Al-Mu’tamid: Terpecah-belahnya Khilafah Abbasiyah
Oleh: Nadirsyah Hosen
Militer Turki menurunkan dan menaikkan khalifah semaunya mereka.
Toh, sejelek-jeleknya mereka, mereka sendiri tidak berniat menumbangkan Dinasti
Abbasiyah dan menggantinya dengan salah satu dari mereka. Namun, kondisi ini
berbeda dengan sejumlah penguasa derah yang malah melepaskan diri dari kontrol
pemerintahan pusat. Pada periode inilah Dinasti Abbasiyah mulai terpecah-belah
menjadi sejumlah dinasti kecil. Kita simak bersama kelanjutan kisahnya.
Setelah menurunkan dan membunuh Khalifah al-Muhtadi, militer Turki
mencari khalifah baru yang masih keluarga Abbasiyah. Mereka mendatangi
Abil Abbas Ahmad bin al-Mutawakkil yang tengah berada di dalam penjara. Dia
dikenal dengan sebutan Ibn Fityan karena ibunya bernama Fityan.
Dikeluarkanlah Abul Abbas Ahmad dan kemudian diangkat menjadi
Khalifah kelima belas Dinasti Abbasiyah pada 19 Juni 870 Masehi. Beliau adalah
putra Al-Mutawakkil, Khalifah kesepuluh. Al-Mu’tamid ‘ala Allah adalah gelar
yang beliau pilih. Sesaat setelah menjadi Khalifah, beliau membebaskan pula
dari penjara saudaranya yang bernama Abu Ahmad Thalhah bin al-Mutawakkil.
Telah saya singgung sebelumnya bahwa di masa Khalifah al-Mu’tazz,
Abu Ahmad Thalhah dimasukkan ke penjara setelah sebelumnya menjadi panglima
pasukan yang mendukung al-Mu’tazz melawan pamannya, Khalifah al-Musta’in. Namun
al-Mu’tazz khawatir dengan popularitas Abu Ahmad dan karena itu memasukkannya
ke penjara tanpa ada kesalahan apa pun.
Di masa al-Mu’tamid, Abu Ahmad memiliki peranan yang luar biasa.
Digelari dengan al-Muwaffaq, Abu Ahmad ini merupakan the real khalifah, sementara
al-Mu’tamid hanya simbol belaka. Ini karena ketidakcakapan al-Mu’tamid. Imam
Suyuthi mendeskripsikan al-Mu’tamid sebagai sosok yang gemar berfoya-foya.
Tidak peduli pada nasib rakyat.
Al-Muwaffaq diberi kekuasaan wilayah Timur, yaitu Kufah, Yaman,
Khurasan, dan lainnya. Sedangkan wilayah Barat (Syiria, Armenia, dan lainnya)
diberikan kepada Ja’far yang diangkat sebagai putra mahkota dan diberi gelar
al-Mufawwadh. Sudah menjadi kebiasaan Dinasti Abbasiyah untuk memberi gelar
penguasa mereka dengan berbagai istilah yang menggambarkan seolah mereka adalah
bayang-bayang kekuasaan Allah di muka bumi.
Al-Mufawwadh, sang putra mahkota, masih kecil sehingga praktis
al-Muwaffaq yang berkuasa penuh. Khalifah al-Mu’tamid membuat keputusan bahwa
kalau dia wafat yang naik menggantikan adalah putra mahkota, al-Mufawwadh.
Tapi, kalau anaknya masih belum cukup umur, maka al-Muwaffaq yang akan naik
takhta. Keputusan ini disaksikan oleh Ketua Mahkamah Agung Ibn Abi Syawarib,
dan digantung pada dinding Ka’bah.
Dinasti Abbasiyah telah mengalami krisis panjang, dari mulai
terbunuhnya Khalifah kesepuluh al-Mutawakkil hingga Khalifah keempat belas.
Perang saudara dan perpecahan di kalangan militer dan juga pejabat pemerintahan
membuat negara tidak sepenuhnya bisa mengontrol kondisi di berbagai daerah.
Keuangan negara juga berantakan akibat korupsi dan juga setoran
yang berkurang dari berbagai daerah, yang satu per satu mulai mengambil sikap
otonom dari pemerintahan pusat.
Di tengah kondisi seperti ini, di tahun 869 Masehi timbul
pemberontakan kaum Zanj di bawah pimpinan Ali Ibn Muhammad. Kaum Zanj adalah
budak-budak yang didatangkan dari Afrika untuk bekerja di pertambangan di Irak.
Dari tahun 870 M sampai 883 M kekuasaan Dinasti Abbasiyah dikacaukan oleh
pemberontakan Zanj ini.
Ali bin Muhammad berhasil memobilisasi mereka kaum yang kalah
secara ekonomi dan politik. Para budak Afrika yang diperlakukan dengan kejam,
kelompok Khawarij yang terus dikejar mapun kelompok Syi’ah yang terus
termarjinalkan. Ali bin Muhammad sendiri sebenarnya tidak jelas asal muasal
nasabnya. Dia mengklaim sebagai keturunan Ali bin Abi Thalib, namun banyak yang
meragukannya.
Dia mengaku sebagai Syi’ah Zaydiyah, namun dia juga merangkul
kelompok Khawarij. Di mimbar dia selalu berteriak takbir dan mengumandangkan
jargon para Khawarij, “Tiada hukum kecuali hukum Allah”. La hukma illa lillah.
Rupanya gerakan Zanj ini meluas dan mendapat simpati dari berbagai
kalangan yang sudah muak melihat situasi negara dan juga menemukan penyaluran
emosi mereka akan kondisi mereka yang mengenaskan. Dari masa ke masa, kelompok
seperti ini mudah sekali dimainkan emosinya lewat gemuruh takbir dan ungkapan
menegakkan hukum Allah (syariat).
Peperangan antara pasukan Dinasti Abbasiyah dengan kaum Zanj ini
sangat tragis dan brutal. Dikabarkan tiga ratus ribu pasukan Muslim terbunuh
dalam sehari di Bashrah, dan total menurut as-Shuli ada sekitar 1,5 juta
pasukan Muslim yang terbunuh selama pertempuran. Al-Muwaffaq bersama anaknya,
Abul Abbas, turut memimpin pasukan menggempur Zanj.
Hingga akhirnya kepala pemberontak yang sangat kejam, Bahbudz,
berhasil ditebas. Imam Suyuthi mencatat riwayat yang menjelaskan kesesatan
Bahbudz dan juga perilaku amoral mereka di mana setiap satu orang pasukan Zanj
menyetubuhi sepuluh wanita. Pertempuran ini berlangsung sekitar 14 tahun.
Keberhasilan Al-Muwaffaq menaklukkan pemberontakan Zanj semakin membuat harum
namanya di mata rakyat.
Sisi positif dari pertempuran ini adalah militer menjadi sibuk
bertempur dan tidak sepenuhnya lagi ikut campur persoalan negara. Sisi
negatifnya adalah, selain jumlah korban yang begitu besar, sejumlah provinsi
mulai melepaskan diri dari kekuasaan pemerintahan pusat. Mereka memanfaatkan
konsentrasi pemerintah pusat menghadapi pemberontak Zanj.
Mesir dikuasai oleh Ahmad bin Thulun, Jenderal yang diangkat
menjadi Gubernur dan malah membangun dinasti sendiri, yaitu Tuluniyah.
Kekuasaanya meluas sampai ke Syiria. Ya’qub bin Laits menguasai wilayah
Khurasan, Fars, dan wilayah Timur. Ya’qub membangun Dinasti Shafariyah.
Tabaristan dikuasai kelompok Zaydiyah.
Terpecah-belahnya negara dimulai pada masa Khalifah al-Mu’tamid
ini dan terus berlangsung beberapa waktu sampai tumbangnya Dinasti Abbasiyah.
Kalau kita kompilasi keterangan sejumlah sejarawan, berikut ini beberapa
wilayah yang melepaskan diri dari kekuasaan Dinasti Abbasiyah.
