqih populer di masyarakat, adalah sosok yang memiliki peran
yang cukup besar dalam bidang pendidikan di masyarakat Bawean, khususnya desa
Kebuntelukdalam. Tidak lama setelah terjun ke masyarakat, Kiai Berik dipercaya
oleh masyarakat untuk mendidik putera-puterinya mengaji Al-Qur’an dan belaajr
ilmu agama lainnya.
Satu persatu
masyarakat memercayakan dan menitipkan anakknya untuk diajari beliau. Ada yang
dari Kebuntekukdalam sendiri, ada pula yang dari Gunung sawah, Duku, dan
sebagainya sampai akhirnya beliau mendirikan pondok pesantren.
Sebelum kembali ke
masyarakat, Kiai Berik sempat menimba ilmu di Jawa, yaitu di Pondok Pesantren
Nurul Jadid, Paiton Probolinggo. Di sana beliau belajar langsung kepada KH
Zaini Mun’im, pengasuh sekaligus pendiri pesantren Nurul Jadid. Di
samping itu beliau juga berguru kepada KH Hasan Abdul Wafi, menantu KH Zaini,
yang terkenal kealiman dan ketegasannya di Jawa Timur.
Kiai Berik belajar di
Pesantren Nurul Jadid sekitar lima tahun lamanya pada tahun 1970-an bersama
teman-teman sejawatnya dari Bawean, salah satunya, KH Abdul Aziz, Kiyai Hilmi,
Kiai Nawawi, Kiai Abdur Rauf, Kiai Zaini, Kiai Sarbini Dahlan dan
lain-lain.Waktu di pondok, beliau dikenal sangat dekat dengan pengasuh, bahkan
sering kali pengasuh memanggil Anwari muda untuk kepentingan pesantren.
Seletah kembali ke
masyarakat, Kiai Berik menikahi seorang puteri dari Bapak Asyari yang bernama
Adifah. Bersama Nyai Adifah beliau dikaruniai putera-puteri yang beranama,
Laili Muji Rahman, Moch. Lutfi, Lis Isnaningsih dan Farah Diana. Beliau tinggal
bersama keluarga besarnya di Pettong Kebuntelukdalam dengan bahagia sampai
akhir hayatnya.
Sebelum meninggalkan
kita, di akhir masa hidupnya beliau melengkapi rukun Islam yang ke lima yakni
menunaikan ibdah haji ke Baitullah. Tepat pada hari yang sangat mulia, Jumat
(5/12/2014) Kiai Berik atau KH Anwari Faqih berpulang ke Rahmatullah di usainya
yang ke 74 tahun.
Mendirikan Pesantren
Sekalipun alumni
pesantren, awal mula kembali ke masyarakat (Kebuntelukdalam), Kiai Anwari tidak
langsung dipercaya oleh masyarakat untuk mengajar ngaji apa lagi medirikan
pesantren. Mungkin hal ini wajar karena usianya belaiu yang masih muda dan
gayanya yang nyentrik. Tidak seperti santri yang lain yang selalu setia dengan
kopiah, serban dan sarung khas seorang santri.
Awal-awal kembali ke
masyarakat, beliau tidak terlalu familiar dengan sarung dan kopyah, bahkan
sering kelihatan mengenakan celana, tanpa mengenakan kopyah. Pemandangan yang
kurang lumrah bagi seorang santri pada masanya.
Namun seiring
berjalannya waktu, dengan komitmen dan konsistensi beliau dalam menjalankan
ilmunya sekalipun tanpa atribut kesantrian yang mencolok, lambat laun mulai
dipercaya oleh masyarakat. Pelan tapi pasti masyarakat satu persatu mulai
menitipkan putera puterinya untuk diajari ilmu agama. Mulai dari tetangganya,
familinya sendiri, hingga ke dusun lain seperti Gunung Sawah, Duku dan
sekitarnya hingga akhirnya makin banyak.
Karena banyaknya
santri yang datang dari berbagai daerah seperti Alas Timur, Pamona, Tanjung
Ori, Daun, Sangkapura, yang tidak mungkin bolak-balik tiap hari ke pondok,
serta tuntutan masyarakat untuk mendirikan pesatren, akhirnya didirkanlah
pondok pesantern yang diberi nama Ummi Roti’ah (sang ibu pengembala).
Di pesantren yang
posisinya ada di Pettong itu, beliau mengajar langsung kepada para santrinya
tentang Al-Qur'an dan ilmu-ilmu agama. Setelah santrinya makin banyak, beliau
dibantu oleh santri senior dalam mengajar santri. Model pembelajarannya pun
mengalami perkembangan, yang sebelumnya dilakukan secara floor.
Akhirnya dimodel
klasikal dan berjenjang, ada yang tingkatan pemula dan ada pula yang tingkat
senior. Materi yang dijarkannya pun berbeda-beda. Mulai dari ilmu alat seperti
nahwu Jurmiyah, Imrithi, Mutammiah dan Alfiyah, ilmu fiqh seperti
kiatb Safinah dan Fathul Qarib sampai kitab Nashaihul Ibad
dan Tafsir Jalalain. Bahkan pada tahun 1997-2000 an santri sempat
diajari Bahasa Ingris yang gurunya didatangkan dari luar pesantren.
Berkat keistikamahan
beliau dalam membina santri, tidak sedikit almuninya yang sudah mengabdi di
masyarakat, ada yang menjadi guru, kiai, dosen dan menjadi aparat pemerintah.
Alumninya pun tersebar di berbagai daerah di Bawean bahkan hingga ke luar
negeri seperti Malaysia dan Singapura.
Di sela-sela
kesibukannya membina santri, Kiai Anwari tidak puas dengan model pendidikan
tradisional yang digelutinya yakni lenggar (pesantren). Oleh karenanya beliau
juga merintis berdirinya lembaga formal yaitu MTs dan MA Kebuntelukdalam yang
nantinya diberinama Himayatul Islam.
Di lembaga formal itulah
beliau optimalkan kemampuan manajerial dan kepemiminannya dalam mengurus
pendidikan. Hari-harinya banyak dihabiskan di pesantren dan lembaga. Seakan
tidak punya waktu luang untuk bersantai-santai dan berleha-leha.
Belakangan, setelah
usianya makin sepuh, dan udzur hingga tidak bisa mengurus santri dengan
maksimal, akhirnya peran beliau sebagai pengasuh pesantren banyak dialihkan
kepada Kiai Fauzi Rauf, menantunya sekaligus Ketua PCNU Bawean.
Merintis Lembaga
Formal
Awal mula merintis
lembaga formal yaitu Madrasah Tsanawiyah (MTs) dan Madrasah Aliyah (MA), tidak
sedikit Kiyai Anwari mendapat tantangan dari masyarakat. Di sani-sini banyak
yang mengkritik dengan nada sumbang, tapi ada juga yang mendukungnya.
Mengkritik barangkali
karena tidak tahu maksud dan tujuannya beliau mendirikan lembaga formal, atau
karena persoalan non teknis lainnya. Sebaliknya mereka yang mendukung mungkin
karena ada harapan baik dan positif khususnya untuk kemajuan pendidikan
Kebuntelukdalan ke depannya.
Polemik tersebut
barangkali bisa dipahami, sebab tren pendidikan pesantren kala itu adalah
model salaf dan tradisional. Jarang sekali ada pesantren yang sekaligus di
dalamnya terdapat pendidikan formal. Pendidikan formal yang ada di masyarakat
waktu itu kebanyakan hanya pendidikan tingkat dasar yakni SD/MI.
Di samping itu tenaga
yang cukup mumpuni untuk mengisi pada lembaga formal yang digagas Kiai Anwari
pun sangat terbatas. Dengan segala pertimbangan serta dukungan tokoh masyarakat
Telukdalam akhirnya didirikalah Madrasah Tsanawiyah (MTs) yang diberinama
Himayatul Islam pada tahun 86/87an.
Pada tahun pertama
dibuka, lembaga tersebut (MTs) mendapatkan siswa yang cukup banyak, suatu
prestasi yang cukup menarik, sekalipun tidak sedikit siswa yang akhirnya
berhenti dipertengahan jalan. Satu persatu mereka berhenti tidak sampai tuntas
karena banyak hal. Pemandangan yang cukup menyedihkan dalam lembaga
pendidikan. Padahal, Kiai Anwari selaku pimpinan saat itu tidak begitu
memperketat siswa.
Bagi siswa yang masih
punya kesibukan seperti mencari rumput, membantu orang tua di rumah, beliau
tetap memperkenankan agar mengerjakan tugas kesehariannya, tapi sebisa mungkin
tetap masuk sekolah. Yang penting mereka punya keinginan sekolah bagi Kiyai Anwari
sudah bagus, kala itu. Sekalipun demikian hanya beberapa siswa saja yang mampu
bertahan hingga lulus.
Namun demikian peride
pertama telah berhasil meluluskan sekitar 30 siswa. Lalu, tahun berikutnya,
setelah angkatan pertama lulus, dibukalah pendaftaran siswa Madrasah Aliyah
(MA) yang berafiliasi ke MA Umar Mas’ud. Konon pada tahun pertama dibuka MA
hanya mendapatkan satu siswa yaitu Fathorrazi. Sekalipun satu siswa, Rosi
demikian orang menyebutnya berhasil menuntaskan sampai lulus Aliyah.
Ketabahan dan kerja
keras Kiai Anwari dalam membina Madrasah yang dirintisnya, akhirnya membuahkan
hasil yang cukup menggembirakan. Madrasah yang dulunya tidak dilirik orang
akhirnya menjadi madrasah yang cukup diperhitungkan di kawasan Bawean. Animo
masyarakat pun untuk menyekolahkan putera-puterinya di Kebuntelukdalam semakin
meningkat.
Adanya lembaga formal
jenjang menengah menjadi daya tarik sendiri bagi masyarakat.Belakangan sejumlah
desa dan pesantren mendirikan lembaga formal yang sama seperti yang telah
digagas oleh Kiai Anwari beberapa tahun silam. Walhasil, lembaga tersebut telah
banyak melahirkan alumni dan sarjana yang pengabdiannya telah nyata di
masyarakat.
Pekerja Keras dan
Visioner
Sebagaimana kiyai
lainnya, beliau memiliki kepedulian yang tinggi terhadap pendidikaan. Dalam
menekuni pendidikan yang dibidaninya, Kiai Anwari termasuk sosok yang sangat
peduli dan focus mulai sejak berdirinya pesantren maupun lembaga formal hingga
akhir hayatnya. Setiap saat beliau selalu menyempatkan diri untuk mengontrol
kondisi pesantren dan lembaga. Seakan tidak tidak ada waktu kosing buat
bersantai ria.
Dalam mendidik
santri-santrinya, beliau tidak hanya mencukupkan dengan menyampaikan konsep dan
pengetahuan yang sifatnya teoritis belaka, tapi beliau mengajak santrinya
terjun langsung ke lapangan. Kiai Anwari selalu mendapingi dan mengajak
santri-santrinya untuk kerja bakti, turun ke lapangan, membangun pesantren
bersama santri-santrinya.
Tidak hanya
memerintah tapi ikut terlibat langsung bekerja bersama santri. Bahakan urusan
kebutuhan air santri misalnya, beliau selalu terjun langsung ke lapangan,
beliau selalu mengontorl kondisi air santri, jika ada kendalan air, beliau
mengajak santri untuk mengontorol langsung sumbernya, Olo Tompo.
Beliau adalah sosok
pekerja keras, tidak suka berpangku tangan apa lagi bermalas-malasan. Mulai
dari pekerjaan yang sifatnya fisik seperti membenahi kamar santri dan mushalla
yang rusak sampai pekerjaan kepesantrenan dan kelembagaan yang sifatnya menguras
otak dan pikiran beliau tangani langsung dengan penuh kesabaran dan
ketelatenan.
Kesungguhan dalam
mebina pesantren dan lembagabeliau tunjukan dengan kerja nyata. Malam harinya
beliau mendampingi santri mengaji, siangnya aktif di lembaga. Beliau control
guru dan kondisi pembelajaran di sekolah. Tidak bosan-bosannya beliau
menanyakan kondisi lembaga sebagai bentuk tanggung jawab beliau sebagai
pimpinan dan pemangku pesantren.
