NU dan Gaya Politik
Ta’ridh (1)
Oleh: Syarif Hidayat
Santoso
Alkisah, suatu hari
Imam Syafi’i dihadapkan kepada Khalifah Harun Ar Rasyid. Dengan tegar dan
ekspresi tanpa takut, Imam Syafi’i meski kedua kakinya dirantai mendahului
mengucapkan salam, ”Assalamualaikum wabarakatuh”. Harun Al Rasyid pun mau tidak
mau harus menjawab salam itu dengan jawaban sempurna, “Wa’alakum salam
warahmatullahi wabarakatuh.”
Kata Imam Syafi’i
kepada sang Raja, “Anda telah mengganti ketakutan saya dengan keamanan setelah
anda menjawab salam saya dengan kalimat “warahmatullahi”. Berarti anda telah
memberikan rahmat Tuhan tersebut kepada saya”.
Itulah diplomasi
sederhana yang ditunjukkan oleh Imam Syafi’i. Gaya menyindir semacam itulah
yang disebut "ta’ridh". Tulisan ini akan menunjukkan bahwa ta’ridh
telah dipakai NU dalam langgam politik selama dua orde sebagai orde pendahuluan
awal NU berkiprah yaitu orde penjajahan dan orde lama era kemerdekaan. Gaya
politik khas NU itulah ternyata yang menjadi sebab terselamatkannya bangsa dan
negara Indonesia.
Di era penjajahan,
ta’ridh politik ini terlihat dari keputusan Muktamar NU Banjarmasin tahun 1935
ketika status tentang negara Indonesia diperdebatkan apakah termasuk negara
Islam ataukah tidak. Keputusan Muktamar itu jelas menyebutkan bahwa Indonesia
adalah negara Islam justru dengan logika yang sangat menarik yang berbunyi,”
Indonesia dinamakan “negara Islam” karena telah pernah dikuasai sepenuhnya oleh
orang Islam. Walaupun pernah direbut kaum penjajah kafir, tapi negara Islam
tetap selamanya” (Ahkamul Fuqaha:177).
Logika yang diambil
dari kitab Bughyah Al Mustarsyidin ini jelas menyebut Indonesia sebagai negara
Islam meski statusnya dikuasai Hindia Belanda. Lalu, wawasan apakah yang
didapat dari penyematan status hukum negara Islam dalam kasus Muktamar
Banjarmasin? Jelas tiga karakter ta’ridh telah dipakai NU pada kasus ini.
Pertama, Membangun wawasan Umat Islam bahwa negara Indonesia saat itu
sebenarnya negara Islam tapi tak sempurna karena masih dikuasai Belanda. NU
menyindir secara halus terhadap kaum muslimin utamanya nahdliyyin untuk
menjadikan Indonesia seperti dahulu kala pada zaman kesultanan Islam yang
memimpin negerinya sendiri dan ini akan terlihat pada Resolusi Purwokerto tahun
1946 yang berbeda dalam melihat status negara Islam.
Kedua, wawasan negara
Islam bagi Indonesia yang dikooptasi Hindia Belanda sebenarnya demi menjaga
maslahah umat Islam dan bangsa Indonesia secara umum. Jika Indonesia yang
dikuasai Belanda tersebut adalah negara Islam, maka sebenarnya ini memberi rasa
aman bagi para penguasa Belanda untuk tidak begitu menekan umat Islam dan
membatasi gerak gerik NU. Penguasa Belanda menganggap NU sebagai mitra yang
takkan pernah melawan. Padahal, disinilah hebatnya NU. Dengan gaya bahasa
negara Islam tersebut, NU sebenarnya telah menghindari dusta politik terhadap
Belanda yang dilarang agama. NU telah menjalankan perintah Nabi bahwa dalam
ta’ridh terdapat jalan keluar dari kedustaan politik. NU telah menerapkan
politik Nabi Ibrahim ketika diajak menyembah berhala, Ibrahim menjawab dirinya
sakit padahal sebenarnya sehat. Pastinya, NU bukanlah pendukung Belanda tapi NU
punya kepentingan menjaga keamanan umat Islam dan lancarnya konsolidasi
pergerakan kemerdekaan. NU pun telah menjaga kemaslahatan kaum muslim secara
umum. Dengan gaya bahasa ta’ridh “negara Islam”, NU lebih mudah bergerak dalam
kungkungan penjajah.
Politik ta’ridh juga
diperlihatkan dalam bentuk lain. Ini terlihat dari Resolusi Purwokerto yang
ternyata tetap menyebut Indonesia sebagai negara Islam atau negeri Islam namun
dengan semangat konfrontatif terhadap Belanda. Dalam Muktamar NU ke XVI di
Purwokerto tahun 1946 dalam hal Menimbang disebutkan, 1. Bahwa Indonesia adalah
negeri Islam dan 2.bahwa umat Islam di masa lalu telah cukup menderita
kejahatan dan kezaliman kaum penjajah.
Namun, meski
Indonesia adalah negeri Islam, Resolusi Purwokerto atau disebut di masa kini
dengan Resolusi Jihad kedua menetapkan bahwa Belanda harus dilawan dan Resolusi
ini menyertakan pula kaifiyah secara fikih bagaimana melawan Belanda seperti
jarak 94 kilometer dari tempat musuh masuk maka hukum melawan Belanda adalah
fardhu ain dan jarak diluar 94 kilometer adalah fardhu kifayah serta menjadi
fardhu ain ketika pada jarak 94 kilometer yang pertama, umat Islam tak mampu
melawan musuh. Hukum Islam di tangan NU menjadi fleksibel dan bermulti fungsi
sesuai kondisi. Inilah elastisitas Aswaja yang mampu menjawab persoalan dengan
sinergis.
Sifat berbeda antara
keputusan Muktamar Banjarmasin yang menyebut Indonesia sebagai negara Islam
meski dikuasai Belanda dengan Resolusi Purwokerto yang menyebut Indonesia
sebagai negeri Islam tapi harus melawan Belanda adalah juga bukti tawazun yang
berupaya menyerasikan masa lalu, masa kini dan masa depan atas dasar
kepentingan menjaga bangsa dan negara. Gaya politik ta’ridh NU ini menuai
sukses besar dengan terusirnya Belanda dari Indonesia. []
Syarif Hidayat
Santoso, Kader NU Sumenep, alumni hubungan internasional FISIP Universitas
Jember
Tidak ada komentar:
Posting Komentar