Dilema Hukum Pilkada
Oleh: Moh Mahfud MD
Pemilihan umum kepala daerah (pilkada) 2015 secara umum telah
terlaksana dengan baik. Pilkada berlangsung tanpa kekerasan atau kegaduhan yang
berarti bahkan cenderung sepi sehingga ada yang mengatakannya tidak seperti
”pesta demokrasi”.
Namun, situasi seperti itu adalah lebih baik daripada terkesan ada
pesta tetapi hanya menjadi hura-hura yang kontraproduktif. Penyelenggara
pilkada tahun 2015 patut diapreasisasi karena sudah mempersiapkan dan
melaksanakan pilkada, sampai pada penetapan hasil penghitungan suara oleh KPU,
dengan baik.
Tahapan pilkada memang belum sepenuhnya selesai karena masih ada
sengketa hasil pilkada yang sedang berproses di Mahkamah Konstitusi (MK). Benar
yang saya kemukakan dulu bahwa berdasar pengalaman masa lalu gugatan dari pihak
yang kalah akan tetap membanjir. Dulu saya pernah memperkirakan munculnya
minimal 135 kasus masuk ke MK dari 269 pemilukada 2015.
Ternyata MK menerima 147 kasus yang diajukan dari 264 pemilukada
yang sudah dilakukan pemungutan suaranya setelah ada lima daerah yang
pemungutan suaranya ditunda. Tetapi membanjirnya kasus yang masuk ke MK itu
tampaknya akan dapat diselesaikan secara hukum dalam waktu yang tepat sesuai
dengan waktu yang tersedia, 45 hari.
Belajar dari pengalaman masa lalu, masalah sengketa pilkada 2015
sudah diantisipasi oleh pembentuk UU. Menurut Pasal 158 UU No. 8 Tahun 2015
sengketa hasil pilkada oleh MK hanya dilakukan terhadap kasus yang selisih
hasil penghitungan suaranya tidak lebih dari (maksimal) 2%. Dengan pembatasan
ini maka dari 147 kasus yang masuk ke MK, kabarnya, hanya akan ada sekitar 25
kasus yang pokok perkaranya bisa diperiksa. Itu pun cara pembuktiannya relatif
mudah, tinggal cross check dokumen (misalnya formulir C.1) antar pihak
kemudian, kalau perlu, dihitung kembali di sidang MK. Selesailah. Pemenangnya
bisa ditetapkan secara cepat dan bisa segera dilantik.
Meskipun begitu bukan berarti semua masalah bisa dianggap selesai,
apalagi dianggap benar. Masih ada beberapa dilema hukum yang mengganggu atau
bisa menciderai demokrasi substansial sehingga perlu dipikirkan untuk pilkada -
pilkada yang akan datang.
Dengan adanya pembatasan maksimal selisih 2% dari hasil
penghitungan suara yang bisa diperiksa sebagai sengketa di MK maka bisa
terjadi, banyak kecurangan-kecurangan yang dilakukan di lapangan yang
selisihnya sengaja dilebihkan dari 2% sehingga tidak bisa lagi diadili di MK.
Ratna Sarumpaet dan kawan-kawan menemukan di daerah tertentu ada kecurangan
yang luar biasa sehingga calon tertentu menang secara mutlak, selisihnya jauh
di atas 2%.
Menurut Ratna pembatasan 2% itu justru membuka peluang terjadinya
kecurangan yang lebih serius sehingga pihak yang mau curang sudah merancang
agar bisa menang di atas 2%. Demi demokrasi substantial, menurut Ratna,
pembatalan hasil pilkada karena kecurangan atau pelanggaran yang dilakukan
secara terstruktur, sistematis, dan masif masih perlu diberlakukan. Kalau hanya
menggunakan ukuran kuantitatif seperti 2%, menurut Ratna, demokrasi bisa
semakin rusak dan berlangsung formalitas-prosedural semata.
Ketentuan bahwa aparat pengawas pilkada harus serius mengawasi dan
pelanggaran pidana dan administrasi pemilukada harus diselesaikan sebelum
penetapan hasil suara dilakukan oleh KPU ternyata tidak bisa berjalan efektif
sehingga perusakan terhadap demokrasi subtatial tetap berlangsung. Tetapi
masalahnya memang tidak sesederhana itu.
Berdasar pengalaman, jika pengadilan membuka peluang untuk menilai
pelanggaran yang bersifat kualitatif dengan patokan terstruktur, sistematis,
dan masif maka banyak pihak yang kalah akan berperkara dan mencaricari alasan
yang sering tak masuk akal untuk menggugat keputusan KPU yang sudah memenangkan
salah satu pasangan calon dengan benar.
Mungkin untuk pemilukada 2015 solusi yang diberlakukan oleh UU No.
8 Tahun 2015 yang menentukan batas selisih maksimal 2% bisa diberlakukan karena
aturan main tentang ini sudah ditetapkan sebelum pilkada dimulai. Tetapi demi
pembangunan demokrasi yang substantial dan bukan formal-prosedural belaka maka
untuk pemilukada-pemilukada yang akan datang perlu dicari solusi baru.
Ada beberapa hal lain yang juga perlu diperbaiki dalam pilkada –
pilkada berikutnya, misalnya, tentang tampilnya pasangan calon tunggal. MK
sudah memberi solusi yang baik untuk tahun 2015 dengan membolehkan pilkada yang
hanya menampilkan pasangan calon tunggal.
Pembolehan pasangan calon tunggal itu baik tetapi menyembunyikan
masalah besar. Dengan pembolehan tampilnya pasangan calon tunggal bisa saja
pada pilkada mendatang ada ”orang kuat” yang memborong semua parpol dengan
harga tertentu agar mendukung dirinya atau pasangan calon tertentu untuk tampil
sebagai pasangan calon tunggal. Akan sangat berbahaya jika pemborong
parpol-parpol itu adalah koruptor. Dengan membeli dukungan semua parpol
atau sebagian terbesar parpol yang bisa menutup peluang pasangan calon lain
maka bisa muncul calon tunggal yang langsung menang.
Memang kemungkinan ini masih bisa dibantah dengan kemungkinan
munculnya pasangan calon perseorangan. Tetapi faktanya sangat sedikit pasangan
calon perseorangan yang bisa muncul.
Masih banyak dilema dan problema dalam hukum pilkada yang perlu
terus menerus dipikirkan untuk diperbaiki agar pada masa mendatang menjadi
lebih baik. Kita tak perlu merasa risih untuk selalu melakukan perbaikan karena
hukum pilkada kita memang masih berjalan dalam proses eksperimentasi yang belum
selesai. []
KORAN SINDO, 09 Januari 2016
Moh Mahfud MD ; Guru Besar Hukum Konstitusi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar