Kotak
Sunni, Kotak Syi'i, Tinggalkan Kotak (II)
Oleh:
Ahmad Syafii Maarif
Dua
kekuatan intelektual dan spiritual dalam memahami kitab suci di atas sering
benar binasa menghadapi konflik politik dan teologis melanda komunitas Muslim.
Tragedi Baghdad pada 1258 saat pasukan Hulagu Khan memorakporandakan ibu kota
Kerajaan Abbasiyah patut kita rekamkan kembali sebagai pelajaran moral bagi
umat Islam sedunia, jika saja mereka punya hati untuk itu.
Panglima
Mongol itu rupanya sudah tahu peta perbelahan Sunni-Syiah di Irak untuk
dieksploitasi. Raja Abbasiyah terakhir, Musta'shim, dikenal sebagai penguasa
Sunni yang selalu menghina kelompok Syi'i, mempermainkan iman mereka di muka
publik. Sebagai raja peminum, Musta'shim lebih suka bergaul dengan pemusik dan
para badut tinimbang dengan para penyair dan filosuf.
Karena
menyadari raja Sunni ini mau diserang Hulagu, sebagian tokoh Syi'i malah
memberi fasilitas kepada pasukan Mongol yang dengan sukarela membantu mereka
dalam menguasai beberapa kota dalam perjalanan menuju Baghdad. Dalam situasi
kritikal ini, Perdana Menteri a-Alkamzi, seorang penganut Syi'i, mengkhianati
sang raja dengan memihak Hulagu. Hulagu berjanji tidak akan menghancurkan
tempat-tempat suci kaum Syi'i di Najaf dan Karbala.
Apa yang
kemudian berlaku? Serangan atas Baghdad terjadi pada Januari 1258. Saat pasukan
Cina sebagai bagian dari tentara Hulagu menerobos dinding luar di bagian timur
Baghdad, al-Musta'shim bersama pasukannya keluar sambil memberi tawaran untuk
berunding, tetapi ditolak Hulagu.
Selama
tujuh hari Baghdad dikepung dan kemudian membunuh sekitar 1 juta penduduknya,
baik penganut Sunni maupun penganut Syi'i, karena Hulagu ternyata tidak bisa
membedakan mereka. Pemihakan kelompok Syi'i kepada pasukan Mongol menjadi
sia-sia. Semuanya binasa di Baghdad. Maka jadilah air Sungai Tigris berubah
menjadi merah karena darah Muslim: Sunni dan Syi'i. (Lihat Tarek Fatah, Chasing
A Mirage: The Tragic Illusion of An Islamic State. Mississauga, Ontario: John
Wiley & Sons, 2008, hlm 232).
Dengan
hancurnya Baghdad yang juga diberi nama Madinat al-Salam (Kota Perdamaian),
maka Kerajaan Abbasiyah yang renta dalam usia sekitar 500 tahun kini terbenam
ke dalam museum sejarah untuk selama-lamanya. Masihkah akan dilanjutkan juga
perseteruan Sunni-Syi'i untuk tahun-tahun yang akan datang? Di abad modern,
keberingasan pasukan Mongol itu dilanjutkan oleh Amerika dan sekutunya.
Sejarah
Syi'i adalah sejarah tragedi demi tragedi. Karena selama berabad-abad
dikuyo-kuyo penguasa Sunni, kaum Syi'i lalu mengembangkan doktrin
taqiyah (penyamaran identitas) demi kelangsungan hidup di lingkungan kaum
Sunni yang memusuhi mereka.
Salah
satu tragedi pada periode lebih awal ialah terbunuhnya al-Hussain bin Ali pada
680 di Karbala (Irak) di tangan tentara Yazid bin Muawiyah. Baik golongan Sunni
maupun golongan Syi'i sama-sama mengutuk pembunuhan keji atas diri cucu nabi
ini.
Bagi kaum
Syi'i, Karbala dipercaya sebagai tempat suci sampai hari ini. Pembunuhan
al-Hussain ini jelas sebuah kebiadaban yang tidak dapat dimaafkan. Namun
menjadikan tragedi yang memicu dendam sejarah ini sebagai pembenar untuk
merumuskan doktrin teologi dan politik hanyalah akan membunuh rasionalitas
dalam penulisan sejarah.
Perseteruan
Sunni-Syi'i ini belum juga padam dalam bilangan abad. Jika kita boleh berandai
di abad ke-21 ini, maka kejadian inilah yang bakal berlaku: sekiranya Arab
Saudi diserang Israel, tidak mustahil Iran akan membantu negara Zionis itu.
Begitu pula sebaliknya: jika Iran diserang Israel, maka Arab Saudi akan
berpihak kepada Israel.
Saya
sampai kepada kesimpulan ini: baik sunnisme maupun syi'isme, seperti telah
disebut terdahulu, tidak ada kaitannya dengan Alquran dan misi kenabian,
kecuali jika dipaksakan secara ahistoris. Kotak-kotak ini amat bertanggung
jawab bagi lumpuhnya persaudaraan umat beriman.
Maka,
jika umat Islam di muka bumi memang mau punya hari depan yang diperhitungkan
manusia lain, jalan satu-satunya adalah agar kita keluar dari kotak Sunni dan
kotak Syi'i itu karena semuanya itu adalah hasil dari pabrik sejarah sekitar 25
tahun sesudah Nabi wafat. []
REPUBLIKA,
19 Januari 2016
Ahmad Syafii Maarif | Mantan Ketua Umum Pimpinan Pusat
Muhammadiyah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar