Indonesia
dan Mediasi Konflik Arab Saudi-Iran
Oleh:
Azyumardi Azra
Pemerintah
Indonesia akhirnya memutuskan untuk memainkan peran mediasi—mencoba menengahi
Arab Saudi dan Iran dalam konflik yang terus memanas. Presiden Joko Widodo
menugaskan Menteri Luar Negeri Retno LP Marsudi, Selasa (12/1) ini, untuk
menyampaikan surat khusus kepada Raja Arab Saudi Salman bin Abdulaziz al-Saud
dan Presiden Iran Hassan Rouhani.
Presiden
Jokowi menyatakan, pengiriman utusan khusus (special envoy) menunjukkan
keseriusan Indonesia membantu meredakan ketegangan antara Arab Saudi dan Iran.
Apakah upaya mediasi itu berhasil atau gagal, jelas banyak faktor yang membuat
konflik Arab Saudi – Iran tak mudah diselesaikan. Yang pasti, pengambilan
inisiatif untuk memediasi konflik yang kian memuncak di antara kedua negara
merupakan langkah yang sepatutnya dilakukan Indonesia.
Selama
setahun lebih pemerintahan Jokowi-Kalla, banyak kalangan diplomatik dan
pengamat politik luar negeri mengkhawatirkan kecenderungan surutnya aktivisme
dan peran Indonesia di kancah politik internasional. Indonesia di bawah
pemerintah sekarang mereka nilai cenderung bersikap lebih berorientasi ke dalam
(inward looking), tidak lagi banyak melihat ke luar (outward looking) dengan
memprioritaskan keterlibatan dan peran Indonesia ikut membangun tatanan
internasional lebih damai dan lebih adil.
Menlu
Retno membantah assessment itu. Ia menyatakan, kebijakan luar negeri Indonesia
kini bisa disebut pro-people foreign policy—memprioritaskan perlindungan bagi
WNI yang bekerja sebagai buruh migran di luar negeri. Retno membantah kebijakan
ini dimotivasi narrow nationalism atau selfserving interest—nasionalisme sempit
guna melayani diri sendiri dengan mengabaikan kepentingan internasional lebih
luas. Indonesia tetap asertif dalam politik luar negerinya.
Pada saat
sama, perhatian dan energi Presiden Jokowi terfokus pada konsolidasi pemerintah
agar dapat mempercepat pembangunan. Namun, kontestasi dan kegaduhan politik
yang terus berlanjut menyisakan hanya sedikit ruang bagi Presiden untuk juga
meningkatkan peran Indonesia di kancah internasional.
Penilaian
atas kecenderungan pribadi Presiden Jokowi itu, misalnya, dikemukakan Lowy
Institute for International Policy, lembaga think tank Australia. Sejak masa
awal pemerintahan Presiden Jokowi, Lowy Institute dalam analisis tulisan Aaron
L Connelly (Oktober 2014) menyatakan, Jokowi tidak memiliki visi kuat dan solid
tentang tempat dan posisi Indonesia di kancah internasional. Jokowi juga tidak
memiliki semangat khusus yang bernyala-nyala (passion) dalam soal ini.
Dalam
konteks itu, keputusan Presiden Jokowi mengirim utusan khusus dalam upaya
meredakan ketegangan antara Arab Saudi dan Iran—”musuh bebuyutan” sejak awal
dasawarsa 1980-an—patut mendapat apresiasi dan dukungan. Kebijakan ini dapat
menjadi momentum bagi Indonesia—dalam istilah hubungan internasional—to punch
its weight, ”memukul”, atau memainkan peran sesuai dengan bobotnya (yang
besar).
Indonesia
memang belum menjadi negara adidaya sekelas Amerika Serikat atau kini juga
Tiongkok. Namun, Indonesia bersama Jepang, Korea Selatan, dan India telah
diakui banyak negara lain dan para analis sebagai middle power, kekuatan menengah,
yang memiliki peran penting sebagai ”pengimbang” di tengah persaingan kian
meningkat di antara AS beserta sekutunya dan Tiongkok (dan Rusia) bersama
negara pendukungnya (Melissen & Sohn, eds, Understanding Public Diplomacy
in East Asia: Middle Powers in a Troubled Region, 2015).
Tidak
kurang pentingnya, negara kekuatan menengah memiliki posisi strategis sebagai
kekuatan penengah atau mediator konflik yang terjadi di antara negara-negara
tertentu di tingkat regional, apakah di kawasan Asia Pasifik, Asia Selatan,
ataupun di Timur Tengah—seperti kini tengah membara antara Arab Saudi dan Iran.
Sejauh
menyangkut konflik Arab Saudi versus Iran, Indonesia sebagai middle power
memiliki ”keunggulan” dan leverage (daya tekan) lebih dibandingkan kekuatan
adidaya semacam AS atau Uni Eropa atau Tiongkok atau negara kekuatan menengah
lain.
Sebaliknya,
Indonesia lebih bisa diterima bagi kedua pihak bertikai karena sejumlah alasan.
Pertama, Indonesia merupakan negara netral yang berhubungan baik dengan Arab
Saudi dan Iran sekaligus. Namun, Indonesia tidak memiliki kepentingan
geostrategis dan politis di kawasan Timur Tengah yang terus bergolak. Kedua,
Indonesia adalah negara berpenduduk Muslim terbesar di dunia dan sekaligus
negara demokrasi terbesar ketiga di dunia.
Dengan
tingkat akseptasi lebih besar, agar berhasil dalam mewujudkan peran mediasi
internasional, Pemerintah Republik Indonesia perlu melibatkan banyak pihak
dalam diplomasinya. Kemlu tetap menjadi lokus utama, tetapi perlu keterlibatan
publik Indonesia lebih luas menggalang diplomasi publik menjadi total
diplomacy.
Dalam
konteks khas, upaya mediasi Indonesia meredakan konflik Arab Saudi-Iran
memerlukan keterlibatan non-state actors, khususnya pemimpin dan tokoh Islam
Indonesia. Mereka tidak hanya fasih berbicara bahasa Arab atau Persia tentang
wajibnya perdamaian sesama Muslim—Sunni dan Syiah—tetapi juga memiliki jaringan
luas dengan ulama dan tokoh Arab Saudi dan Iran. Hanya dengan begitu kita bisa
lebih optimistis dengan upaya mediasi Indonesia guna terciptanya dunia lebih
aman dan tenteram. []
KOMPAS,
12 Januari 2016
Azyumardi Azra | Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta;
Mantan Anggota Dewan Penasihat UNDEF, New York, dan International IDEA,
Stockholm
Tidak ada komentar:
Posting Komentar