Jumat, 18 Mei 2018

Tujuh Ramadhan, Saat Wafatnya Hadratussyekh Hasyim Asy'ari


Tujuh Ramadhan, Saat Wafatnya Hadratussyekh Hasyim Asy'ari

Hadratussyekh Muhammad Hasyim Asy’ari sedang mengajar ketika berita tentang jatuhnya Kota Malang dalam agresi Belanda 21 Juli 1947 sampai ke telinganya. Hari itu menjadi momen menegangkan bagi rakyat Indonesia yang baru dua tahun merdeka. 

Belanda melakukan serangan tiba-tiba dan menumpahkan darah banyak pejuang. KH Saifuddin Zuhri yang menjadi pemimpin Hizbullah Magelang bercerita, kala itu guru, kiai, dan sahabatnya gugur sebagai syuhada oleh tembakan pasukan Belanda. 

Tiap hari umat Islam melakukan gerakan batin di samping membangun kekuatan militer dengan sejumlah latihan, pengaturan strategi, serta pengonsolidasian lascar Hizbullah dan Sabilillah. Tiap menunaikan shalat mereka memanjatkan Qunut Nazilah, doa setelah ruku’ tanda situasi sedang genting.

Cengkeraman Belanda kian kuat. Pelan-pelan tapi pasti daerah Republik Indonesia semakin sempit. Kiai Saifuddin menyebut Indonesia menciut tinggal selebar godong kelor. Daerah itu meliputi hanya garis Mojokerto di sebelah Timur dan Gombong (Kebumen) di sebelah Barat dengan Yogya sebagai pusatnya.

Di tengah situasi itu, Hadratussyekh sangat terpukul saat mendengar Kota Malang jatuh ke tangan penjajah Belanda. Apalagi kota tersebut merupakan markas tertinggi Hizbullah-Sabilillah Malang. Kabar buruk itu ia dengar dari Kiai Gufron, pemimpin Sabilillah Surabaya. 

Sontak Hadratussyekh memegangi kepala sambil menyebut “masyaallah masyaallah!” lalu tak sadarkan diri. Pendiri Nahdlatul Ulama itu mengalami pendarahan otak. Dokter Angka yang didatangkan dari Jombang tidak bisa berbuat apa-apa karena keadaannya telah parah sekali.

Utusan Panglima Besar Sudirman dan Bung Tomo yang khusus datang untuk menyampaikan berita jatuhnya Kota Malang tidak sempat ditemui. Malam itu tanggal 7 Ramadhan 1366 atau 25 Juli 1947, Hadratussyekh Muhammad Hasyim Asy’ari berpulang ke Rahmatullah. Innalillahi wa inna ilaihi raji'un.

Hadratussyekh wafat dengan warisan jasa yang luar biasa besar. Kelak amal jariyah perjuangan yang belum ia tuntaskan itu berlanjut dengan pergerakan nasional di mana-mana. Para kiai dan kader mudanya tidak surut memperjuangkan kemerdekaan tanah air yang amat mereka cintai itu. Dalam semangat Islam, mereka berkorban untuk Bumi Pertiwi. []

Disarikan dari buku Guruku Orang-orang dari Pesantren karya KH Saifuddin Zuhri

Tidak ada komentar:

Posting Komentar