RUU Pemilu Berdasar Vonis MK
Oleh: Moh Mahfud MD
Pembahasan Rancangan Undang-Undang tentang Pemilihan Umum (RUU
Pemilu) Tahun 2019, baik pemilu legislatif (pileg) maupun pemilu presiden/
wapres (pilpres), sangatlah penting untuk dimulai pada 2016 ini. Ada
sekurang-kurangnya dua alasan untuk melakukan itu.
Pertama, berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No
22-24/PUU-VI/2008, pileg kita sejak 2009 menggunakan sistem proporsional dengan
penetapan caleg terpilih berdasarkan urutan suara terbanyak. Persoalannya,
apakah sistem pileg kita perlu kembali ke sistem proporsional dengan penetapan
caleg terpilih berdasar nomor urut ataukah berdasar urutan suara terbanyak?
Apakah betul MK mewajibkan penggunaan sistem proporsional berdasar urutan suara
terbanyak?
Kedua, berdasarkan Putusan MK No 14/PUU-XI/2013, Pileg dan Pilpres
2019 harus dilaksanakan secara serentak pada hari yang sama. Persoalannya,
bagaimana mekanisme pencalonan dan persyaratan pengajuan pasangan
capres/cawapres?
Persoalan sistem pileg memang perlu dievaluasi kembali karena cara
penetapan caleg terpilih dengan urutan suara tersebut pada Pemilu 2009 dan 2014
ternyata menimbulkan banyak masalah serius. Di lapangan banyak terjadi
kecurangan-kecurangan. Suara-suara calon yang tak terpilih banyak ditawarkan
dan dijual melalui petugas di tingkat bawah.
Banyak juga terjadi saling bantai antarcalon dalam satu partai
yang sama, bahkan kaderkader ideologis parpol yang sudah lama mengabdi kepada
parpol dengan serius harus terlempar karena kalah dengan figur- figur tamu yang
lebih populer dan banyak uang. Melihat pengalaman buruk itu, banyak yang
kemudian mempersoalkan sistem penentuan caleg terpilih dengan urutan suara
terbanyak.
Apakah jika kembali ke sistem nomor urut bertentangan dengan
putusan MK? Banyak yang salah memahami vonis MK, mengira bahwa MK mewajibkan
penggunaan sistem urutan suara terbanyak. Itu jelas salah. MK tidak pernah
mewajibkan pemberlakuan sistem urutan suara terbanyak karena dua hal. Pertama,
kalau soal sistem pemilu, apakah akan menggunakan sistem distrik atau sistem
proporsional, sistem proporsional terbuka atau sistem proporsional tertutup,
semua itu adalah konstitusional.
Di seluruh dunia, sistem apa pun yang ditetapkan UU dari pilihan
sistem yang tersedia adalah konstitusional. Kedua, yang memberlakukan sistem
dengan urutan suara terbanyak adalah DPR dan pemerintah sendiri melalui UU No
10 Tahun 2008 yang kemudian diuji ke MK. Melalui putusan No 22-24/PUUVI/ 2008,
MK hanya mencoret ambang batas 30% dari bilangan pemilih pembagi (BPP) sebagai
ambang dimulainya penetapan dengan urutan suara terbanyak.
Tepatnya, Pasal 214 Butir c.d.e UU No 10 Tahun 2008 menetapkan
bahwa caleg terpilih ditetapkan berdasar urutan suara terbanyak di antara para
caleg yang mendapat dukungan suara minimal 30% dari BPP. MK hanya mencoret
(membatalkan) ketentuan atau syarat ”di antara para caleg yang mendapat
dukungan suara minimal 30% dari BPP” karena hal itu tidak adil terhadap para
caleg maupun terhadap para pemilih.
Kalau misalnya di suatu daerah pemilihan (dapil) Supardjo yang
terdaftar di nomor urut 1 mendapat dukungan 2.500 suara, sedangkan Sulastri
mendapat dukungan 8.900 suara dan BPP di dapil tersebut 30.000, maka dengan
ambang BPP 30% caleg terpilih adalah Supardjo. Sebab meskipun Sulastri mendapat
suara terbanyak, raihannya tidak mencapai 30% dari BPP, yakni sebesar 9.000
suara. Itu tidak adil bagi caleg maupun bagi pemilih.
MK bukan mewajibkan berlakunya sistem urutan suara terbanyak,
melainkan mencoret syarat ambang pemberlakuannya, yakni 30% dari BPP. Jadi jika
sistem itu akan diubah lagi menjadi sistem proporsional tertutup atau
berdasarkan nomor urut, itu pun konstitusional. Sistem apa pun, sistem nomor
urut atau sistem urutan suara terbanyak, bahkan sistem distrik sekalipun adalah
samasama konstitusional sepanjang ditentukan lembaga legislatif.
Adapun mengenai pencalonan pasangan presiden/wapres yang harus
dipilih secara serentak bersama dengan calon-calon anggota legislatif, hal itu
juga harus segera dibahas mekanisme dan syarat-syaratnya. MK sendiri dalam
putusannya tidak menegaskan bahwa semua parpol peserta pemilu langsung
mengajukan pasangan capres/ cawapres, melainkan hanya menyebut pileg dan
pilpres dilaksanakan secara serentak.
Syarat-syarat parpol yang boleh mengajukan pasangan capres/
cawapres itu masih menimbulkan beragam tafsir. Banyak yang mengatakan, semua
parpol yang memenuhi syarat untuk ikut pemilu langsung memenuhi syarat pula
untuk mengajukan pasangan capres/ cawapres. Tapi ada pula pendapat, pasangan
capres/cawapres hanya bisa diajukan oleh parpol yang sudah pernah ikut pemilu
dan mempunyai kursi di DPR berdasar hasil Pemilu 2014.
Yang lain mengatakan bahwa pasangan capres/cawapres diajukan oleh
parpol atau gabungan parpol yang mempunyai kursi di DPR hasil Pemilu 2014
dengan threshold 20%. Ada juga yang mengusulkan, parpol yang boleh mengajukan
pasangan capres/ cawapres adalah parpol yang lolos verifikasi untuk ikut Pemilu
2019, tetapi sudah berbadan hukum sebagai parpol sekurangkurangnya 5 tahun.
Jadi sangat penting RUU Pemilu 2019 sudah diselesaikan pada 2016.
Pentingnya agar kalau ada yang akan menguji konstitusionalitasnya ke MK,
minimal untuk masalah-masalah yang penting sudah bisa dilakukan sejak 2017 dan
diputus sebelum pendaftaran caleg dan pasangan capres/cawapres pada sekitar
November 2018. []
KORAN SINDO, 02 Januari 2016
Moh Mahfud MD ; Guru Besar Hukum Konstitusi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar