Kiai Jahari dan
Penjudi
Suatu ketika setelah
shalat Isya, seorang laki-laki mendatangi rumah Kiai Jahari. Laki-laki itu
terkenal sebagai seorang penjudi. Semua orang mengetahuinya, termasuk Kiai
Jahari.
“Silahkan masuk,”
kata Kiai Jahari setelah melihatnya berada di pintu.
Laki-laki paruh baya
itu menghampiri Kiai Jahari dan menyalaminya. Ia duduk di samping Kiai Jahari
setelah dipersilahkan.
“Lama kita tak
berjumpa,” ujar Kiai Jahari.
“Iya, Kiai,” katanya
singkat. “Begini Kiai, saya hendak bertanya sesuatu.”
“Silakan,” ucap kiai
asal Susukan, Cirebon, yang hidup di akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20 itu.
“Anak dan isteri saya
menolak nafkah pemberian dari saya. Katanya uang hasil judi itu haram. Benarkah
demikian, kiai?”
Kiai Jahari
tersenyum, kemudian berkata: “Tidak juga, selama tuan tidak pernah kalah
sekalipun.”
Laki-laki itu sedikit
tercengang. Ujarnya: “Tidak mungkin, kiai. Ketika berjudi, tidak ada seorang
pun yang belum pernah kalah. Semua penjudi pernah mengalaminya.”
“Jika tuan sudah tahu
jawabannya, kenapa tuan masih melakukannya?”
Laki-laki itu
terdiam, dengan wajah menunduk.
“Tak ada keuntungan
dalam berjudi. Menang atau kalah, sama-sama merugikan. Ketika tuan menang, tuan
merugikan orang yang kalah. Ketika tuan kalah, tuan lah yang dirugikan. Itulah
alasan kenapa uang hasil judi dihukumi haram, karena didapatkan dengan
merugikan orang lain.”
“Tapi sukar
menghentikannya, kiai.”
“Ya, memang sukar.
Jika mudah, tuan tidak akan datang kemari,” ujar Kiai Jahari tersenyum lebar.
****
Pendekatan Kiai
Jahari ini sangat memanusiakan. Beliau tidak mengusir penjudi itu dan
menerimanya dengan ramah, meski orang itu telah terkenal sebagai penjudi dan
pemabuk. Jawaban yang diberikannya pun menarik, tidak seketika mengharamkan dan
menyalahkan. Beliau memberikan jawaban yang memancing perenungan, sehingga
tanpa sadar sang penjudi mengatakan: “Tidak mungkin, kiai. Ketika berjudi,
tidak ada seorang pun yang belum pernah kalah. Semua penjudi pernah
mengalaminya.”
Andai ditarik ke
ranah teoritis, pendekatan Kiai Jahar dalam menjawab bisa—mungkin—diskemakan
seperti ini. Pertama, mengajukan argumentasi logis dengan mengatakan: “Tidak
juga, selama tuan tidak pernah kalah sekalipun.” Argumentasi logis ini yang
kemudian dipahami oleh penjudi sebagai bentuk ketidak-mungkinan. Artinya, Kiai
Jahari sengaja menggunakan pengalaman berjudi orang tersebut untuk membangun
landasan argumentatifnya.
Kedua, setelah
landasan argumentatifnya terbangun, yaitu perkataan: “Jika tuan sudah tahu
jawabannya, kenapa tuan masih melakukannya?” Kiai Jahari masuk ke dalam wilayah
influence (mempengaruhi) dan membangun impression (kesan), dengan cara
membiarkannya menggali kesimpulannya sendiri, yang pada akhirnya membuka
pikirannya untuk menerima masukan baru.
Ketiga, setelah kesan
kuat berada di benaknya, artinya Ia telah siap menerima masukan yang bersifat
hukum. Kemudian Kiai Jahari memberikan konklusi argumentasi logis dibalik
keharaman berjudi dengan mengatakan: “Tak ada keuntungan dalam berjudi. Menang
atau kalah, sama-sama merugikan. Ketika tuan menang, tuan merugikan orang yang
kalah. Ketika tuan kalah, tuan lah yang dirugikan. Itulah alasan kenapa uang
hasil judi dihukumi haram, karena didapatkan dengan merugikan orang lain.”
Dan keempat,
pemahamannya terhadap sukarnya menghentikan perbuatan dosa bagi yang terbiasa
melakukannya, tidak membuat Kiai Jahari memberikan wejangan-wejangan hukum yang
akan membuatnya lari dan keberatan, tapi dengan pernyataan sederhana yang tidak
menakutkan: “Ya, memang sukar. Jika mudah, tuan tidak akan datang
kemari.”
Kiai Jahari memahami betul
bahwa tidak mudah menjauhi perbuatan yang dilarang Allah, khususnya bagi
orang-orang yang terbiasa melakukannya. Banyak orang sering menganggap para
pendosa sebagai orang bodoh yang tidak berdaya mengendalikan hawa nafsunya. Hal
itu memang benar, tapi Kiai Jahari merasa tidak perlu membawa hal tersebut
dalam proses dakwah.
Dengan kata lain,
da’wah bi al-hikmah (mengajak dengan kebijaksanaan) harus dikedepankan, bukan
dakwah dengan laknatisasi kekufuran. Beliau menyadari bahwa peluang berubah
selalu ada, bagi siapa saja. Jika Allah mengampuni orang yang telah membunuh
100 orang, tanpa pernah beribadah kepadaNya, sekedar merasakan penyesalan dan
hasrat bertaubat yang tinggi, apalagi hanya seorang penjudi dan pemabuk
kampung.
Semoga kita bisa
mengambil teladan dan manfaatnya, serta melanjutkan perintah luhur agama, yaitu
berdakwah menggunakan kebijaksanaan. Wa Allahu a’lam. []
Muhammad Afiq Zahara,
alumnus Pondok Pesantren al-Islah, Kaliketing, Doro, Pekalongan dan Pondok
Pesantren Darussa’adah, Bulus, Kritig, Petanahan, Kebumen.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar