Pondok Pesantren Modern Darussalam Gontor, Ponorogo – Jawa Timur
Pondok Pesantren, selama berabad-abad, telah menjadi sebuah institusi
pendidikan yang memiliki peran cukup signifikan di Indonesia. Sebagai wadah penggemblengen
generasi muslim, Pondok Pesantren tanpa henti menanamkan akhlaq dan adab, dan
menjadi media transformasi ilmu pengetahuan.
Pondok Modern Darussalam Gontor adalah salah satu Pondok Pesantren yang
turut mewarnai dunia pendidikan Indonesia. Terletak di sebuah desa di Jawa
Timur yang bernama Gontor, Pondok Modern Darussalam Gontor mengerahkan segenap
konsentrasi dan potensinya untuk dunia pendidikan Islam. Hal ini semakin
dipertegas dengan tidak terlibatnya Pondok Modern Darussalam Gontor dalam
politik praktis. Karena Pondok ini tidak berafiliasi kepada partai politik
ataupun organisasi kemasyarakatan apapun, ia dapat secara independen menentukan
langkahnya, sehingga memiliki ruang gerak yang lebih luas dalam pendidikan dan
pengajaran.
"Pondok Modern di atas dan untuk semua golongan." Demikian
prinsip yang dipegang Pondok Modern Darussalam Gontor sejak pertama kali
didirikan. Dengan terbebasnya institusi ini dari muatan politis, pondok ini
dapat lebih memfokuskan diri dalam menunaikan amanat pendidikan dan pengajaran
yang berada di pundaknya. Iklim pendidikan yang lebih tenang dan kondusif pun
tercipta, dengan didasari jiwa keikhlasan dan tanpa dipengaruhi oleh
kepentingan apapun.
Salah satu nikmat yang dianugerahkan oleh Allah Swt. Bahwa instusi
ini, dalam usianya yang ke-84, dapat terus meningkatkan peran dan eksistensinya
dalam mendidik generasi muda muslim yang berkualitas. Para alumninya kini
bergerak dalam berbagai bidang; agama, sosial, kemasyarakatan, dan pemerintahan.
Beberapa di antaranya meneruskan studi di berbagai perguruan tinggi di
Indonesia, maupun di perguruan tinggi di negara-negara Timur Tengah dan Barat.
Peran serta prestasi para alumni inilah yang mengharumkan nama Pondok Modern
Darussalam Gontor sebagai lembaga pendidikan Islam yang disegani di Asia
Tenggara. Dan dengan dukungan mereka pula, pondok ini menjadi kokoh dan teguh
dalam menghadapi pelbagai tantangan dan cobaan.
Latar Belakang
Perjalanan panjang Pondok Modern Darussalam Gontor bermula pada abad ke-18.
Pondok Tegalsari sebagai cikal bakal Pondok Modern Darussalam Gontor didirikan
oleh Kyai Ageng Hasan Bashari. Ribuan santri berduyun-duyun menuntut ilmu di
pondok ini. Saat pondok tersebut dipimpin oleh Kyai Khalifah, terdapat seorang
santri yang sangat menonjol dalam berbagai bidang. Namanya Sulaiman Jamaluddin,
putera Panghulu Jamaluddin dan cucu Pangeran Hadiraja, Sultan Kasepuhan
Cirebon. Ia sangat dekat dengan Kyainya dan Kyai pun sayang padanya. Maka
setelah santri Sultan Jamaluddin dirasa telah memperoleh ilmu yang cukup, ia
dinikahkan dengan putri Kyai dan diberi kepercayaan untuk mendirikan pesantren
sendiri di desa Gontor.
Gontor adalah sebuah tempat yang terletak lebih kurang 3 km sebelah timur
Tegalsari dan 11 km ke arah tenggara dari kota Ponorogo. Pada saat itu, Gontor
masih merupakan kawasan hutan yang belum banyak didatangi orang. Bahkan hutan
ini dikenal sebagai tempat persembunyian para perampok, penjahat, penyamun
bahkan pemabuk.
Dengan bekal awal 40 santri, Pondok Gontor yang didirikan oleh Kyai
Sulaiman Jamaluddin ini terus berkembang dengan pesat, khususnya ketika
dipimpin oleh putera beliau yang bernama Kyai Anom Besari. Ketika Kyai Anom
Besari wafat, Pondok diteruskan oleh generasi ketiga dari pendiri Gontor Lama
dengan pimpinan Kyai Santoso Anom Besari.
Setelah perjalanan panjang tersebut, tibalah masa bagi generasi keempat.
Tiga dari tujuh putra-putri Kyai Santoso Anom Besari menuntut ilmu ke berbagai
lembaga pendidikan dan pesantren, dan kemudian kembali ke Gontor untuk
meningkatkan mutu pendidikan di Pondok Gontor. Mereka adalah;
§ KH. Ahmad Sahal (1901-1977)
§ KH. Zainuddin Fanani (1908-1967)
§ KH. Imam Zarkasyi (1910-1985)
Mereka memperbaharui sistem pendidikan di Gontor dan mendirikan Pondok
Modern Darussalam Gontor pada tanggal 20 September 1926 bertepatan dengan 12
Rabiul Awwal 1345, dalam peringatan Maulid Nabi. Pada saat itu, jenjang
pendidikan dasar dimulai dengan nama Tarbiyatul Athfal. Kemudian, pada
19 Desember 1936 yang bertepatan dengan 5 Syawwal 1355, didirikanlah Kulliyatu-l-Muallimin
al-Islamiyah, yang program pendidikannya diselenggarakan selama enam tahun,
setingkat dengan jenjang pendidikan menengah.
Dalam perjalanannya, sebuah perguruan tinggi bernama Perguruan Tinggi
Darussalam (PTD) didirikan pada 17 November 1963 yang bertepatan dengan 1 Rajab
1383. Nama PTD ini kemudian berganti menjadi Institut Pendidikan Darussalam
(IPD), yang selanjutnya berganti menjadi Institut Studi Islam Darussalam
(ISID). Saat ini ISID memiliki tiga Fakultas: Fakultas Tarbiyah dengan jurusan
Pendidikan Agama Islam dan Pendidikan Bahasa Arab, FakultasUshuluddin dengan
jurusan Perbandingan Agama, dan Akidah dan Filsafat, dan Fakultas Syariah
dengan jurusan Perbandingan Madzhab dan Hukum, dan jurusan Manajemen Lembaga
Keuangan Islam. Sejak tahun 1996 ISID telah memiliki kampus sendiri di
Demangan, Siman, Ponorogo.
Pondok Modern Darussalam Gontor Ponorogo saat ini dipimpin oleh:
§ KH. Dr. Abdullah Syukri Zarkasyi
§ KH. Hasan Abdullah Sahal
§ KH. Syamsul Hadi Abdan
SEJARAH
Pondok Tegalsari
Pada paroh pertama abad ke-18, hiduplah seorang kyai besar bernama Kyai
Ageng Hasan Bashari atau Besari di desa Tegalsari, yaitu sebuah desa terpencil
lebih kurang 10 KM ke arah selatan kota Ponorogo. Di tepi dua buah sungai,
sungai Keyang dan sungai Malo, yang mengapit desa Tegalsari inilah Kyai Besari
mendirikan sebuah pondok yang kemudian dikenal dengan sebutan Pondok Tegalsari.
Dalam sejarahnya, Pondok Tegalsari pernah mengalami zaman keemasan berkat
kealiman, kharisma, dan kepiawaian para kyai yang mengasuhnya. Ribuan santri
berduyun-duyun menuntut ilmu di Pondok ini. Mereka berasal dari hampir seluruh
tanah Jawa dan sekitarnya. Karena besarnya jumlah santri, seluruh desa menjadi
pondok, bahkan pondokan para santri juga didirikan di desa-desa sekitar,
misalnya desa Jabung (Nglawu), desa Bantengan, dan lain-lain.
Jumlah santri yang begitu besar dan berasal dari berbagai daerah dan
berbagai latar belakang itu menunjukkan kebesaran lembaga pendidikan ini.
Alumni Pondok ini banyak yang menjadi orang besar dan berjasa kepada bangsa
Indonesia. Di antara mereka ada yang menjadi kyai, ulama, tokoh masyarakat,
pejabat pemerintah, negarawan, pengusaha, dll. Sekadar menyebut sebagai contoh
adalah Paku Buana II atau Sunan Kumbul, penguasa Kerajaan Kartasura; Raden
Ngabehi Ronggowarsito (wafat 1803), seorang Pujangga Jawa yang masyhur; dan
tokoh Pergerakan Nasional H.O.S. Cokroaminoto (wafat 17 Desember 1934).
Dalam Babad Perdikan Tegalsari diceritakan tentang latar belakang Paku
Buana II nyantri di Pondok Tegalsari. Pada suatu hari, tepatnya tanggal 30 Juni
1742, di Kerajaan Kartasura terjadi pemberontakan Cina yang dipimpin oleh Raden
Mas Garendi Susuhuhan Kuning, seorang Sunan keturunan Tionghoa. Serbuan yang
dilakukan oleh para pemberontak itu terjadi begitu cepat dan hebat sehingga
Kartasura tidak siap menghadapinya. Karena itu Paku Buana II bersama
pengikutnya segera pergi dengan diam-diam meninggalkan Keraton menuju ke timur
Gunung Lawu. Dalam pelariannya itu dia sampai di desa Tegalsari. Di tengah
kekhawatiran dan ketakutan dari kejaran pasukan Sunan Kuning itulah kemudian
Paku Buana II berserah diri kepada Kanjeng Kyai Hasan Besari. Penguasa
Kartasura ini selanjutnya menjadi santri dari Kyai wara` itu; dia ditempa dan
dibimbing untuk selalu bertafakkur dan bermunajat kepada Allah, Penguasa dari
segala penguasa di semesta alam.
Berkat keuletan dan kesungguhannya dalam beribadah dan berdoa serta berkat
keikhlasan bimbingan dan doa Kyai Besari, Allah SWT mengabulkan doa Paku Buana
II. Api pemberontakan akhirnya reda. Paku Buana II kembali menduduki tahtanya.
Sebagai balas budi, Sunan Paku Buana II mengambil Kyai Hasan Besari menjadi
menantunya. Sejak itu nama Kyai yang alim ini dikenal dengan sebutan Yang Mulia
Kanjeng Kyai Hasan Bashari (Besari). Sejak itu pula desa Tegalsari menjadi desa
merdeka atau perdikan, yaitu desa istimewa yang bebas dari segala kewajiban
membayar pajak kepada kerajaan.
Setelah Kyai Ageng Hasan Bashari wafat, beliau digantikan oleh putra
ketujuh beliau yang bernama Kyai Hasan Yahya. Seterusnya Kyai Hasan Yahya
digantikan oleh Kyai Bagus Hasan Bashari II yang kemudian digantikan oleh Kyai
Hasan Anom. Demikianlah Pesantren Tegalsari hidup dan berkembang dari generasi
ke generasi, dari pengasuh satu ke pengasuh lain. Tetapi, pada pertengahan abad
ke-19 atau pada generasi keempat keluarga Kyai Bashari, Pesantren Tegalsari
mulai surut.
Alkisah, pada masa kepemimpinan Kyai Khalifah, terdapat seorang santri yang
sangat menonjol dalam berbagai bidang. Namanya Sulaiman Jamaluddin, putera
Panghulu Jamaluddin dan cucu Pangeran Hadiraja, Sultan Kasepuhan Cirebon. Ia
sangat dekat dengan Kyainya dan Kyai pun sayang kepadanya. Maka setelah santri
Sulaiman Jamaluddin dirasa telah memperoleh ilmu yang cukup, ia diambil menantu
oleh Kyai dan jadilah ia Kyai muda yang sering dipercaya menggantikan Kyai
untuk memimpin pesantren saat beliau berhalangan. Bahkan sang Kyai akhirnya
memberikan kepercayaan kepada santri dan menantunya ini untuk mendirikan
pesantren sendiri di desa Gontor.
Pondok Gontor Lama
Gontor adalah sebuah desa yang terletak lebih kurang 3 KM sebelah timur
Tegalsari dan 11 KM ke arah tenggara dari kota Ponorogo. Pada saat itu Gontor
masih merupakan kawasan hutan yang belum banyak didatangi orang. Bahkan hutan
ini dikenal sebagai tempat persembunyian para perampok, penjahat, penyamun,
pemabuk, dan sebagainya.
Di tempat inilah Kyai muda Sulaiman Jamaluddin diberi amanat oleh mertuanya
untuk merintis pondok pesantren seperti Tegalsari. Dengan 40 santri yang
dibekalkan oleh Kyai Khalifah kepadanya, maka berangkatlah rombongan tersebut
menuju desa Gontor untuk mendirikan Pondok Gontor.
Pondok Gontor yang didirikan oleh Kyai Sulaiman Jamaluddin ini terus
berkembang dengan pesat, khususnya ketika dipimpin oleh putera beliau yang bernama
Kyai Archam Anom Besari. Santri-santrinya berdatangan dari berbagai daerah di
Jawa, konon banyak juga santri yang datang dari daerah Pasundan Jawa Barat.
Setelah Kyai Archam wafat, pondok dilanjutkan oleh putera beliau bernama
Santoso Anom Besari. Kyai Santoso adalah generasi ketiga dari pendiri Gontor
Lama. Pada kepemimpinan generasi ketiga ini Gontor Lama mulai surut; kegiatan
pendidikan dan pengajaran di pesantren mulai memudar. Di antara sebab
kemundurannya adalah karena kurangnya perhatian terhadap kaderisasi.
Jumlah santri hanya tinggal sedikit dan mereka belajar di sebuah masjid
kecil yang tidak lagi ramai seperti waktu-waktu sebelumnya. Walaupun Pondok
Gontor sudah tidak lagi maju sebagaimana pada zaman ayah dan neneknya, Kyai
Santoso tetap bertekad menegakkan agama di desa Gontor. Ia tetap menjadi figur
dan tokoh rujukan dalam berbagai persoalan keagamaan dan kemasyarakatan di desa
Gontor dan sekitarnya. Dalam usia yang belum begitu lanjut, Kyai Santoso
dipanggil Allah SWT. Dengan wafatnya Kyai Santoso ini, masa kejayaan Pondok
Gontor Lama benar-benar sirna. Saudara-saudara Kyai Santoso tidak ada lagi yang
sanggup menggantikannya untuk mempertahankan keberadaan Pondok. Yang tinggal
hanyalah janda Kyai Santoso beserta tujuh putera dan puterinya dengan
peninggalan sebuah rumah sederhana dan Masjid tua warisan nenek moyangnya.
Tetapi rupanya Nyai Santoso tidak hendak melihat Pondok Gontor pupus dan
lenyap ditelan sejarah. Ia bekerja keras mendidik putera-puterinya agar dapat
meneruskan perjuangan nenek moyangnya, yaitu menghidupkan kembali Gontor yang
telah mati. Ibu Nyai Santoso itupun kemudian memasukkan tiga puteranya ke
beberapa pesantren dan lembaga pendidikan lain untuk memperdalam agama. Mereka
adalah Ahmad Sahal (anak kelima), Zainuddin Fannani (anak keenam), dan Imam
Zarkasyi (anak bungsu). Sayangnya, Ibu yang berhati mulia ini tidak pernah
menyaksikan kebangkitan kembali Gontor di tangan ketiga puteranya itu. Beliau wafat
saat ketiga puteranya masih dalam masa belajar.
Sepeninggal Kyai Santoso Anom Besari dan seiring dengan runtuhnya kejayaan
Pondok Gontor Lama, masyarakat desa Gontor dan sekitarnya yang sebelumnya taat
beragama tampak mulai kehilangan pegangan. Mereka berubah menjadi masyarakat
yang meninggalkan agama dan bahkan anti agama. Kehidupan mo-limo: maling
(mencuri), madon (main perempuan), madat (menghisap seret), mabuk, dan main
(berjudi) telah menjadi kebiasaan sehari-hari. Ini ditambah lagi dengan mewabahnya
tradisi gemblakan di kalangan para warok.
Demikianlah suasana dan tradisi kehidupan masyarakat Gontor dan sekitarnya
setelah pudarnya masa kejayaan Pondok Gontor Lama.
Berdirinya Pondok Gontor
Ketiga putera Ibu Nyai Santoso yang dikirimkan ke beberapa lembaga
pendidikan terus memperdalam ilmu. Ibu Nyai Santoso tidak pernah berhenti
berdoa kepada Allah SWT agar ketiga puteranya itu kelak dapat menghidupkan
kembali Pondok Gontor Lama yang telah runtuh itu. Berkat pendidikan,
pengarahan, dan do’a yang tulus dan ikhlas dari sang Ibu serta kesungguhan
ketiga puteranya itu, akhirnya Allah SWT membuka hati ketiga putera itu untuk
menghidupkan kembali pondok pesantren yang telah mati itu.
Pada tanggal 20 September 1926 bertepatan dengan 12 Rabi’ul Awwal 1345, di
dalam peringatan Maulid Nabi, di hadapan masyarakat yang hadir pada kesempatan
itu, dideklarasikan pembukaan kembali Pondok Gontor.
Pembukaan Tarbiyatul Athfal, 1926
Langkah pertama untuk menghidupkan kembali Pondok Gontor adalah dengan
membuka Tarbiyatul Athfal (T.A.); suatu program pendidikan anak-anak untuk
masyarakat Gontor. Materi, prasarana, dan sarana pendidikannya sangat
sederhana. Semuanya dilakukan dengan modal seadanya. Tetapi dengan kesungguhan,
keuletan, kesabaran, dan keikhlasan pengasuh Gontor Baru, usaha ini telah dapat
membangkitkan kembali semangat belajar masyarakat desa Gontor. Program inipun
pada berikutnya tidak hanya diikuti oleh anak-anak, orang dewasa juga ikut
belajar di tempat ini. Peserta didiknya juga tidak terbatas pada masyarakat
desa Gontor, tetapi juga masyarakat desa sekitar.
Para santri T.A. itu dididik langsung oleh Pak Sahal (panggilan populer
untuk K.H. Ahmad Sahal). Dengan beralaskan tikar dan daun kelapa, pendidikan
dilangsungkan pada siang dan malam. Pada siang hari mereka belajar di bawah
pepohonan di alam terbuka, sedangkan pada malam hari mereka belajar diterangi
oleh lampu batok (tempurung kelapa).
Berkat kegigihan dan keuletan beliau, pada tiga tahun pertama para santri
yang belajar di Pondok Gontor telah mencapai jumlah 300. Mereka belajar tanpa
dipungut biaya apapun. Bahkan tidak jarang pengasuh Pondok yang memenuhi
keperluan sehari-hari mereka. Pada prinsipnya, tujuan utama pembelajaran di
Tarbiyatul Athfal adalah penyadaran siswa terhadap pemahaman dan pelaksanaan
ajaran agama.
Pada usia tujuh tahun, siswa T.A. telah mencapai 500 orang putra dan putri.
Fasilitas belajar-mengajar belum mencukupi sehingga mereka belajar di
rumah-rumah penduduk dan sebagian masih di alam terbuka di bawah pepohonan.
Tekad membuat bangunan untuk ruang kelas semakin menguat, tetapi dana tidak
ada, karena selama sepuluh tahun pertama siswa tidak dipungut bayaran apapun.
Untuk memenuhi kebutuhan dana pembangunan dibentuklah "Anshar
Gontor", yaitu orang-orang yang bertugas mencari dana di seluruh wilayah
Jawa. Selain itu para santri di dalam Pondok juga dilibatkan dalam pembuatan
batu merah.
Tarbiyatul Athfal terus berkembang seiring dengan meningkatnya minat
masyarakat untuk belajar. Karena itu, setelah berjalan beberapa tahun,
didirikanlah cabang-cabang Tarbiyatul Athfal di desa-desa sekitar Gontor.
Madrasah-madrasah Tarbiyatul Athfal di desa-desa sekitar Gontor itu ditangani
oleh para kader yang telah disiapkan secara khusus melalui kursus pengkaderan.
Di samping membantu pendirian madrasah-madrasah TA tersebut, mutu TA di Gontor
juga ditingkatkan agar para lulusannya memiliki kemampuan yang memadai untuk
ikut berkiprah membina beberapa TA cabang yang ada. Untuk itu dibukalah jenjang
pendidikan di atas TA yang diberi nama Sullamul Muta’allimin.
Pembukaan Sullamu-l-Muta'allimin, 1932
Dengan semakin banyaknya siswa yang menyelesaikan pendidikan di TA dan
adanya minat yang tinggi dari masyarakat untuk memperoleh pendidikan lebih
lanjut, pada tahun 1932 Pengasuh Pondok Gontor membuka program lanjutan dari
Tarbiyatul Athfal yang diberi nama "Sullamul Muta’allimin".
Pada tingkatan ini para santri diajari secara lebih dalam dan luas
pelajaran fikih, hadis, tafsir, terjemah al-Qur’an, cara berpidato, cara
membahas suatu persoalan, juga diberi sedikit bekal untuk menjadi guru berupa
ilmu jiwa dan ilmu pendidikan. Di samping itu mereka juga diajari ketrampilan,
kesenian, olahraga, gerakan kepanduan, dan lain-lain. Kegiatan ekstra kurikuler
mendapat perhatian luar biasa dari pengasuh Pondok, sehingga setelah tiga tahun
berdirinya Sullamul Muta’allimin telah berdiri pula berbagai gerakan dan
barisan pemuda, antara lain:
§ Tarbiyatul Ikhwan (Organisasi Pemuda)
§ Tarbiyatul Mar’ah (Organisasi Pemudi)
§ Muballighin (Organisasi Juru Dakwah)
§ Bintang Islam (Gerakan Kepanduan)
§ Ri-Ba-Ta, yaitu Riyadlatul Badaniyah Tarbiyatul Athfal
(Organisasi Olahraga)
§ Miftahussa’adah dengan "Mardi Kasampurnaan".
§ Klub Seni Suara, dan
§ Klub Teater.
Usaha Pengasuh Pondok untuk membangkitkan gairah masyarakat Gontor dan
sekitarnya sudah tampak membuahkan hasil. Madrasah-madrasah yang menjadi cabang
TA sudah banyak berdiri di desa-desa sekitar Gontor. Para murid dan alumni TA
dan Sullamul Muta’allimin Gontor menjadi tulang punggung dari berlangsungnya
proses belajar mengajar di madrasah-madrasah itu. Mengingat banyak madrasah
Tarbiyatul Athfal yang telah dibuka, maka dibentuklah sebuah wadah yang
menggabungkan seluruh TA itu, yaitu Taman Perguruan Islam (TPI) yang dipimpin
langsung oleh Pak Sahal. Menjelang usia 10 tahun pembukaan kembali Gontor, TPI
telah mempunyai murid lebih dari 1000.
Pembukaan Kulliyyatu-l-Mu'allimin Al-Islamiyyah, 1936
Pondok Gontor yang telah dibuka kembali terus berkembang. Kehadiran TA telah
membawa angin segar yang menggugah minat belajar masyarakat. Program pendidikan
di TA pun berkembang. Jika pada awalnya TA hanya bermula dengan mengumpulkan
anak-anak desa dan mengajari mereka mandi dan membersihkan diri serta cara
berpakaian untuk menutupi aurat mereka, maka dalam satu dasawarsa kemudian
lembaga ini telah berhasil mencetak para kader Islam dan muballigh di tingkat
desa yang tersebar di sekitar Gontor. Melalui mereka nama Gontor menjadi lebih
dikenal masyarakat.
Perkembangan tersebut cukup menggembirakan hati pengasuh pesantren yang
baru dibuka kembali ini. Banyak sekali yang perlu disyukuri. Terlebih lagi
setelah K.H. Imam Zarkasyi kembali dari belajarnya di berbagai pesantren dan
lembaga pendidikan di Jawa dan Sumatra pada tahun 1935. Beliau mulai ikut
membenahi pendidikan di Pondok Gontor Baru ini. Kesyukuran tersebut ditandai
dengan Peringatan atau "Kesyukuran 10 Tahun Pondok Gontor". Acara
kesyukuran dan peringatan menjadi semakin sempurna dengan diikrarkannya
pembukaan program pendidikan baru tingkat menengah pertama dan menengah atas
yang dinamakan Kulliyatul Mu’allimin al-Islamiyyah (KMI) atau Sekolah Guru
Islam pada tanggal 19 Desember 1936. Program pendidikan baru ini ditangani oleh
K.H. Imam Zarkasyi, yang sebelumnya pernah memimpin sekolah serupa tetapi untuk
perempuan, yaitu Mu’allimat Muhammadiyah di Padang Sidempuan, Sumatra Utara.
Dalam peringatan 10 tahun ini pula tercetus nama baru untuk Pondok Gontor
yang dihidupkan kembali ini, yaitu Pondok Modern Darussalam Gontor. Nama ini
merupakan sebutan masyarakat yang kemudian melekat pada Pondok Gontor yang nama
aslinya Darussalam, artinya Kampung Damai.
Kulliyatul Mu’allimin al-Islamiyyah (KMI) adalah Sekolah Pendidikan Guru
Islam yang modelnya hampir sama dengan Sekolah Noormal Islam di Padang Panjang;
di mana Pak Zar menempuh jenjang pendidikan menengahnya. Model ini kemudian
dipadukan dengan model pendidikan pondok pesantren. Pelajaran agama, seperti
yang diajarkan di beberapa pesantren pada umumnya, diajarkan di kelas-kelas.
Namun pada saat yang sama para santri tinggal di dalam asrama dengan
mempertahankan suasana dan jiwa kehidupan pesantren. Proses pendidikan
berlangsung selama 24 jam. Pelajaran agama dan umum diberikan secara seimbang
dalam jangka 6 tahun. Pendidikan ketrampilan, kesenian, olahraga, organisasi,
dan lain-lain merupakan bagian dari kegiatan kehidupan santri di Pondok.
Pada tahun pertama pembukaan program ini, sambutan masyarakat belum
memuaskan. Bahkan tidak sedikit kritik dan ejekan yang dialamatkan kepada
program baru yang diterapkan oleh Gontor. Sistem pendidikan semacam yang
diterapkan oleh Gontor tersebut memang masih sangat asing. Sistem belajar
secara klasikal, penggunaan kitab-kitab tertentu yang tidak umum dipakai di
pesantren, pemberian pelajaran umum, guru dan santri memakai celana panjang dan
dasi. Demikian juga pemakaian Bahasa Arab, Bahasa Inggris, dan bahkan juga
Bahasa Belanda, ketika itu masih dianggap tabu. Sebab Bahasa Arab adalah bahasa
Islam sedangkan Bahasa Inggris dan Bahasa Belanda adalah bahasa orang kafir.
Masih asingnya sistem pendidikan baru ini menyebabkan merosotnya jumlah
santri Gontor saat itu. Santri Gontor yang sebelumnya berjumlah ratusan kini
hanya tinggal 16 orang. Keadaan ini tidak mematahkan semangat Pak Sahal dan Pak
Zar. Dalam keadaan demikian Pak Zar bertekad dan berucap: "Biarpun tinggal
satu saja dari yang 16 orang ini, program akan tetap akan kami jalankan sampai
selesai, namun yang satu itulah nantinya yang akan mewujudkan 10…100 hingga
1000 orang." Bahkan suatu saat Pak Zar pernah berujar: "Seandainya
saya tidak berhasil mengajar dengan cara ini, saya akan mengajar dengan
pena." Pak Sahal juga tanpa ragu-ragu berdoa: "Ya Allah, kalau
sekiranya saya akan melihat bangkai Pondok saya ini, panggillah saya lebih
dahulu kehadirat-Mu untuk mempertanggung jawabkan urusan ini."
Allah rupanya mendengar doa dan tekad kakak-beradik itu. Pada tahun kedua,
mulai datang para santri dari Kalimantan, Sumatra, dan dari berbagai pelosok
tanah Jawa. Gontor mulai ramai oleh kehadiran para santri yang semakin banyak.
Akhirnya, setelah tiga tahun berjalan, Pondok Gontor dibanjiri oleh para
santri dari berbagai kota dan pulau dengan tingkat pengetahuan yang
berbeda-beda. Ada yang sudah baik pengetahuan agamanya tetapi lemah dalam
pengetahuan umum dan ada pula yang sebaliknya. Untuk mengatasi persoalan ini
dibukalah kelas khusus untuk menampung mereka, yaitu Voorklas atau Kelas
Pendahuluan.
Setelah perjalanan tiga tahun, pelajaran sudah harus ditingkatkan, maka
dibukalah tingkatan yang lebih tinggi bernama Bovenbow. Jumlah santri yang
semakin banyak dan pembukaan kelas baru ini menimbulkan persoalan baru, yaitu
terbatasnya jumlah guru. Dalam kondisi demikian ini tidak jarang Pak Zar mengajar
2 kelas dalam satu jam pelajaran. Namun pada tahun kelima datanglah seorang
guru muda bernama R. Muin yang cakap berbahasa Belanda. R. Muin ini kemudian
diserahi mengajar Bahasa Belanda untuk murid-murid kelas I tingkat atas, atau
kelas IV.
Setelah berjalan 5 tahun, pengembangan tingkatan pendidikan di KMI menjadi
sebagai berikut :
a. Program Onderbow, lama belajar 3 tahun.
b. Program Bovenbow, lama belajar 2 tahun.
Kepemimpinan Generasi Pertama
Terciptanya "Hymne Oh Pondokku" dan Peringatan 15 Tahun
Tahun ke-5 berdirinya KMI merupakan tahun bersejarah bagi Pondok Modern
Darussalam Gontor dengan terciptanya "Hymne Oh Pondokku." Lagu hymne
ini diciptakan R. Mu’in dan liriknya diciptakan Husnul Haq, keduanya guru KMI.
Pada tanggal 1-10 Januari 1942, Pondok Modern Darussalam Gontor mengadakan
Peringatan 15 Tahun Berdirinya Pondok yang disebut Fijftien Jarige Jubelium.
Tujuan peringatan ini adalah mensyukuri segala kemajuan yang telah dicapai.
Semula Peringatan ini akan diadakan tahun 1941, tetapi karena situasi tidak
aman dengan pecahnya Perang Dunia II, Peringatan tersebut diundur hingga tahun
1942.
Masa Penjajahan Jepang
Dengan berkecamuknya perang Belanda-Jepang untuk memperebutkan Indonesia,
terputuslah jalur komunikasi luar Jawa dengan Jawa. Akibatnya santri Gontor
yang berasal dari luar Jawa tidak mendapatkan kiriman dari orang tua mereka.
Untuk memenuhi kebutuhan mereka sehari-hari, Pengasuh dan Direktur menjual
kekayaan pribadi mereka. Usaha inipun masih belum bisa mencukupi kebutuhan
makan sehari-hari santri, maka didirikanlah Dapur Umum dan dibentuk pengurusnya
yang disebut UPPIPOM (Usaha Penolong Pelajar Islam Pondok Modern) yang bertugas
mencari dana bagi kepentingan para santri.
Tahun 1943/1944 dengan propaganda perang suci "Perang Asia Timur
Raya", Jepang mewajibkan pemuda ikut perang, maka sekolah-sekolah harus
ditutup, termasuk KMI Pondok Modern Darussalam Gontor. Namun lembaga pendidikan
yang bernama pondok pesantren dibiarkan tetap hidup. Karena itu pembelajaran di
KMI dilaksanakan di dalam kamar para santri secara sembunyi-sembunyi. Dengan
cara demikian Pondok Modern Darussalam Gontor tidak dikategorikan sebagai
sekolah, sehingga tidak wajib ditutup.
Perang Merebut Kemerdekaan dan Pemberontakan PKI 1948
Pada saat perang merebut kemerdekaan negeri ini, santri Gontor banyak yang
terlibat. Mereka masuk dalam pasukan Hizbullah dan Sabilillah. Setelah perang
agak reda, 1946, Presiden Pertama Republik Indonesia, Ir. Soekarno, berkunjung
ke Pondok Modern Darussalam Gontor. Saat itu jumlah santri Gontor tinggal
belasan saja.
Setelah kacau akibat peperangan, program KMI mulai ditata kembali. Pada
1947 organisasi pelajar Roudlatul Muta’llimin dilebur dan diganti dengan PII
(Pelajar Islam Indonesia) yang saat itu baru berusia 3 bulan. PII dipilih
karena ia tidak berafiliasi kepada satu parpol atau golongan tertentu, sesuai
dengan prinsip Gontor Berdiri di atas dan untuk semua golongan.
Tahun 1948 Pondok Modern Darussalam Gontor diguncang oleh pemberontakan PKI
pimpinan Muso yang dikenal dengan sebutan “Madiun Affair”. Pada saat itu Pondok
terpaksa dikosongkan. Sejumlah 200 santri secara bergelombang meninggalkan
Pondok untuk menyusun taktik perlawanan dan gelombang terakhir diikuti oleh
pengasuh dan direktur mereka. Pada 19 Desember 1948 Belanda kembali menyerang
Indonesia. Pondok lagi-lagi terpaksa ditinggalkan para santrinya untuk ikut
bergerilya mengangkat senjata bergabung dengan Corp Pelajar.
Pembentukan IKPM
Jumlah alumni KMI Pondok Modern Darussalam Gontor mulai banyak, mereka
tersebar di masyarakat dan bergerak dalam berbagai bidang kegiatan. Para alumni
itu kemudian dihimpun dalam suatu wadah persaudaraan yang disebut Ikatan
Keluarga Pondok Modern (IKPM). Organisasi alumni Gontor ini lahir tanggal 17
Desember 1949 di tengah berlangsungnya Kongres Muslimin Indonesia di
Yogyakarta. Pengikraran secara resmi IKPM dilakukan pada Peringatan Seperempat
Abad Pondok Modern, 29 Oktober 1951.
Peringatan Seperempat Abad
Peringatan Seperembat Abad Pondok (27 Oktober – 4 November 1951)
dilaksanakan secara meriah dengan rentetan acara bermacam-macam. Pada pembukaan
acara tersebut Pak Sahal menyampaikan sambutan di antaranya berisi ikrar bahwa
Pondok Modern Darussalam Gontor adalah Milik Ummat Islam Seluruh Dunia, karena
itu maju mundurnya Pondok diserahkan kepada ummat Islam.
Peringatan Empat Windu dan Pewakafan Pondok
Momen bersejarah bagi terwujudnya niat mewakafkan Pondok kepada Ummat Islam
terjadi pada Peringatan Empat Windu Pondok Modern Darussalam Gontor, 11-17
Oktober 1958. Pada saat itu, 12 Oktober 1958, Trimurti (K.H. Ahmad Sahal, K.H.
Zainuddin Fannani, dan K.H. Imam Zarkarsyi) sebagai pendiri Pondok mewakafkan
Pondok Modern Darussalam Gontor kepada IKPM yang diwakili oleh 15 orang. Wakaf
Pondok Modern Darussalam Gontor ketika itu terdiri dari tanah kering seluas
1,740 ha (Kampus Pondok), tanah basah seluas 16,851 ha, dan gedung sebanyak 12
buah; Masjid, Madrasah, Indonesia I, Indonesia II, Indonesia III, Tunis, Gedung
Baru, Abadi, Asia Baru, PSA, BPPM, dan Darul Kutub.
Pembentukan YPPWPM
Untuk memelihara dan mengembangkan kekayaan yang diwakafkan ini dan untuk
menangani berbagai persoalan berkaitan dengan pendanaan Pondok Modern,
didirikanlah Yayasan Pemeliharaan dan Perluasan Wakaf Pondok Modern (YPPWPM),
tanggal 18 Maret 1959.
Pembukaan Perguruan Tinggi Pesantren
Setelah seperempat abad KMI berdiri dibukalah Perguruan Tinggi di Gontor
dengan nama Perguruan Tinggi Darussalam (PTD), tanggal 17 Nopember 1963. Nama
PTD ini kemudian berganti menjadi Institut Pendidikan Darussalam (IPD) yang
selanjutnya berganti menjadi Institut Studi Islam Darussalam (ISID). Saat ISID
memiliki tiga Fakultas: Fakultas Tarbiyah dengan jurusan Pendidikan Agama Islam
dan Pengajaran Bahasa Arab, Fakultas Ushuluddin dengan jurusan Perbandingan
Agama dan Akidah dan Pemikiran Islam (Filsafat), dan Fakultas Syariah dengan
jurusan Perbandingan Madzhab dan Hukum dan jurusan Ekonomi Islam. Sejak tahun
1996 ISID telah memiliki kampus tersendiri di Demangan, Siman, Ponorogo.
Peringatan Lima Windu dan Peristiwa Sembilan Belas Maret
Pada Tahun 1967 diadakan Peringatan Lima Windu Pondok Modern Darussalam
Gontor. Di antara acara penting dalam peringatan ini adalah wisuda perdana
sarjana PerguruanTinggi Darussalam. Pada tahun ini juga terjadi tragedi yang
disebut Persemar (Peristiwa Sembilan belas Maret). Sekelompok guru dan santri
yang terprovokasi berusaha mengubah haluan Pondok dengan ide yang mereka sebut
sendiri sebagai ide gila. Mereka berniat membunuh dan menyingkirkan pendiri dan
sekaligus Pimpinan Pondok, kemudian memilih pimpinan yang mereka kehendaki dari
para tokoh pembuat makar itu. Rupanya Allah tidak meridhoi usaha mereka dan
mereka pun gagal.
Persemar tampaknya menjadi pupuk bagi perjalanan sejarah Pondok kemudian.
Setelah peristiwa itu Pondok berkembang dengan pesat dan minat masyarakat untuk
belajar di Gontor semakin tinggi.
Kesyukuran Setengah Abad dan Peresmian Masjid Jami’
Pesatnya perkembangan Pondok ini kemudian disyukuri dengan Perayaan Kesyukuran
Setangah Abad, berlangsung tanggal 2-4 Maret 1978. Acara ini dihadiri oleh
Presiden R.I. Soeharto yang sekaligus meresmikan Masji Jami’ Pondok.
Trimurti Wafat
Tahun 1967 K.H. Zainuddin Fanani, salah seorang dari Trimurti Pendiri
Pondok wafat. Kemudian disusul oleh K.H. Ahmad Sahal yang wafat tahun 1977.
Delapan tahun berikutnya, 1985, K.H. Imam Zarkasyi pun pergi menghadap Ilahi
menyusul kedua kakaknya. Sepeninggal Trimurti tongkat estafet kepemimpinan
Pondok Modern Darussalam Gontor diserahkan kepada generasi kedua.
Kepemimpinan Generasi Kedua
DALAM sidang pertamanya, sepeninggal Trimurti, Badan Wakaf Pondok Modern
Darussalam Gontor menetapkan tiga Pimpinan Pondok untuk memimpin Gontor paska
Trimurti. Ketiga Pimpinan itu adalah K.H. Shoiman Luqmanul Hakim, K.H. Abdullah
Syukri Zarkasyi, MA., dan K.H. Hasan Abdullah Sahal. Untuk menangani KMI, Badan
Wakaf menetapkan K.H. Imam Badri sebagai Direktur KMI. Awal kepemimpinan Generasi
Kedua diliputi oleh kekhawatiran dan keraguan akan nasib Pondok Modern
Darussalam Gontor sepeninggal Generasi Pertama.
Tetapi berkat tekad yang bulat, niat yang mantap, dan perjuangan yang tak
kenal menyerah; dengan semboyan "Labuh bondo, bahu, pikir, lek perlu sak
nyawane" serta tawakkal kepada Allah SWT; Generasi Kedua berhasil melalui
segala ujian dan rintangan untuk mempertahankan, mengembangkan, dan memajukan
Pondok Modern Darussalam Gontor. Banyak kemajuan yang telah dicapai oleh
Pimpinan Pondok dari Generasi Kedua ini; baik fisik maupun non fisik.
Pembentukan PLMPM
Salah satu orientasi pendidikan di Pondok Modern Darussalam Gontor adalah
kemasyarakatan. Para santri dicetak untuk menjadi pejuang Islam yang mandiri di
masyarakat. Kenyataannya, perkembangan iptek dan meluasnya informasi di segala
sektor kehidupan menimbulkan perubahan sosial yang cepat di masyarakat,
sehingga menimbulkan jarak antara kesiapan individu santri dengan tuntutan
lingkungannya. Perkembangan dan perubahan zaman ini telah diantisipasi oleh
Pondok melalui berbagai cara dan program. Di antaranya adalah dengan mendirikan
Pusat Latihan Menejemen dan Pengembangan Masyarakat (PLMPM), tahun 1988, yang
dirancang khusus bagi alumni KMI dan ISID yang memang betul-betul akan terjun langsung
ke masyarakat. Di lembaga ini para alumni itu diberi bekal tambahan untuk
menyempurnakan dan mempercepat karya mereka di masyarakat. 2. Pembukaan
Pesantren Putri.
Di antara wujud kemajuan yang dicapai Generasi Kedua adalah keberhasilannya
merealisasikan amanat Trimurti dan melaksanakan Keputusan Badan Wakaf untuk
mendirikan Pesantren Putri. Pesantren yang didirikan di Sambirejo, Mantingan,
Ngawi, Jawa Timur ini dibuka secara resmi tanggal 31 Mei 1990 oleh Menteri
Agama R.I. Munawwir Syadzali dengan didampingi oleh Duta Besar Mesir untuk
Indonesia.
Peringatan Delapan Windu
Perkembangan dan kemajuan ini kemudian disyukuri dengan mengadakan
Peringatan Delapan Windu yang berlangsung tanggal 3 Juni-20 Juli 1991. Acara
ini dimeriahkan dengan berbagai kegiatan dan dihadiri oleh tokoh-tokoh
masyarakat, tokoh-tokoh agama, para cendekiawan dan akademisi, para kyai
pimpinan pondok pesantren, para pejabat tinggi pemerintah baik sipil maupun
militer, dan para duta besar perwakilan negara-negara sahabat. Hampir seluruh
pimpinan Ormas Islam ikut hadir dalam acara ini, dan pada acara puncak
Peringatan ini dihadiri oleh Wakil Presiden RI Sudharmono, S.H. beserta
rombongan.
Peringatan 70 Tahun
Enam tahun kemudian, 1997, Pondok menyelenggarakan Peringatan 70 Tahun. Acara
ini berlangsung sukses meskipun tidak semeriah Peringatan Delapan Windu. Puncak
acara ini dihadiri oleh Wakil Presiden RI Try Sutrisno beserta beberapa pejabat
tinggi negara lainnya.
Pendirian Pondok-Pondok Cabang
Mengingat tingginya animo masyarakat untuk memasukkan anaknya di Gontor dan
keterbatasan fasilitas yang tersedia di Kampus Pondok Modern Darussalam Gontor
serta untuk memberikan bekal yang lebih baik kepada para calon santri yang
ingin masuk di Pondok Modern Darussalam Gontor, dibukalah cabang-cabang Gontor
di beberapa tempat: Pondok Modern Gontor 2, di Madusari, Siman, Ponorogo, tahun
1996; Pondok Modern Gontor 3 "Darul Ma'rifat" di Sumbercangkring,
Gurah, Kediri, tahun 1993; Pondok Modern Gontor 4, yaitu Pesantren Putri Gontor
di Sambirejo, Mantingan, Ngawi, tahun 1990; Pondok Modern Gontor 5 "Darul
Muttaqin" di Kaligung, Rogojampi, Banyuwangi, tahun 1990; Pondok Modern
Gontor 6 "Darul Qiyam" di Gadingsari, Mangunsari, Sawangan, Magelang,
tahun 1999; dan Pondok Modern Gontor 7 “Riyadlatul Mujahidin”, di Podahua,
Landono, Sulawesi Tenggara, tahun 2002; Pondok Modern Gontor 8 dan Pondok
Modern Darussalam Gontor 9 di Lampung; serta Pondok Modern Gontor 10
"Darul Amin"di Aceh Di samping itu juga dibu Pondok Modern Gontor
Putri 2 pada tahun 1997 dan Pondok Modern Gontor Putri 3 pada tahun 2002,
menyusul berikutnya Pondok Modern Gontor Putri 4 di Kendari dan Pondok Modern
Gontor Putri 5 di Kandangan, Kediri.
Estefet Kepemimpinan Pada Generasi Kedua
Pada awal tahun 1999, suasana duka menyelimuti Pondok Modern Darussalam
Gontor; K.H. Shoiman Luqmanul Hakim, salah seorang Pimpinan Pondok, pulang ke
rahmatullah. Untuk menggantikan posisi beliau sebagai Pimpinan Pondok, Badan
Wakaf menunjuk K.H. Imam Badri.
Pendirian Gontor 6 Darul Qiyam Magelang
Pondok Modern Darussalam Gontor mendapat wakaf tanah 2,3 hektar beserta 1
masjid dan 1 Unit rumah dari Hj. Qayyumi, istri dari bapak KH. Kafrawi Ridwan,
MA, di dusun Gadingsari desa Mangunsari kecamatan Sawangan kabupaten Magelang.
Berdasarkan keputusan Badan Wakaf yang ke-46, didirikanlah Gontor VI di atas
lokasi tanah wakaf tersebut. Pada tanggal 22 Februari 2000, dibuka secara resmi
Kulliyatul Mu'allimin Al-Islamiyah "Darul Qiyam" Magelang oleh DIRJEN
BIMBAGA ISLAM DEPAG RI, Dr. H. Marwan Saridjo.
Kampus Gontor Putri 2
Pada tanggal 5 Muharram 1422/ 1 April 2001 mulai dibangun kampus Gontor
Putri II. Sejak tahun1997 Gontor Putri 2 masih menjadi satu dengan Kampus
Gontor Putri I. Kampus Gontor Putri II berlokasi di sebelah barat kampus Gontor
putri I, di atas tanah seluas 10 hektar. Secara simbolis penggunaan kampus
Gontor Putri 2 diresmikan oleh presiden RI Megawati Soekarno Putri pada tanggal
14 Februari 2002, ketika berkunjung ke Pondok Modern Darussalam Gontor di
Ponorogo.
Gontor Buka Cabang di Kendari
Pada tanggal 24 Rabiul Tsani 1423 / 5 Juli 2002 di Kendari diadakan
kesepakatan bersama antara pemerintah Propinsi Sulawesi Tenggara sebagai pihak
I yang diwakili oleh Gubernur Sulawesi Tenggara, Drs. H. La Ode Kamaimoedin
dengan Pondok Modern Darussalam Gontor Ponorogo Jawa Timur sebagai pihak ke II
yang diwakili oleh KH. Abdullah Syukri Zarkasyi, MA, tentang; pendirian dan
pengelolaan Pondok Modern Darussalam Gontor VII "Riyadatul Mujahidin"
Pudahoa, Landono, Kendari, di atas tanah seluas 1000 hektar milik pemerintah
Propinsi Sulawesi Tenggara. Untuk selanjutnya pengelolaan dan tanggungjawab
serta peningkatan mutu Pondok Modern Darussalam Gontor VII Riyadatul Mujahidin
sepenuhnya menjadi tanggungjawab Pondok Modern Darussalam Gontor
Kampus Gontor Putri III di Karangbanyu
Setiap tahun jumlah calon pelajar yang hendak belajar di Pondok Gontor
Putri kian bertambah, sehingga 2 kampus yang telah disediakan itu dianggap
tidak lagi dapat menampung mereka. Maka pada awal bulan Oktober 2002, telah
dimulai pembangunan kampus Gontor Putri III di Desa Karangbanyu Kec. Widodaren,
di atas tanah seluas 10 hektar. Pada tahun ajaran 1423/2003 ini, Pondok Gontor
Putri III telah melahirkan alumni perdananya. []
Sumber: http://gontor.ac.id/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar