Hubungan
Iran – Arab Saudi
Oleh:
Zuhairi Misrawi
Eksekusi
mati Sheikh Nimr al-Nimr, tokoh utama Syiah di bagian timur Arab Saudi,
berbuntut panjang. Warga Syiah di seantero dunia marah. Massa di Iran membakar
kantor Kedutaan Besar Arab Saudi di Teheran dan demo besar-besaran berlangsung
di sejumlah negara, yakni di Iran, Irak, Pakistan, India, dan Lebanon.
Iran dan
Arab Saudi pun memutus hubungan diplomatik. Ayatollah Ali Khamenei, pemimpin
tertinggi Iran, mengutuk keras eksekusi mati itu karena keputusan Arab Saudi
lebih berlatar belakang politik. Tidak ada alasan yang kuat menghukum mati
seseorang yang mengkritik pemerintahannya. Karena itu, kata Khamenei, Arab
Saudi akan mendapat balasan setimpal.
Meski
demikian, Khamenei tak memberikan penjelasan yang jelas perihal balasan yang
setimpal tersebut. Secara implisit, Khamenei memberikan sinyal bahwa hubungan
dengan Arab Saudi akan makin memburuk di masa mendatang. Fakta di lapangan
membuktikan, sikap Khameini bukan isapan jempol, bahkan diamini oleh mayoritas
warga Iran yang sejak lama punya catatan khusus terhadap Arab Saudi.
Pasang-surut
Pasca
Revolusi 1979, hubungan Iran-Arab Saudi terus memburuk. Perang Iran-Irak pada
1980-an merupakan fakta memburuknya hubungan kedua negara karena Arab Saudi
menggelontorkan dana yang cukup besar untuk mendukung Irak.
Pada
1987, bentrokan saat musim haji di Mekkah yang menewaskan lebih kurang 275
warga Iran telah menyebabkan demonstrasi besar-besaran di Teheran. Mousa'ad
al-Ghamdi, diplomat Arab Saudi, tewas dalam peristiwa itu. Pada 1988, Raja Fahd
resmi memutus hubungan diplomatik dengan Iran.
Hubungan
Iran-Arab Saudi sempat membaik pada masa kepemimpinan Presiden Khatami yang
dikenal reformis. Pada 1999, Khatami melakukan kunjungan kenegaraan ke Arab
Saudi. Raja Fahd menyampaikan ucapan selamat atas kemenangan Khatami dalam
pemilu presiden. Pada 2001, Iran dan Arab Saudi menandatangani pakta keamanan.
Namun,
pasca Khatami, politik regional mengalami perubahan yang cukup signifikan.
Jatuhnya Saddam Husein yang mengubah peta politik di Irak, program nuklir Iran,
dan musim semi Arab telah memberi warna baru hubungan Iran-Arab Saudi.
Irak
pasca invasi Amerika Serikat menuju ekuilibrium baru dengan naiknya penganut
Syiah dalam panggung politik Negeri Seribu Satu Malam itu. Iran punya amunisi
baru untuk membangun koalisi besar di Timur Tengah. Komunitas Syiah yang
sebelumnya ditekan secara politik oleh Saddam Husein menemukan momentum untuk
berperan aktif di ranah politik.
Bersamaan
dengan itu, Iran semakin gencar memperkuat kekuatan militernya dan
mengembangkan nuklir. Tak hanya Arab Saudi yang ketakutan, tetapi juga negara
Barat, khususnya AS. Bahkan, AS harus memaksa Iran duduk dalam meja perundingan
perihal pengembangan nuklir dengan imbalan mencabut embargo terhadap Iran.
Bagaimanapun, Arab Saudi sangat tidak nyaman dengan kesepakatan nuklir antara
Iran dan negara-negara Barat, khususnya AS.
Musim
semi Arab yang bergelayut di Tunisia dan merambah kawasan di Timur Tengah,
seperti Mesir, Yaman, Bahrain, dan Suriah, semakin memperkeruh hubungan
Iran-Arab Saudi. Yaman, Bahrain, dan Suriah merupakan tiga negara yang
bersentuhan langsung secara politik dengan Arab Saudi dan Iran.
Yaman dan
Bahrain adalah dua negara yang berbatasan langsung dan mitra strategis Arab
Saudi. Sementara penganut Syiah cukup besar jumlahnya di dua negara tersebut.
Bahkan, penganut Syiah di Bahrain merupakan kelompok mayoritas. Meskipun
mayoritas penganut Syiah di Yaman bermazhab Zaydiyah, mereka mempunyai hubungan
dekat dengan Iran yang bermazhab Jakfariyah.
Sebaliknya,
Suriah merupakan mitra strategis Iran, tetapi penduduknya mayoritas Sunni.
Hubungan Iran dan Suriah sebenarnya bukan dilandaskan pada sesama Syiah karena
umumnya warga Syiah Suriah menganut mazhab Alawiyah.
Faktanya,
Iran dan Arab Saudi terlibat dalam perang proksi. Kedua negara tak berperang
secara langsung, tetapi menggunakan pihak lain. Semua tahu Arab Saudi menyokong
penuh rezim Bahrain dan Yaman, sedangkan Iran menyokong pihak oposisi di
Bahrain dan Yaman. Iran juga mendukung penuh rezim Suriah, sedangkan Arab Saudi
mensponsori pihak oposisi di Suriah.
Konflik
sektarian
Di balik
itu semua, menurut Vali Nasr (2016), di samping eksekusi mati Sheikh Nimr
al-Nimr semakin memperburuk hubungan Iran-Arab Saudi, sebenarnya ada agenda
yang lebih besar, yaitu narasi sektarian konflik Sunni-Syiah. Pasalnya, tidak
ada alasan kuat untuk menghukum mati Sheikh Nimr al-Nimr. Memvonis Sheikh Nimr
dengan alasan melakukan aksi terorisme amat berlebihan. Tak ada bukti kuat,
apalagi ia disandingkan dengan Faris Suwail, warga Mesir yang menjadi tangan
kanan Ayman al-Zawahiri.
Sejauh
ini, narasi yang dimainkan Arab Saudi berhasil karena warga Syiah di seantero
dunia melakukan aksi demonstrasi besar-besaran, bahkan membakar kantor Kedutaan
Besar Arab Saudi di Teheran. Warga Syiah menggalang solidaritas dan kepedulian
bersama terhadap Sheikh Nimr. Bagi warga Iran, Sheikh Nimr punya hubungan
ideologis yang sangat dekat karena ia lulusan pendidikan keagamaan di Qom,
Iran. Dari kota ini, lahir para ulama dan tokoh politik yang mampu
menginspirasi revolusi di dunia Islam. Imam Khameini, Bapak Revolusi Islam di
Iran, adalah sosok yang ditempa dan dibesarkan di Qom.
Arab
Saudi sebenarnya sedang bermain api dengan mengeksekusi mati Sheikh Nimr. Kalau
mau jujur, Arab Saudi sangat tidak diuntungkan dengan eksekusi tersebut karena
Syiah merupakan paham yang sudah menyejarah dan mengakar kuat di seantero dunia
Islam. Paham Syiah hampir ada di seluruh dunia Islam, tak terkecuali di Arab
Saudi. Mengeksekusi mati Sheikh Nimr berarti rezim Arab Saudi sedang
membangunkan macan tidur konflik sektarian di negerinya sendiri. Langkah itu
sangat tidak menguntungkan politik internal Arab Saudi. Spirit perlawanan akan
semakin membara di wilayah bagian timur Arab Saudi, yang ditinggali oleh
mayoritas penganut Syiah.
Dunia
Islam, khususnya Arab Saudi, harus membangun jembatan harmoni antara
Sunni-Syiah, bukan justru membenturkan keduanya. Dampak buruk di balik konflik
sektarian tersebut lebih besar daripada manfaatnya, bahkan tidak ada manfaatnya
sama sekali. Iran sebagai negara dengan penduduk mayoritas Syiah, sejak lama
bersama al-Azhar, Mesir, sedang berjuang membangun dialog dan titik temu antara
Sunni dan Syiah. Iran sadar betul bahwa masa depan peradaban Islam adalah
mencari titik temu, bukan titik tengkar.
Mestinya
Arab Saudi juga mendorong agar titik temu antara Sunni dan Syiah diutamakan
daripada titik tengkar. Sayangnya eksekusi mati Sheikh Nimr sudah dilakukan dan
kita sedang menghadapi narasi sektarian yang dipertontonkan di hadapan kita.
Hal yang
bisa dilakukan kita di negeri ini adalah tidak terpengaruh narasi sektarian
tersebut. Kita adalah negara Pancasila yang mempunyai budaya gotong royong.
Sunni-Syiah bisa hidup berdampingan dalam damai di negeri ini, pun agama-agama
dan keyakinan lain.
Sudah
saatnya kita menginspirasi dunia dengan lantang menyuarakan kembali perihal
pentingnya dialog dan titik temu. Sebagai negara dengan mayoritas Muslim,
hendaknya kita tidak menjadi penonton. Kita harus aktif membangun titik temu
Sunni-Syiah. Sejatinya kita terus merangkai persaudaraan, sebagaimana pesan
Imam Abi bin Abu Thalib bahwa ada dua model persaudaraan yang harus dibangun:
persaudaraan seagama dan persaudaraan sesama manusia, makhluk Tuhan. Itu tugas
peradaban yang tidak mudah, tetapi bukan berarti tidak bisa diwujudkan. []
KOMPAS, 6
Januari 2016
Zuhairi
Misrawi | Intelektual Muda Nahdlatul Ulama dan Peneliti The Middle East
Institute
Tidak ada komentar:
Posting Komentar