Selembar Surat untuk Masa Depan
Penyakit Tropis
Oleh: Dahlan Iskan
Dia seorang profesor, doktor, dan dokter.
Pekerjaannya mengajar, bertugas di rumah sakit, dan melakukan penelitian
mengenai berbagai penyakit.
Saya bisa membayangkan betapa supernya orang
seperti itu. Atau, sebaliknya, betapa sulitnya menyusun prioritas.
Tapi, apa pun tugas profesor, doktor, dan
dokter itu, ternyata yang paling menentukan adalah ini: dari mana SK
kepegawaiannya. Dari menteri kesehatankah? Dari menteri pendidikankah? Dari
(dulu) Kementerian Ristek-kah?
Yang paling sulit adalah kalau tugas utamanya
di lembaga penelitian, tapi SK kepegawaiannya dari menteri pendidikan atau
menteri kesehatan.
Lembaga penelitian penyakit seperti ini akan
sulit maju. Fondasinya keropos: sulit cari dokter yang mau jadi peneliti. Kalau
toh ada yang mau, sifatnya sementara. Atau dirangkap alias sambilan.
Mengapa? Masa depan peneliti bidang kedokteran
tidak menarik. Setidaknya tidak mungkin jadi profesor.
Jalur birokrasinya tidak ada. Di Kementerian
Pendidikan atau juga di Kementerian Kesehatan tidak dikenal pintu peneliti yang
bisa jadi guru besar. Peneliti yang bisa jadi guru besar hanya yang bekerja di
LIPI.
Untung saya ikut meninjau rumah sakit-rumah
sakit pendidikan di Universitas Airlangga, Sabtu lalu. Bersama Menteri
Kesehatan Prof Nila Djuwita Moeloek.
Saya jadi tahu posisi dan problem rumah sakit
pendidikan, terutama yang memiliki perhatian khusus bidang penelitian.
Selama ini saya hanya tahu di Surabaya ada RSUD
dr Soetomo yang terkenal itu.
Di berbagai negara maju, saya tahu rumah sakit
pendidikan (teaching hospital) memang bisa lebih terkenal daripada rumah sakit
umum. Ini karena dokter peneliti terbaik ada di situ. Dokter konsultan terbaik
ada di situ.
Ide membangun teaching hospital di Indonesia
sangatlah jelas: agar mahasiswa kedokteran, dokter yang mau jadi spesialis, dan
para peneliti bidang kesehatan memiliki lapangan yang sepenuhnya diabdikan
untuk kepentingan kemajuan kedokteran.
Tapi, rumah sakit itu belum menyediakan pintu yang
cukup untuk lari. Pintu menjadi profesor dan pintu untuk masa depan serta
kesejahteraan dokternya.
Di negara maju, dokter di rumah sakit
pendidikan sama sekali tidak punya kaitan dengan jumlah pasien atau lamanya
penanganan terhadap seorang pasien.
Satu profesor yang hanya bisa menangani satu
pasien dalam satu minggu (karena rumitnya penyakit yang diidap) tidak akan
menurun pendapatannya dibanding yang menangani banyak pasien dalam sehari.
Kita masih harus berjuang keras untuk sampai ke
sana. Tapi, setidaknya keberadaan teaching hospital sudah terwujud.
Memang ada problem birokrasi yang rumit. Entah
bagaimana menyelesaikannya. Ahli manajemen harus tertarik untuk memberikan ide
penyelesaian benang kusut ini.
Kalau di rumah sakit umum, persoalan birokrasinya
lebih sederhana: satu Kementerian Kesehatan.
Komplikasinya paling hanya dengan kewenangan
daerah. Tapi, teaching hospital ini menyangkut kesehatan, pendidikan, dan
penelitian.
Dulu terkait dengan tiga kementerian. Sekarang,
mestinya, lebih sederhana. Kemenristek sudah digabung dengan pendidikan tinggi.
Saya lihat menteri kesehatan sudah banyak
mencatat ketika rektor Unair yang akuntan itu, Prof Dr Moh Nasih SE MT Ak CMA,
melaporkan kemajuan-kemajuan lembaganya.
Tentu kita berharap banyak pada pusat-pusat
kajian di rumah sakit pendidikan seperti itu. Misalnya, seperti yang dipamerkan
Sabtu lalu, ditemukannya obat-obat untuk malaria, HIV, hepatitis C, hepatitis
B, dan demam berdarah.
Semua itu penyakit khas negara tropis. Dunia
Barat kurang tertarik mengerahkan perhatiannya ke penyakit-penyakit tropis.
Kecuali terhadap HIV yang ternyata banyak juga menyerang orang Barat.
Namun, penemuan-penemuan itu masih baru tahap
awal. Masih harus dilanjutkan dengan penelitian dan uji-uji berikutnya. Dengan
serius. Namun, seperti kata Prof Dr Maria Inge Lucida, ketua Pusat Penyakit
Tropis Unair, di lembaga itu sulit mencari peneliti penuh waktu.
Yang ada sekarang, 40 orang, semuanya kerja
rangkap. “Mereka pada lari. Ya soal masa depan tadi,” ujar Prof Lucida.
Padahal, hanya negara tropis seperti kita yang
seharusnya lebih memperhatikan penyakit-penyakit khas negara tropis.
Dengan kondisi seperti itu pun, Unair sudah
bisa melahirkan peneliti stem cell yang begitu hebat. Kelas dunia.
Apalagi kalau nanti persoalan birokrasi tadi
bisa diselesaikan. Hanya butuh selembar surat keputusan. Yang tidak ada
risikonya. (*)
Sumber:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar