Jumat, 11 Mei 2018

(Hikmah of the Day) Kiai Jahari dan Penjudi


Kiai Jahari dan Penjudi

Suatu ketika setelah shalat Isya, seorang laki-laki mendatangi rumah Kiai Jahari. Laki-laki itu terkenal sebagai seorang penjudi. Semua orang mengetahuinya, termasuk Kiai Jahari. 

“Silahkan masuk,” kata Kiai Jahari setelah melihatnya berada di pintu.

Laki-laki paruh baya itu menghampiri Kiai Jahari dan menyalaminya. Ia duduk di samping Kiai Jahari setelah dipersilahkan.

“Lama kita tak berjumpa,” ujar Kiai Jahari.

“Iya, Kiai,” katanya singkat. “Begini Kiai, saya hendak bertanya sesuatu.”

“Silakan,” ucap kiai asal Susukan, Cirebon, yang hidup di akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20 itu.

“Anak dan isteri saya menolak nafkah pemberian dari saya. Katanya uang hasil judi itu haram. Benarkah demikian, kiai?”

Kiai Jahari tersenyum, kemudian berkata: “Tidak juga, selama tuan tidak pernah kalah sekalipun.”

Laki-laki itu sedikit tercengang. Ujarnya: “Tidak mungkin, kiai. Ketika berjudi, tidak ada seorang pun yang belum pernah kalah. Semua penjudi pernah mengalaminya.”

“Jika tuan sudah tahu jawabannya, kenapa tuan masih melakukannya?”

Laki-laki itu terdiam, dengan wajah menunduk.

“Tak ada keuntungan dalam berjudi. Menang atau kalah, sama-sama merugikan. Ketika tuan menang, tuan merugikan orang yang kalah. Ketika tuan kalah, tuan lah yang dirugikan. Itulah alasan kenapa uang hasil judi dihukumi haram, karena didapatkan dengan merugikan orang lain.”

“Tapi sukar menghentikannya, kiai.”

“Ya, memang sukar. Jika mudah, tuan tidak akan datang kemari,” ujar Kiai Jahari tersenyum lebar.

****

Pendekatan Kiai Jahari ini sangat memanusiakan. Beliau tidak mengusir penjudi itu dan menerimanya dengan ramah, meski orang itu telah terkenal sebagai penjudi dan pemabuk. Jawaban yang diberikannya pun menarik, tidak seketika mengharamkan dan menyalahkan. Beliau memberikan jawaban yang memancing perenungan, sehingga tanpa sadar sang penjudi mengatakan: “Tidak mungkin, kiai. Ketika berjudi, tidak ada seorang pun yang belum pernah kalah. Semua penjudi pernah mengalaminya.”

Andai ditarik ke ranah teoritis, pendekatan Kiai Jahar dalam menjawab bisa—mungkin—diskemakan seperti ini. Pertama, mengajukan argumentasi logis dengan mengatakan: “Tidak juga, selama tuan tidak pernah kalah sekalipun.” Argumentasi logis ini yang kemudian dipahami oleh penjudi sebagai bentuk ketidak-mungkinan. Artinya, Kiai Jahari sengaja menggunakan pengalaman berjudi orang tersebut untuk membangun landasan argumentatifnya.

Kedua, setelah landasan argumentatifnya terbangun, yaitu perkataan: “Jika tuan sudah tahu jawabannya, kenapa tuan masih melakukannya?” Kiai Jahari masuk ke dalam wilayah influence (mempengaruhi) dan membangun impression (kesan), dengan cara membiarkannya menggali kesimpulannya sendiri, yang pada akhirnya membuka pikirannya untuk menerima masukan baru.

Ketiga, setelah kesan kuat berada di benaknya, artinya Ia telah siap menerima masukan yang bersifat hukum. Kemudian Kiai Jahari memberikan konklusi argumentasi logis dibalik keharaman berjudi dengan mengatakan: “Tak ada keuntungan dalam berjudi. Menang atau kalah, sama-sama merugikan. Ketika tuan menang, tuan merugikan orang yang kalah. Ketika tuan kalah, tuan lah yang dirugikan. Itulah alasan kenapa uang hasil judi dihukumi haram, karena didapatkan dengan merugikan orang lain.”

Dan keempat, pemahamannya terhadap sukarnya menghentikan perbuatan dosa bagi yang terbiasa melakukannya, tidak membuat Kiai Jahari memberikan wejangan-wejangan hukum yang akan membuatnya lari dan keberatan, tapi dengan pernyataan sederhana yang tidak menakutkan: “Ya, memang sukar. Jika mudah, tuan tidak akan datang kemari.” 

Kiai Jahari memahami betul bahwa tidak mudah menjauhi perbuatan yang dilarang Allah, khususnya bagi orang-orang yang terbiasa melakukannya. Banyak orang sering menganggap para pendosa sebagai orang bodoh yang tidak berdaya mengendalikan hawa nafsunya. Hal itu memang benar, tapi Kiai Jahari merasa tidak perlu membawa hal tersebut dalam proses dakwah.

Dengan kata lain, da’wah bi al-hikmah (mengajak dengan kebijaksanaan) harus dikedepankan, bukan dakwah dengan laknatisasi kekufuran. Beliau menyadari bahwa peluang berubah selalu ada, bagi siapa saja. Jika Allah mengampuni orang yang telah membunuh 100 orang, tanpa pernah beribadah kepadaNya, sekedar merasakan penyesalan dan hasrat bertaubat yang tinggi, apalagi hanya seorang penjudi dan pemabuk kampung. 

Semoga kita bisa mengambil teladan dan manfaatnya, serta melanjutkan perintah luhur agama, yaitu berdakwah menggunakan kebijaksanaan. Wa Allahu a’lam. []

Muhammad Afiq Zahara, alumnus Pondok Pesantren al-Islah, Kaliketing, Doro, Pekalongan dan Pondok Pesantren Darussa’adah, Bulus, Kritig, Petanahan, Kebumen.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar