Mewaspadai Konflik (Terbuka) Arab Saudi-Iran
Oleh: Hasibullah Satrawi
EKSEKUSI mati terhadap salah satu tokoh Syiah terkemuka di Arab
Saudi, Nimr al-Nimr, telah mengantarkan konflik antara Arab Saudi dan Iran ke
permukaan yang lebih kasatmata. Sebagaimana dimaklumi, pada Sabtu (2/1) Arab
Saudi mengumumkan telah mengeksekusi mati 47 orang dengan tuduhan terorisme.
Salah satunya Syeikh Nimr al-Nimr. Eksekusi itu memancing kemarahan besar dari
komunitas-komunitas Syiah, khususnya di Iran sebagai negara yang mayoritas
penduduknya bersekte Syiah, hingga terjadi aksi penyerangan terhadap Kedutaan
Besar Arab Saudi di Iran yang berbuntut pada pemutusan diplomatik di antara
kedua negara.
Ibarat gunung es, konflik yang semakin kasatmata antara Arab Saudi
dan Iran pascaeksekusi Syeikh Nimr al-Nimr hanyalah bagian atas dari fenomena
gunung es. Dikatakan bagian atas karena konflik ini masih sangat besar
kemungkinannya untuk terus meningkat hingga membawa kedua negara pada perang
terbuka.
Kegagalan Arab Spring
Bila diamati secara cermat, segenap konflik di Timur Tengah dalam
beberapa waktu terakhir dapat disebut sebagai perang sektarian, Sunni dengan
Syiah. Secara periodik, perang sektarian di Timur Tengah belakangan ini terjadi
pada paruh terakhir 2012 di Suriah yang sekaligus menjadi tanda kuat bagi
gagalnya Arab Spring yang melanda dunia Arab pada akhir 2010.
Pada awalnya, Arab Spring tak ubahnya bunga yang mekar di kalangan
dunia Arab sekaligus menjadi tanda bagi terbentuknya pemerintahan yang lebih
demokratis, terbuka, dan jauh dari aksi-aksi otoritarianisme. Itu sebabnya,
Arab Spring kerap disebut dengan istilah Musim Semi Arab (ar-rabi' al-`arabi).
Dengan segala ketulusan, kemurnian, dan harapan yang ada, Arab
Spring terus menggulingkan penguasa-penguasa dunia Arab yang secara samar-samar
sebelumnya diberitakan kerap memperlakukan rakyatnya secara otoriter. Bahkan,
Arab Saudi pun sempat digoyang oleh Arab Spring (khususnya di wilayah timur
yang salah satu tokohnya ialah Nimr al-Nimr).
Begitulah seterusnya hingga Zainal Abidin di Tunisia dan Hosni
Mubarak di Mesir dapat dilengserkan oleh rakyatnya sendiri. Kemurnian Arab Spring
tampak mulai berkurang ketika terjadi di Libia karena tak hanya melibatkan
rakyat, tapi juga negara-negara luar. Hal kurang lebih sama juga terjadi dengan
Arab Spring di Yaman yang pada akhirnya bisa dikondisikan oleh negara-negara
Arab Teluk, termasuk Arab Saudi.
Arab Spring yang terjadi di Suriah juga kurang lebih sama,
ditambah dengan penggunaan sentimen Syiah-Sunni pada paruh terakhir 2012.
Bashar al-Assad yang tak mau turun dari takhtanya dianggap telah membantai
orang-orang Sunni. Rezim Bashar al-Assad pun kerap mendapat kecaman dari
komunitas-komunitas Sunni yang bersifat mayoritas di dunia Arab dan Timur
Tengah secara umum. Saat ini Arab Spring pun benar-benar menjadi perjuangan
yang gagal.
Kedekatan khusus rezim Bashar al-Assad dengan unsur-unsur Syiah
sejak dulu (mulai Iran sampai Hizbullah di Libanon) menjadi pembenar tersendiri
bagi sentimen sektarian yang mulai hadir dalam krisis politik di Suriah.
Apalagi rezim ini terus mendapatkan dukungan dari unsur-unsur Syiah di atas.
