Suami-Istri Bertengkar dan
Mengancam Talak
Pertanyaan:
Asslammualaikum wr. wb. Pak ustadz, di sini
saya ingin menanyakan tentang status pernikahan saya karena dulu saya
sering berantem sama istri, ada beberapa kata yang mengandung makna cerai
misalkan:
1.
Kalau saya sudah puas menyakitimu
saya akan ceraikan kamu. Nah di sini saya berhenti menyakitinya bukan
karna saya puas tetapi saya menyesal, apakah sudah jatuh talak?
2.
Saya bilang sama dia kalau begini
caranya kita pisah dulu aja intropeksi diri dulu masing-masing, tetapi
hati saya bermaksud pisah ranjang bukan cerai, apakah sudah jatuh talak?
3.
Saya bilang ke istri saya, seperti
ini, kamu mau berkata apa, mau bilang cerai lagi kamu pikir aku takut apa,
terserah kamu saja, tapi hati saya tidak mau cerai, apakah sudah jatuh
talak?
Pada saat itu saya memang belum tau
tentang hukum talak, bagaimana tentang keabsahan pernikahan saya, tolong
dibantu jawab pak ustad. Wassalamu’alaikum wr. wb.
Iip di suatu tempat
Jawaban:
Assalamu’alaikum wr. wb
Penanya yang budiman, semoga selalu dirahmati
Allah swt. Bahwa pertengkaran dalam sebuah kehidupan rumah tangga merupakan hal
lumrah sebagai bagian untuk mendewasakan masing-masing pasangan. Namun akan
menjadi persoalan serius jika pertengkaran tersebut sering terjadi. Alih-alih
sebagai proses pendewasaan diri, tetapi malah mengancam keharmonisan kehidupan
tangga pasangan suami-isteri, yang ujungnya adalah perceraian atau talak.
Sebagaimana yang kita ketahui bersama bahwa
ada pelbagai macam talak. Dari sisi redaksi atau shigat yang digunakan, talak
terbagi menjadai dua, yaitu sharih dan kinayah. Yang dimaksud dengan sharih
adalah bahwa kata yang digunakan tidak mengandung makna lain kecauli talak.
Seperti ucapan suami kepada isterinya, ‘kamu adalah orang yang tertalak, atau
saya ceraikan kamu.
Sedang yang dimaksud kinayah dalam hal ini
adalah bahwa kata yang digunakan bisa mengadung makna selain talak. Karenanya
talak dalam hal ini memerlukan niat. Seperti ucapan suami kepada isterinya,
‘pulanglah kamu ke keluargamu’. Pernyataan ‘pulanglah kamu ke keluargamu’ bisa
mengadung makna talak mau selainnya.
Sedangkan talak di lihat sisi waktu
terjadinya atau jatuhnya ada tiga yaitu, munajjaz, mudlaf, dan mu’allaq.
Pertama, talak munajjaz adalah talak yang di dalam ungakapannya atau shigat-nya
tidak digantungan dengan syarat tertentu atau dikaitkan dengan masa yang akan
datang.
Singkatnya talak jenis ini adalah talak yang
terjadi ketika pernyataan talak terucap. Seperti ucapan seorang suami kepada
isterinya, ‘anti thaliq’ (kamu adalah orang yang tertalak). Atau dengan
ungkapan, “pulanglah kamu ke rumah keluargamu” dimana ketika hal ini diucapkan
pihak suami berniat menceraikannya.
أَوَّلاً ـ
اَلطَّلاَقُ الْمُنَجَّزُ أَوِ الْمُعَجَّلُ هُوَ مَا قُصِدَ بِهِ الْحَالُ،
كَأَنْ يَقُولَ رَجُلٌ لِامْرَأَتِهِ: أَنْتِ طَالِقٌ، أَوْ مُطَلَّقَةٌ، أَوْ
طَلَّقْتُكِ
“Pertama, talak munajjaz atau mu’ajjal yaitu
talak yang ucapkan dan dimaksudkan terjadi ketika itu juga, seperti seorang
suami berkata kepada isterinya, kamu adalah orang yang tertalak atau ditalak,
atau saya ceraikan kamu” (Wahbah az-Zuhaili, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu,
Damaskus-Dar al-Fikr, cet ke-10, juz, juz, 9, h. 416)
Kedua, talak mudlaf yaitu talak yang jatuhnya
dikaitkan dengan waktu yang akan datang, seperti seorang suami mengatakan
kepada isterinya, ‘awal bulan Januari kamu adalah orang yang tertalak’. Ini
artinya talaknya jatuh ketika masuk pada bagian pertama dari awal bulan
Januari.
ثَانِياً
ـ اَلطَّلَاقُ الْمُضَافُ هُوَ مَا أُضِيفَ حُصُولُهُ إِلَى وَقْتٍ فِي
الْمُسْتَقْبَلِ، كَأَنْ يَقُولَ الرَّجُلُ لِزَوْجَتِهِ: أَنْتِ طَالِقٌ غَداً،
أَوْ أَوَّلَ الشَّهْرِ الْفُلَانِيِّ أَوْ أَوَّلَ سَنَةٍ كَذَا
“Kedua, talak mudlaf yaitu talak yang
terjadinya dikaitkan kepada waktu yang akan datang, seperti seorang suami
berkata kepada isterinya, ‘besok, atau awal bulan atau tahun kamu adalah orang
yang tertalak” (Wahbah az-Zuhaili, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu,
Damaskus-Dar al-Fikr, cet ke-10, juz, juz, 9, h. 416).
Ketiga, talak mu’allaq yaitu talak bersyarat,
dan akan jatuh ketika perkara yang disyaratkan pada masa yang akan datang telah
terpenuhi pada waktunya. Talak jenis ini menggunakan huruf syarat seperti in
(jika) dan idza (ketika). Contohnya perkataan suaminya kepada isterinya, ‘jika
kamu masuk rumah si fulan, maka kamu adalah orang yang tertalak’”. Contoh lain,
‘jika si fulan mengunjungimu maka kamu adalah orang yang tertalak’. Jadi ketika
si isteri masuk ke rumah si fulan atau si fulan mengunjunginya maka saat itu
juga talaknya jatuh.
ثَالِثاً
ـ اَلطَّلَاقُ الْمُعَلَّقُ هُوَ مَا رَتَّبَ وُقُوعُهُ عَلَى حُصُولِ أَمْرٍ فِي
الْمُسْتَقْبَلِ، بِأَدَاةٍ مِنْ أَدَوَاتِ الشَّرْطِ أَيْ التَّعْلِيقِ، مِثلُ
إِنْ، وَإِذَا ، وَمَتَى، وَلَوْ وَنَحْوِهَا، كَأَنْ يَقُولَ الرَّجُلُ
لِزَوْجَتِهِ: إِنْ دَخَلْتِ دَارَ فُلَانٍ فَأَنْتِ طَالِقٌ
“Ketiga, talak mu’allaq yaitu talak yang
jatuhnya akibat adanya perkara yang terjadi pada masa yang akan datang dengan
menggunakan salah satu huruf syarat atau ta’liq, seperti in (jika), idza
(ketika), mata (manakala), law (seandainya) dan lain sebagainya. Seperti
seorang suami berkata kepada isterinya, ‘jika kamu masuk rumah si fulan maka
kamu adalah orang yang tertalak’. (Wahbah az-Zuhaili, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu,
Damaskus-Dar al-Fikr, cet ke-10, juz, juz, 9, h. 418).
Berangkat dari penjelasan mengenai ragam
talak dan jika ditarik ke dalam konteks pertanyaan di atas maka jawaban untuk
pertanyaan pertama, di mana pihak suami mengatakan kepada isterinya, “kalau
saya sudah puas menyakitimu saya akan ceraikan kamu”. Dan si suami pun
berhenti menyakitinya, namun bukan karena puas tetapi menyesal dengan apa yang
telah dilakukan, maka dalam konteks ini talaknya suami tidak jatuh.
Talak suami dalam hal ini adalah masuk
kategori sebagai talak mu`allaq atau talak yang digantungkan dengan syarat.
Sedangkan persyaratan yang disebutkan di dalam shigat talaknya tidak terpenuhi.
Karenanya, talaknya tidak dianggap jatuh.
Begitu juga menyangkut jawaban untuk
pertanyaan kedua di mana pihak suami mengatakan, “kalau begini caranya kita
pisah dulu aja, intropeksi diri dulu masing masing”. Sedang dalam hatinya
tidak bermaksud cerai tetapi pisah ranjang saja.
Dalam kasus yang kedua itu pun tidak jatuh
talaknya. Sebab dalam redaksi atau shigat yang digunakan terdapat kata ‘pisah’.
Sedangkan kata ‘pisah’ itu sendiri tidak secara sharih menunjukkan makna cerai.
Dengan kata lain, yang gunakan adalah kata kinayah.
Padahal jika perceraian itu dengan
menggunakan kata kinayah membutuhkan niat cerai dari pihak yang mengucapkannya.
Tetapi dalam kasus ini pihak suami ketika mengatakan kata pisah tidak berniat
cerai tetapi hanya sebatas pisah ranjang. Karenanya, pernyataan pihak suami,
“kalau begini caranya kita pisah dulu aja intropeksi diri dulu masing
masing” tidak menjadikan jatuh talaknya.
Selanjutnya menanggapi kasus yang ketiga di
mana pihak suami mengatakan, ‘kamu mau berkata apa, mau bilang cerai lagi
kamu pikir aku takut apa, terserah kamu saja’. Dalam pandangan kami, pernyataan
tersebut juga tidak menunjukkan jatuhnya talak. Talak adalah hak suami
karenanya seribu kali isteri bilang cerai tetap saja talak tidak jatuh.
Pernyataan suami tersebut lebih pada sebagai peringatan kepada si isteri agar
tidak selalu ngomong soal cerai.
Demikian jawaban yang dapat kami kemukakan.
Semoga bisa dipahami dengan baik. Bagi pasangan suami-isteri hendaknya saling
menghargai, dan jangan mengedapankan ego masing-masing. Jika isteri sedang
dalam kondisi marah, maka suami sebaiknya tak perlu menanggapinya dengan
kemarahan pula, sebaliknya jika suami sedang marah isteri juga tak perlu
menanggapi dengan kemarahan. Dan kami selalu terbuka untuk menerima saran dan
kritik dari para pembaca.
Wallahul muwaffiq ila aqwamith thariq,
Wassalamu’alaikum wr. wb
Mahbub Ma’afi Ramdlan
Tim Bahtsul Masail NU
Tidak ada komentar:
Posting Komentar