Disamping itu, beliau
juga terkenal sebagai sosok yang cerdas dan visioner. Gagasan-gagasan dan
kebijakan Kiai Anwari kadang susah ditangkap, bahkan ungkapannya pun kadang
dianggap aneh. Cara pandang dan visi beliau yang terlampau jauh ke depan
barangkali yang membuat orang di sekelilingnya seringkali salah paham dan susah
menagkap, kadang cenderung menolak. Bahkan santri sendiri seringkali merasa
lucu dan aneh terhadap ungkapan dan keputusan beliau.Hanya segelintir santri
dan koleganya yang cerdas saja yang dapat memahaminya dengan baik.
Sebuah contoh, konon,
beliau pernah bilang kepada santri, “mak la nenggu TV maloloh, TV paghik
bede e kocekna bekna kanak.” (kok nonton TV terus, suatu saat nanti TV itu
ada di saku kalian anak-anak..). Sabagai tanggapan terhadap santri yang selalu
nonton TV sehabis pengajian, yang sedikit bernada ngeluh agar santri tidak
terlalu banyak nonton TV, wong pada akhirnay TV itu bukan lagi barang aneh dan
baru.
Sontak, mendengar
ungkapan kiyai tersebut, santri pun merasa lucu dan senyum kecut, dalam
benaknya masak TV ada di saku, aneh-aneh saja kiai. Ternyata, hari ini,
ungkapan kiyai puluhan tahun lalu menjadi nyata. TV sudah ada di gadget kita
masing-masing. Ungkapan yang cukup aneh dan susah diterima akal pada masa itu,
dan hari ini kita baru tahu jawabannya.
Labih lanjut, saat
memberi pengajian pada santri sekitar tahun 1990-an, Kiai Anwari pernah
mengatakan, “..suatu saat nanti, guru, imam masjid, mushalla, khatib, semuanya
akan ada sertifikatnya,….” Maksudnya, nanti, entah kapan persisnya, akan ada
sertifikasi guru, imam dan khatib bahkan semuanya yang berkenaan dengan
kepentinagn publik. Ungkapan tersebut sebagai motivasi kepada santri agar
mempersiapkan diri sebelum diberlakukannya sertifikat sekaligus agar santri
tidak terkejut jika nantinya ada tuntutan sertifikasi.
Hari ini, ungkapan
beliau 20 tahun silam tentang sertifikasi guru/pengajar sudah menjadi kenyataan
yang tak terbantahkan. Bahkan belakangan, wacana sertifikasi imam dan khatib
juga makin menguat. Barangkali dulu orang tidak pernah menyangka akan ada
sertifikasi khatib apa lagi imam shalat, tapi apa boleh buat kedunya
sudah menjadi wacana yang cukup kuat di kalangan pemerintah.
Beberapa tahun silam,
saat hari libur kiai kerap kali mengajak santri mengangkut batu untuk menguruk
sungai ujung utara gedung MA (dulu), sekarang menjadi MTs. Yang namanya santri
ya mau-mau saja tanpa menanyakan maksud kiai. Sungai yang begitu dalam dan
curam di uruk untuk meratakannya pun butuh waktu yang tidak sebentar.
Dengan sabar,
bulan-bulan demi bulan, tahun demi tahun hasil urukannya hingga rata. Ternyata,
hari ini hasil urukan tersebut sudah kita nikamti bersama dalam bentuk jeding
dan toilet siswa, termasuk tempat parkir sepeda. Mungkin, kala itu bekerja
semacam itu terasa capai dan penat bagi mereka yang pragmatis dan berpikir
jangka pendek. Namun bagi mereka yang idealis dan visioner justru sebaliknya.
Dari sejumlah contoh
kasus baik berupa ungkapan maupun tindakan Kiai Anwari di atas, menunjukkan
betapa beliau memiliki kecerdasan melihat masa depan yang susah ditangkap
kebanyakan orang. Di samping itu pilihan tindakan beliau yang tidak mudah
dimengerti santri saat itu ternyata memiliki visi dan orientasi jangka panjang.
Keduanya hanya bisa dimengerti dan dipahami setelah menjadi kenyataan.
Menyinggung ungkapan
kiyai tentang idealisme, tidak mudah sebenarnya kita mengungkap makna yang
dikehendaki kiyai tentang idealisme. Secara harifiah, idealisme berarti
“cita-cita mulia, keinginan yang sempurna, gagasan dan angan-angan yang kuat
dan ideal”. Jika idealisme kita maknai sebagai cita-cita, keinginan,
angan-angan yang sempurna dan mulia, maka sudah semestinya setiap kita
memilikinya.
Dengan cita-cita
tersebut kita akan berusaha menggapainya tanpa kehilangan kendali. Sebab
idealisme adalah mesin yang menajdi motor penggerak dalam tindakan kita.
Jika kita hidup dan bertindak tanpa idealsime, itu artinya kita sudah terjebak
pada hal-hal yang sifatnya pragmatis dan kesenangan sesaat.
Artinya sudah
semestinya kita menjaga dan merawat cita-cita mulia yang berorientasi jangka
panjang, tidak hanya urusan yang sifatnya material semata tapi lebih dati
adalah yang immaterial, tidak hanya usuran duniawi tapi juga ukhrawi, tidak
hanya urusan pribadi tapi juga kemasyarakatan bahkan kamnusiaan. Itulah
yang semestinya menjadi idealismee dalam hidup kita.
Dalammengarungi hidup
dan kehidupan ini agar tindakan kita lebih terarah, maka berpegang pada
cita-cita ideal menjadi penting.Sebab cita-cita itulah yang menjadi orientasi
sekaligus visi kita dalam menjalankan roda kehidupan ini.Baik dalam kehidupan
pribadi atau dalam bermayarakat, termasuk dalam dunia pendidikan.
Dengan keinginan yang
ideal kita tak mudah puas dengan pencapaian yang didapat dan tak pernah merasa
cukup dalam menuju ke arah yang lebih baik dan labih baik. Sehingga perjuangan
menuju kebaikan tak akan menemukan ujung dan taka da habis-habisnya. Artinya
kita akan terus selalu bergerak menuju cita-cita ideal tersebut untuk kebaikan
bersama bukan untuk kepentingan pribadi yang sifatnya sesaat.
Idealisme adalah
wujud dan keberadaan seseorang, eksistensi seseorang tergantung idelisemnya,
cita-ciata dan tujuan mulia akan manjadi cermin keberadaan dirinya di
tengah-tengah kehidupan bersama. Barangkali ini yang dimaksudkan Kiai Anwari
soal idealisme.
Sebab itu, beliau tak
pernah merasa letih dan merasa selasai dalam berjuang di masyarakat karena
idealismeenyatak pernah hilang dari benaknya. Tidak heran jika beliau berpesan
agar idealisme kita jangan sampai hilang. Jika idealisme kita sudah hilang, maka
hilang pulalah diri kita sekalipun kita hidup secara biologis. Jika idelaisme
kita hilang, maka keberadaan dan eksistensi kita pun sirna.
Demikian pula dalam
dunia pendidikan. Beliau tidak pernah puas dengan pencapaian yang sudah
didapatnya. Misalnya denganeksisnya pesantren, MTs dan MA yang dirintisya.
Tidak puas dalam arti tidak merasa cukup dengan kebaikan yang telah digapainya,
dan bukan berarti tidak pernah bersyukur dengan pemberia Tuhan, tapi justru
kedidakpuasan dalam mencapai kebaikan adalah bentuk kesyukuran beliau untuk
terus mencapai kebaikan berikutnya, untuk melakukan perjuangan yang lebih gigih
lagi demi kebaikan dan kemajuan yang lain berikutnya yang lebih baik.
Bahkan belakangan,
beliau pernah mengungkapkan keinginannya untuk mendirikan perguruan tinggi di
Kebuntelukdalam, yang tenaganya diharapkan dari alumninya sendiri yang sudah
dicanangkan jauh hari sebelumnya dan siap berjuang mewarisi
idealismebeliau.
Menyebarkan Gagasan
melalui Silaturrahim
Kiyai Anwari bukanlah
sosok yang pandai berorasi, tentu bukan sosok yang jago panggung, dalam
kesehariannya beliau tampak tidak banyak bicara, lebih banyak berbuat. Lebih
pas dikatakan sebagai figur yang low profile, tidak banyak bicara tapi
lebih banyak berbuat dan bertindak yang lebih pasti dan nyata. Beliau terkenal
suka silaturrahim baik kepada masyarakat biasa maupun koleganya. Gagasannya pun
lebih banyak disebarkan melalui cara-cara kultural, dngan cara silaturrahim
door to door ke rumaha tokoh masyarakatdari pada cara-cara yang formal dan
kaku.
Tak henti-hentinya
beliau melakukan silaturrahim kepada tokoh-tokoh masyarakat, kolega dan wali
santri, sebagai bentuk kepedulian dan upaya memikirkan persoalan
kemasyarakatan. Hampir setiap turun dari jumatan beliau tidak langusng pulang
ke dalemnya tapi masih menyempatkan untuk silaturrahim ke tokoh-tokoh
masyarakat seperti kepada kiyai Abdullah, Kiai Muhammad Yusuf, dan lain-lain.
Dengan cara demikian hubungan antar tokoh masyarakat makin baik, gagasan dan
cita-cita ideal beliau lambat laun pun dapat diterima dan bahkan dapat dukungan
yang kuat dari berbagai elemen.
Beliau lebih suka
marangkul dari pada “memukul”. Apalagi kepada tokoh masyarakat. Kepada anak
muda sekalipun beliau perlakukan demikian, beliau tidak pandang buluh, mereka
tokoh atau bukan, nakal atau tidak, semuanya beliau rangkul demi kebaikan
masyarakat secara umum. Tak segan-segannya beliau merangkul anak muda
kampong.
Dengan cara tersebut,
anak muda yang dulunya sering kali “usil” terhadap santrinya menjadi sungkan,
bahkan mereka yang tidak mendukungnya malah justru menjaga dan mendukung
pesantren yang dipangkunya.
Sebelum beliau
meninggalkan kita untuk selamanya, beliau pernah mengutarakan keinginannya
untuk mendirikan perguruan tinggi untuk memenuhi kebutuhan masyarakat. Yang
akan mengisi dan membidaninya adalah santri-santrinya yang sudah menjadi
sarjana dan mumupuni dalam bidang pendidikan. Sebuah cita-cita yang mulia yang
belum tercapai saat beliau masih hidup yang sepatutnya kita realisasikan
sebagai generasi penerus perjuangan beliau.
Keberhasilan Kiai
Anwari dalam berdakwah dan mengembangkan pendidikan di masyarakat tidak lepas
dari kerja keras dan kedisilpinan beliau. Beliau bukan sosok yang suka
berpangku tanga,mudah menyerah dan pasrah kepada kenyataan, apa lagi putus asa.
Dengan idealisme dan
pandangannya yang visioner beliau mampu eksis dan mewujud di tengah-tengah
masyarakat yang cukup dinamis. Hasil karyanya pun nyata dan kita rasakan saat
ini di masyarakat. Ide dan visinya yang kadang susah ditangkap menjadi karakter
dan ciri khas tersendiri yang membuat beliau makin dicintai selakigus disegani
oleh kolega dan masyarakatnya.
Beragkat dari
kenyataan dan jejak-jejak perjuangan beliau, barangkali kalau boleh menafsirkan
visi dan ide beliau tentang pendidikan adalah menyiapkan tenaga dan Sumber Daya
Manusia (SDM) yang sesuai dengan kebutuhan zamannya dan siap diposisikan
diberbagai lini.
Oleh karena itu,
sebelum beliau meninggalkan kita pernah berucap sebagai bentuk kesyukuran bahwa
lembaga yang dipangkunya baik pesantren maupun lembaga formal tidak sedikit
telah melahirkan alumni yang sudah mengisi dan mengabdi secara nyata di
masyarakat, baik di instansi pemerintah maupun nonpemerintah seperti aparat
desa, menjadi kiai, dosen, guru dan sebagainya, yang selama ini dirasa cukup
sulit didapatkan.
Barangkali tidak
berlebihan jika beliau dikatakan sebagai sosok yang visioner dengan idealisme
yang tak pernah lekang oleh waktu dan lapuk ditelan masa. Semoga kita dapat
mewarisi idealisme dan melanjutkan visinya. Amin… Wallahu a’lam bisshowab.
[]
Ainul Yakin, Santri
Pettong 1997-2000, Pengajar di Universitas Nurul Jadid Paiton Probolinggo.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar