Tujuh Ramadhan, Saat
Wafatnya Hadratussyekh Hasyim Asy'ari
Hadratussyekh
Muhammad Hasyim Asy’ari sedang mengajar ketika berita tentang jatuhnya Kota
Malang dalam agresi Belanda 21 Juli 1947 sampai ke telinganya. Hari itu menjadi
momen menegangkan bagi rakyat Indonesia yang baru dua tahun merdeka.
Belanda melakukan
serangan tiba-tiba dan menumpahkan darah banyak pejuang. KH Saifuddin Zuhri
yang menjadi pemimpin Hizbullah Magelang bercerita, kala itu guru, kiai, dan
sahabatnya gugur sebagai syuhada oleh tembakan pasukan Belanda.
Tiap hari umat Islam
melakukan gerakan batin di samping membangun kekuatan militer dengan sejumlah
latihan, pengaturan strategi, serta pengonsolidasian lascar Hizbullah dan
Sabilillah. Tiap menunaikan shalat mereka memanjatkan Qunut Nazilah, doa
setelah ruku’ tanda situasi sedang genting.
Cengkeraman Belanda
kian kuat. Pelan-pelan tapi pasti daerah Republik Indonesia semakin sempit.
Kiai Saifuddin menyebut Indonesia menciut tinggal selebar godong kelor. Daerah
itu meliputi hanya garis Mojokerto di sebelah Timur dan Gombong (Kebumen) di
sebelah Barat dengan Yogya sebagai pusatnya.
Di tengah situasi
itu, Hadratussyekh sangat terpukul saat mendengar Kota Malang jatuh ke tangan
penjajah Belanda. Apalagi kota tersebut merupakan markas tertinggi
Hizbullah-Sabilillah Malang. Kabar buruk itu ia dengar dari Kiai Gufron,
pemimpin Sabilillah Surabaya.
Sontak Hadratussyekh
memegangi kepala sambil menyebut “masyaallah masyaallah!” lalu tak sadarkan
diri. Pendiri Nahdlatul Ulama itu mengalami pendarahan otak. Dokter Angka yang
didatangkan dari Jombang tidak bisa berbuat apa-apa karena keadaannya telah parah
sekali.
Utusan Panglima Besar
Sudirman dan Bung Tomo yang khusus datang untuk menyampaikan berita jatuhnya
Kota Malang tidak sempat ditemui. Malam itu tanggal 7 Ramadhan 1366 atau 25
Juli 1947, Hadratussyekh Muhammad Hasyim Asy’ari berpulang ke Rahmatullah.
Innalillahi wa inna ilaihi raji'un.
Hadratussyekh wafat
dengan warisan jasa yang luar biasa besar. Kelak amal jariyah perjuangan yang
belum ia tuntaskan itu berlanjut dengan pergerakan nasional di mana-mana. Para
kiai dan kader mudanya tidak surut memperjuangkan kemerdekaan tanah air yang
amat mereka cintai itu. Dalam semangat Islam, mereka berkorban untuk Bumi
Pertiwi. []
Disarikan dari buku
Guruku Orang-orang dari Pesantren karya KH Saifuddin Zuhri
Tidak ada komentar:
Posting Komentar