1. Yang berbangsa Persia
a. Thahiriyah di Khurasan (205-259 H/820-872 M)
b. Shafariyah di Fars (254-290 H/868-901 M)
c. Samaniyah di Transoxania (261-389 H/873-998 M)
d. Sajiyyah di Ajerbaijan (266-318 H/878-930 M)
e. Buwaihiyah, bahkan menguasai Baghdad (320-447
H/932-1055 M)
2. Yang Berbangsa Turki
a. Thuluniyah di Mesir (254-292 H/837-903 M)
b. Ikhsidiyah di Turkistan (320-560 H/932-1163 M)
c. Ghaznawiyah di Afghanistan (351-585 H/962-1189 M)
d. Dinasti Saljuk (429-700 H/1037-1299 M)
3. Yang Berbangsa Arab
a. Idrisiyah di Maroko (172-375 H/788-985 M)
b. Aghlabiyah di Tunisia (184-289 H/800-900M)
c. Dulafiyah di Kurdistan (210-285 H/825-898 M)
d. Alawiyah di Tabaristan (250-316 H/864-928 M)
Pernah saya kisahkan sebelumnya bahwa al-Muwaffaq memiliki seorang
anak yang merupakan jenderal perang yang hebat, yaitu Abul Abbas, yang kemudian
diberi gelar al-Mu’tadhid. Entah kenapa al-Muwaffaq memenjarakan anaknya selama
dua tahun di Baghdad.
Namun, di kalangan militer, nama Jenderal al-Mu’tadhid sangat
terkenal karena dia ikut bertempur bersama Al-Muwaffaq melawan kaum Zanj.
Ketika al-Muwaffaq sakit parah, Gubernur Baghdad meminta Khalifah al-Mu’tamid
menjenguk saudaranya yang tengah sekarat, dengan harapan ini bisa mencegah
bebasnya sang Jenderal al-Mu’tadhid dari sel penjara.
Sayangnya, rencana Gubernur Baghdad itu gagal total. Militer masih
setia pada sang Jenderal, dan Khalifah al-Mu’tamid tidak punya pilihan selain
mengangkat jenderal yang notabene keponakannya sebagai penguasa wilayah Barat
menggantikan ayahnya yang pernah memenjarakannya.
Pengaruh sang Jenderal tidak berhenti sampai di situ. Khalifah
sampai tega mencopot posisi putra mahkota dari anaknya sendiri, al-Mufawwadh,
dan memberikan posisi tersebut kepada keponakannya, Jenderal al-Mu’tadhid. Imam
Thabari mencatat bahwa surat pemberitahuan pergantian putra mahkota langsung
dikirimkan ke provinsi dan wilayah, serta diumumkan selepas salat Jum’at
beberapa hari kemudian.
Sang Jenderal yang kekuasaanya menjadi sangat luas mulai
menangkapi para pejabat yang dulunya setia kepada ayahnya. Ingat, ayahnya
sendiri yang menjebloskan dia ke penjara. Tidak menunggu lama, lima bulan
kemudian, al-Mu’tadhid berkuasa menjadi khalifah, setelah pada 14 oktober 892
Khalifah al-Mu’tamid meninggal dunia.
Imam Thabari, yang berusia sekitar 50 tahun pada periode ini,
melaporkan meninggalnya sang Khalifah itu dengan cukup mencurigakan. Malamnya
sehabis minum-minum dan makan banyak, Khalifah yang berkuasa sekitar 22 tahun
itu tidur dan kemudian meninggal. Nasib al-Mufawwad, mantan putra mahkota, juga
tidak jelas setelah itu. Spekulasi beredar di kalangan sejarawan lain bahwa
al-Mufawwad telah dibunuh, dan wafatnya Khalifah al-Mu’tamid karena
diracun. Wa Allahu
a’lam.
Walhasil, pada periode ini, kita mencatat bahwa Al-Mu’tamid yang
menjadi khalifah, namun al-Muwaffaq yang menjalankan kekuasaan. Bahkan sang
Khalifah seolah diasingkan dari istananya sendiri. Al-Mu’tadhid yang bahu
membahu berperang bersama ayahnya, al-Muwaffaq, melawan pemberontakan kaum
Zanj, malah dimasukkan ke penjara oleh ayahnya. Selepas al-Muwaffaq wafat,
bebaslah al-Mu’tadhid dan dia meguasai negara sampai Putra Mahkota
al-Mufawwad pun dicopot oleh Khalifah al-Mu’tamid. Inilah peta percaturan
politik pada masa itu.
Kita akan teruskan mengaji sejarah politik Islam pada kesempatan
berikutnya dengan membahas periode kekuasaan Khalifah al-Mu’tadhid. Insya Allah. []
GEOTIMES, 2 Februari 2018
Nadirsyah Hosen | Rais Syuriah NU Australia – Selandia Baru dan
dosen senior di Faculty of Law, Monash University
Tidak ada komentar:
Posting Komentar