Sementara kelompok revolusi dan masyarakat Suriah yang mayoritas Sunni terus
didukung dan diperkuat oleh unsur-unsur Sunni, seperti Turki, Arab Saudi, dan
beberapa negara Arab Teluk lainnya. Hingga sentimen sektarian tak ubahnya `gula
aren' yang matang di atas `wajan' krisis di Suriah sekaligus menjadi daya tarik
bagi datangnya pejuangpejuang asing dari luar untuk berperang di negeri itu.
Konflik sektarian
Pada beberapa bagian, konflik sektarian di Timur Tengah dapat
disebut sebagai konflik paling sensitif sekaligus klasik. Di satu sisi karena
pendukung dari kedua belah pihak sangat besar jumlahnya di kawasan ini, dan di
sisi lain karena di wilayah ini terdapat monumenmonumen sejarah yang merekam
dengan sangat kuat sejumlah konflik dan perang atas semangat sektarian.
Hal yang harus diperhatikan, konflik sektarian di wilayah ini bisa
terkelupas secara mudah dan menganga kembali sebagai luka baru akibat
peristiwa-peristiwa politik kekinian. Demikianlah, persoalan pergantian
kekuasaan di Suriah akhirnya menjadi konflik semiterbuka antara Arab Saudi dan
Iran. Begitu juga persoalan ambisi kekuasaan mantan Presiden Yaman, Ali
Badullah Saleh, untuk kembali berkuasa telah membuka luka sektarian yang
akhirnya benar-benar menganga sebagai luka yang baru hingga sekarang.
Di sini dapat ditegaskan, bila sebuah konflik dapat dikategorikan
berdasakan jenisnya, konflik sektarian di Timur Tengah bisa disebut sebagai
salah satu konflik utama yang paling sensitif. Sementara konflik antaragama
tidak terlalu dominan di kawasan ini, setidaktidaknya bila dibandingkan de ngan
konflik sektarian.
Sementara itu, pengalaman konflik di Indonesia berkebalikan dengan
konflik yang terjadi di Timur Tengah, karena konflik yang paling traumatis sekaligus
paling sensitif di negeri ini ialah konflik antaragama, setidak-tidaknya bila
dibandingkan dengan konflik yang bercorak sektarian.
Indonesia waspada
Oleh karena itu, konflik sektarian yang terus terjadi di Timur
Tengah, termasuk konflik yang semakin terbuka antara Arab Saudi dan Iran, harus
diwaspadai dan diantisipasi secara serius oleh segenap elemen bangsa, khususnya
pemerintah. Dengan demikian, konflik yang terjadi di Timur Tengah tidak menambah
bobot konflik negeri ini.
Hal itu penting diperhatikan mengingat di satu sisi Timur Tengah
acap menjadi sentrum bagi masyarakat Indonesia. Hal-hal yang terjadi di wilayah
para nabi itu pun kerap mendapatkan perhatian dari masyarakat luas.
Di sisi lain, kesadaran kritis masyarakat terkait dengan konflik
di Timur Tengah masih sangat lemah sehingga tak jarang konflik yang ada acap
dipahami dalam kacamata teologis yang tak jarang menimbulkan pro dan kontra,
walaupun konflik yang ada bersifat politik-kekuasaan, bukan teologikeagamaan.
Dalam beberapa waktu terakhir, pro-kontra, dukung-mendukung,
bahkan saling menyesatkan terkait isu Sunni-Syiah sudah terjadi di sebagian
pihak di Indonesia, khususnya di dunia maya. Bila itu terus berlanjut tanpa
adanya antisipasi yang optimal, bukan tidak mungkin konflik sektarian juga akan
menjadi jenis baru konflik utama di negeri ini.
Padahal pada waktu yang bersamaan bangsa ini belum bisa
membebaskan diri secara total dari konflik-konflik yang bersifat antaragama.
Maka, mewaspadai konflik sektarian sekaligus menyelesaikan konflik yang
bersifat antaragama mendesak untuk segera dilakukan. Dengan begitu, bangsa ini
dapat menuju pada kehidupan yang damai dan terbebas dari segala jenis konflik.
Semoga. []
MEDIA INDONESIA, 05 Januari 2016
Hasibullah Satrawi ; Pengamat Politik Timur Tengah dan
Dunia Islam; Direktur Aliansi Indonesia Damai (Aida)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar