Keputusan
Munas NU di NTB 1997 tentang Kedudukan Wanita dalam Islam
Di antara keputusan fenomenal dari Musyawarah
Nasional Alim Ulama yang digelar Nahdlatul Ulama di Nusa Tenggara Barat (NTB)
pada 17-20 November 1997 adalah tentang kedudukan wanita dalam Islam (makanatul
mar'ah fil islam).
Keputusan yang dirumuskan di Pondok Pesantren
Qomarul Huda Bagu, Pringgarata, Lombok Tengah itu menampik tudingan sebagian
bahwa Islam merupakan agama yang diskriminatif terhadap perempuan. Tak hanya
mengafirmasi keseteraan antara laki-laki dan perempuan, musyawirin bahkan
mengakui adanya kelebihan-kelebihan tertentu pada diri perempuan.
Ketetapan tersebut merupakan salah satu dari
sejumlah keputusan penting lain di forum yang sama, antara lain tentang nasbul
Imam dan demokrasi, hak asasi manusia dalam Islam, kedudukan wanita dalam Islam,
dan reksadana. Keputusan itu dikaji dan dirumuskan dalam Komisi Bahtsul Masail
Diniyah Maudlu’iyah yang fokus pada rumusan konseptual untuk isu-isu
tematik.
Berbeda dari bahtsul masail diniyah waqi‘iyah
yang berorientasi menemukan ketegasan status hukum “halal-haram”, bahtsul
masail diniyah maudlu’iyah mengaji tema-tema spesifik untuk dijelaskan secara
deskriptif-naratif. Berikut hasil lengkap keputusan Munas Alim Ulama pada tahun
1997 itu:
Wanita dalam Islam mendapat tempat yang mulia,
tidak seperti dituduhkan oleh sementara masyarakat, bahwa Islam tidak
menempatkan wanita sebagai subordinat dalam tatanan kehidupan masyarakat.
Kedudukan mulia kaum wanita itu ditegaskan dalam banyak hadits, di
antaranya:
اَلْجَنَّةُ
تَحْتَ أَقْدَامِ اْلأُمَّهَاتِ
“Surga berada di bawah telapak kaki Ibu.” (HR
Muslim, lihat Abdurrauf al-Munawi, Faidh al-Qadir [Riyadh: Maktabah
al-Imam al-Syafi’i, 1988], Juz I, h. 966).
جَاءَ
رَجُلٌ إِلَى النَّبِيِّ r فَقَالَ
مَنْ أَحَقُّ النَّاسِ بِحُسْنِ صَحَابَةٍ قَالَ أُمُّكَ قاَلَ ثُمَّ مَنْ قَالَ
ثُمَّ أُمُّكَ قَالَ ثُمَّ مَنْ قَالَ ثُمَّ أُمُّكَ قَالَ ثُمَّ مَنْ قَالَ ثُمَّ
أَبُوْكَ (رَوَاهُ الْبُخَارِيُّ وَمُسْلِمٌ)
“Seorang sahabat datang kepada Nabi Saw..
Kemudian bertanya: “Siapakah manusia yang paling berhak untuk dihormati?”, Nabi
menjawab: ”Ibumu”, kemudian siapa Wahai Nabi?, “Ibumu” jawab Nabi lagi,
“kemudian siapa lagi Wahai Nabi?: ” Ibumu” kemudian siapa Wahai Nabi?
“bapakmu”, jawab Nabi kemudian.” (HR. Bukhari Muslim)
Islam memberikan hak wanita yang sama dengan laki-laki
untuk memberikan pengabdian yang sama kepada agama, nusa, bangsa dan negara.
Ini ditegaskan dalam al-Qur’an dan al-Hadits antara lain sebagai berikut:
مَنْ
عَمِلَ سَيِّئَةً فَلَا يُجْزَىٰ إِلَّا مِثْلَهَا ۖ وَمَنْ عَمِلَ صَالِحًا مِنْ
ذَكَرٍ أَوْ أُنْثَىٰ وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَأُولَٰئِكَ يَدْخُلُونَ الْجَنَّةَ
يُرْزَقُونَ فِيهَا بِغَيْرِ حِسَابٍ
“Dan barangsiapa mengerjakan amal yang saleh
baik laki-laki maupun perempuan sedang ia dalam keadaan beriman, maka mereka
akan masuk surga, mereka diberi rezeki di dalamnya tanpa hisab.” (QS.
al-Mukmin: 40)
فَاسْتَجَابَ
لَهُمْ رَبُّهُمْ أَنِّي لَا أُضِيعُ عَمَلَ عَامِلٍ مِنْكُمْ مِنْ ذَكَرٍ أَوْ
أُنْثَىٰ بَعْضُكُمْ مِنْ بَعْضٍ
“Maka Tuhan mereka memperkenankan permohonannya
(dengan berfirman): ‘Sesungguhnya Aku tidak menyia-nyiakkan amal orang-orang
yang beramal di antara kamu, baik laki-laki atau perempuan, (karena) sebagian
kamu adalah turunan dari sebagian yang lain.” (QS. Ali Imran: 195)
مَنْ
عَمِلَ صَالِحًا مِنْ ذَكَرٍ أَوْ أُنْثَىٰ وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَلَنُحْيِيَنَّهُ
حَيَاةً طَيِّبَةً
“Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh, baik
laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami
berikan kepadanya kehidupan yang baik.” (QS. al-Nahl: 97)
إِنَّ
الْمُسْلِمِينَ وَالْمُسْلِمَاتِ وَالْمُؤْمِنِينَ وَالْمُؤْمِنَاتِ
وَالْقَانِتِينَ وَالْقَانِتَاتِ وَالصَّادِقِينَ وَالصَّادِقَاتِ وَالصَّابِرِينَ
وَالصَّابِرَاتِ وَالْخَاشِعِينَ وَالْخَاشِعَاتِ وَالْمُتَصَدِّقِينَ
وَالْمُتَصَدِّقَاتِ وَالصَّائِمِينَ وَالصَّائِمَاتِ وَالْحَافِظِينَ فُرُوجَهُمْ
وَالْحَافِظَاتِ وَالذَّاكِرِينَ اللَّهَ كَثِيرًا وَالذَّاكِرَاتِ أَعَدَّ
اللَّهُ لَهُمْ مَغْفِرَةً وَأَجْرًا عَظِيمًا
“Sesungguhnya laki-laki dan perempuan yang muslim,
laki-laki dan perempuan yang mukmin, laki-laki dan perempuan yang tetap dalam
ketaatannya, laki-laki dan perempuan yang benar, laki-laki dan perempuan yang
sabar, laki-laki dan perempuan yang khusyuk, laki-laki dan perempuan yang
bersedekah, laki-laki dan perempuan yang berpuasa, laki-laki dan perempuan yang
menjaga kehormatannya, laki-laki dan perempuan yang banyak menyebut (nama)
Allah, Allah telah menyediakan untuk mereka ampunan dan pahala yang besar. (QS.
Al-Ahzab: 35)
إنَّ
النِّساءَ شَقَائِقُ الرِّجَالِ
“Sesungguhnya perempuan itu laksana saudara
kandung laki-laki.” (HR. Ahmad, Abu Dawud dan Tirmidzi)
النَّاسُ
سَوَاسِيَةٌ كَأَسْنَانِِ الْمُشْطِ
“Manusia itu sama dan setara laksana gigi
sisir.” (HR. Ahmad dan Abu al-Zubair)
Ayat dan hadits di atas adalah sebuah realita
pengakuan Islam terhadap hak-hak wanita secara umum dan anugerah kemuliaan dari
Allah Swt. Persoalan yang muncul kemudian bahwa sekalipun Islam telah mendasari
penyadaran integratif tentang wanita tidak berbeda dalam beberapa hal dengan
laki-laki, pada kenyataannya prinsip-prinsip Islam tentang wanita tersebut
telah mengalami distorsi. Kita tidak bisa menutup mata bahwa masih banyak
manusia yang mencoba mengingkari kelebihan yang dianugerahkan Allah Swt. kepada
wanita.
Pengaruh kultur yang masih bersifat patrilineal
dan kenyataan pada tingkat perbandingan proporsional antara laki-laki dan
wanita ditemukan bahwa laki-laki (karena kondisi, sosial dan budaya) memiliki
kelebihan atas wanita. Yang pada gilirannya telah menafikan atau mengurangi
prinsip-prinsip mulia tentang wanita yang kemudian menjadi prinsip-prinsip yang
kemudian tidak diperhatikan. Oleh karena itulah maka di tengah-tengah arus
perubahan yang menggejala di berbagai belahan dunia yang pada prinsipnya
menuntut kembali hak-hak sebenarnya dari wanita, maka umat Islam perlu meninjau
dan mengkaji ulang anggapan-anggapan yang merendahkan wanita karena distorsi
budaya, berdasarkan prinsip-prinsip kemuliaan Islam atas wanita.
Harus diakui bahwa memang ada perbedaan fungsi
laki-laki yang disebabkan oleh perbedaan kodrati/fitri. Sementara di luar itu
ada peran-peran non kodrati dalam kehidupan bermasyarakat yang masing-masing
(laki-laki dan perempuan) harus memikul tanggungjawab bersama dan harus
dilaksanakan dengan saling mendukung satu sama lain. Sebagaimana firman Allah
Swt.:
وَالْمُؤْمِنُونَ
وَالْمُؤْمِنَاتُ بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاءُ بَعْضٍ يَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ
وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ ...
“Dan orang-orang laki-laki dan perempuan
sebagian mereka (adalah) penolong bagi sebagian yang lain. Mereka menyuruh
(mengerjakan) yang ma’ruf, mencegah dari yang mungkar...” (QS. al-Taubah: 71)
Peran domestik wanita yang hal itu merupakan
kesejatian kodrat wanita seperti; sebagai pendidik yang pertama dan utama bagi
anak-anak mereka, hamil, melahirkan, menyusui, dan fungsi-lain dalam keluarga
yang memang tidak mungkin digantikan oleh laki-laki, Firman Allah Swt.:
يَهَبُ
لِمَنْ يَشَاءُ إِنَاثًا وَيَهَبُ لِمَنْ يَشَاءُ الذُّكُورَ
“Dia memberikan anak-anak perempuan kepada
siapa yang Dia kehendaki dan memberikan anak-anak laki-laki kepada siapa yang
Dia kehendaki.” (QS. As-Syura: 49)
Dan Islam pun telah mengatur hak dan kewajiban
wanita dalam hidup berkeluarga yang harus diterima dan dipatuhi oleh
masing-masing (suami istri).
Akan tetapi ada peran publik wanita, di mana
wanita sebagai anggota masyarakat, wanita sebagai warga negara yang mempunyai
hak bernegara dan berpolitik, telah menuntut wanita harus melakukan peran
sosialnya yang lebih tegas, transparan dan terlindungi.
Dalam konteks peran-peran publik menurut
prinsip-prinsip Islam, wanita diperbolehkan melakukan peran-peran tersebut
dengan konsekuensi bahwa ia dapat dipandang mampu dan memiliki kapasitas untuk
menduduki peran sosial dan politik tersebut.
Dengan kata lain bahwa kedudukan wanita dalam
proses sistem negara-bangsa telah terbuka lebar, terutama perannya dalam
masyarakat majemuk ini, dengan tetap mengingat bahwa kualitas, kapasitas,
kapabilitas dan akseptabilitas bagaimanapun, harus menjadi ukuran, sekaligus
tanpa melupakan fungsi kodrati wanita sebagai sebuah keniscayaan.
Partisipasi wanita dalam sektor non kodrati
merupakan wujud tanggungjawab NU dalam ikut memprakarsai transformasi kultur,
kesetaraan yang pada gilirannya mampu menjadi dinamisator pembangunan nasional
dalam era globalisasi dengan memberdayakan wanita Indonesia pada proporsi yang
sebenarnya.
Sumber: NU Online
Tidak ada komentar:
Posting Komentar