Dua Shalat Jum’at dalam
Satu Komplek
Pertanyaan:
Assalmu’alaikum. Kiai bagaimana hukumnya di
satu komplek ada dua shalat Jum’at, mana yang sah? Dua shalat yang terpisah ini
diadakan baik karena berbeda madzab/ormas maupun karena jumlah warga tidak muat
dalam satu masjid, bagaimana solusinya?
Jawaban:
Wa’alaikum salam wr. wb.
Saudara penanya yang dirahmati Allah SWT.
Ajaran Islam memang sangat menekankan agar para pemeluknya senantiasa
memelihara dan menjaga persatuan. Namun dalam kenyataannya sering sekali
terjadi perselisihan diantara mereka yang berujung perpecahan dan ketidak
harmonisan hubungan yang sekian lama telah terjalin. Terkadang penyebab
terjadinya perselisihan dan perpecahan ini bukan merupakan masalah-masalah
penting dan mendasar dalam agama.
Saudara penanya yang kami hormati.
Selanjutnya terkait dengan permasalahan yang anda sampaikan, yakni
diselenggarakannya dua jum’atan dalam satu komplek atau perkampungan, kami
mengacu hasil muktamar NU tahun 1984 di Situbondo yang menetapkan bahwa dalam
mazhab Syafi’i, penyelenggaraan Jum’at lebih dari satu (ta’addud al-Jum’ah)
diperbolehkan jika terdapat hajah.
Yang dimaksud hajah dalam pembahasan kali
ini ialah: Sulit berkumpul (‘usr al-ijtima’) antara lain karena sempitnya
masjid (dhaiq
al-makan) atau adanya permusuhan (‘adawah), atau jauhnya
pinggir-pinggir negeri (athraf al-balad).
Diantara referensi yang digunakan pada waktu
itu adalah:
1. Shulh al-Jama’atain bi Jawaz Ta’addud al-Jum’atain
karya Ahmad Khatib al-Minangkabawi
إِذَا عَرَفْتَ أَنَّ أَصْلَ مَذْهَبِ الشَّافِعِيِّ عَدَمُ جَوَازِ تَعَدُّدِ
الْجُمْعَةِ فِيْ بَلَدٍ وَاحِدٍ وَأَنَّ جَوَازَ تَعَدُّدِهِ أَخَذَهُ
اْلأَصْحَابُ مِنْ سُكُوْتِ الشَّافِعِيِّ عَلَى تَعَدُّدِ الْجُمْعَةِ فِيْ
بَغْدَادَ وَحَمَّلُوْا الْجَوَازَ عَلَى مَا إِذَا حَصَلَتِ الْمَشَقَّةُ فِي
الاجْتِمَاعِ كَالْمَشَقَّةِ الَّتِيْ حَصَلَتْ بِبَغْدَادَ وَلَمْ يُضْبِطُوْهَا
بِضَابِطٍ لَمْ يَخْتَلِفْ فَجَاءَ الْعُلَمَاءُ وَمَنْ بَعْدَهُمْ وَضَبَطَهَا
كُلُّ عَالِمٍ مِنْهُمْ بِمَا ظَهَرَ لَهُ
وَبَنَى الشَّعْرَانِيُّ أَنَّ مَنْعَ التَّعَدُّدَ لِأَجْلِ خَوْفِ
الْفِتْنَةِ وَقَدْ زَالَ. فَبَقِيَ جَوَازُ التَّعَدُّدِ عَلَى اْلأَصْلِ فِيْ
إِقَامَةِ الْجُمْعَةِ وَقَالَ أَنَّ هَذَا هُوَ مُرَادُ الشَّارِعِ وَاسْتَدَلَّ
عَلَيْهِ بِأَنَّهُ لَوْ كَانَ التَّعَدُّدُ مَنْهِيًّا بِذَاتِهِ لَوَرَدَ فِيْهِ
حَدِيْثٌ وَلَوْ وَاحِدًا وَالْحَالُ أَنَّهُ لَمْ يَرِدْ فِيْهِ شَيْءٌ فَدَلَّ
ذَلِكَ عَلَى أَنَّ سُكُوْتَ النَّبِيِّ كَانَ لِأَجْلِ التَّوْسِعَةِ عَلَى
أُمَّتِهِ
Artinya: “Jika Anda tahu, bahwa dasar mazhab
Syafi’i tidak memperbolehkan shalat Jum’at lebih dari satu di satu daerah.
Namun kebolehannya telah diambil oleh para Ashhab dari diamnya Imam Syafi’i
atas Jum’atan lebih dari satu di kota Baghdad, dan para Ashhab memahami
kebolehannya pada situasi para jamaah sulit berkumpul, seperti kesulitan yang
terjadi di Baghdad, mereka pun tidak memberi ketentuan kesulitan itu yang tidak
(pula) diperselisihkan, lalu muncul para ulama dan generasi sesudahnya, dan
setiap ulama menentukan kesulitan tersebut sesuai dengan pemahaman mereka.
As-Sya’rani menyatakan bahwa pencegahan
jum’atan lebih dari satu adalah karena kekhawatiran tertentu dan hal itu sudah
hilang. Kebolehan Jum’atan lebih dari satu itu juga berdasarkan hukum asal
tentang pelaksanaan shalat Jum’at. Beliau berkata: “Inilah maksud (Nabi Saw.)
pembawa syari’ah.” Beliau berargumen, bahwa bila pendirian shalat Jum’at lebih
dari satu itu dilarang secara dzatnya, niscaya akan terdapat hadits yang
menerangkannya, meskipun hanya satu. Sementara tidak ada satupun hadits yang
menyatakan begitu. Maka hal itu menunjukkan bahwa diamnya Nabi Saw. Itu bertujuan
memberi kelonggaran kepada umatnya.”
2. Bughyah al-Mustarsyidin karya Abdurrahman bin
Muhammad Ba’lawi
وَالْحَاصِلُ مِنْ كَلَامِ الْأَئِمَّةِ أَنَّ أَسْبَابَ جَوَازِ
تَعَدُّدِهَا ثَلَاثَةٌ ضَيِّقُ مَحَلِّ الصَّلَاةِ بِحَيْثُ لَا يَسَعُ
اْلُمجْتَمِعِينَ لَهَا غَالِبًا وَالْقِتَالُ بَيْنَ الْفِئَتَيْنِ بِشَرْطِهِ
وَبُعْدُ أَطْرَافِ الْبَلَدِ بِأَنْ كَانَ بِمَحَلٍّ لَا يُسْمَعُ مِنْهُ
النِّدَاءِ أَوْ بِمَحَلٍّ لَوْ خَرَجَ مِنْهُ بَعْدَ الْفَجْرِ لَمْ يُدْرِكْهَا
إِذْ لَا يَلْزَمُهُ السَّعْيُ إِلَيْهَا إِلَّا بَعْدَ الْفَجْرِ
Artinya; “Dan kesimpulan pendapat para imam
adalah boleh mendirikan Jum’atan lebih dari satu tempat karena tiga sebab. (i)
Tempat shalat Jum’at yang sempit, yakni tidak cukup menampung para jama’ah
Jum’at secara umum. (ii) Pertikaian antara dua kelompok masyarakat dengan
syaratnya. (iii) Jauhnya ujung desa, yaitu bila seseorang berada di satu tempat (ujung
desa) tidak bisa mendengar adzan, atau di tempat yang bila ia pergi dari situ
setelah waktu fajar ia tidak akan menemui shalat Jum’at, sebab ia tidak wajib
pergi jum’atan melainkan setelah fajar.”
Demikian jawaban dari kami, mudah-mudahan
bermanfaat bagi kita semua. Jadi dua shalat Jum’at yang dilakukan di satu
komplek hukumnya sama-sama sah karena tiga sebab di atas.
Namun saran kami, jika dua tempat shalat itu
terlalu berdekatan dan dikhawatirkan saling mengganggu (misalnya karena suara
microphone yang sama-sama keras), kami sarankan memilih salah satu
masjid/tempat yang lebih layak. Jika alasan menyelenggarakan dua jumatan itu
karena terlalu banyak warga sehingga satu masjid tidak muat, maka solusinya
sebenarnya jamaah shalat Jum’at bisa melebar ke tanah lapang atau jalan raya
yang masih bisa dimanfaatkan sementara waktu. Jadi lebih baik melaksanakan
shalat Jumat di satu masjid/tempat saja. Dan tidak ada persoalan yang tidak
bisa diselesaikan jika warga masyarakat komplek/kampung/perumahan saling duduk
bersama untuk membahas kemaslahatan bersama.
Wallahul muwaffiq
ilaa aqwamith tharieq.
Wassalamu’alaikum wr. wb.
Maftukhan
Tim Bahtsul Masail NU
Tidak ada komentar:
Posting Komentar