Selasa, 19 Januari 2016

Azyumardi: Antisipasi Gafatar dan Kultus



Antisipasi Gafatar dan Kultus
Oleh: Azyumardi Azra

Kehebohan mengenai Gerakan Fajar Nusantara tidak hanya menyangkut menghilangnya sejumlah orang dan keluarga, tetapi juga terkait ajaran dan praksisnya. Tidak diketahui pasti berapa jumlah orang yang terekrut, tetapi melihat adanya cabang dari Aceh sampai Ternate, terindikasi Gerakan Fajar Nusantara menyebar cukup luas.

Pemerintah, seperti dikatakan Wakil Presiden Jusuf Kalla dan Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo (14/1/2016), akan mengambil tindakan tegas kepada Gerakan Fajar Nusantara (Gafatar) yang konon sudah dibubarkan ketua umumnya, Mahful Muis Tumanurung sejak 13 Agustus 2015.

Ditemukannya dokter Rica dan anaknya di Pangkalan Bun, Kalimantan Tengah, beserta masih banyaknya mereka yang menghilangkan diri menunjukkan Gafatar tetap aktif pasca ”pembubaran diri” (self-declared disbandment).

”Millah” Ibrahim: sinkretisme

Berdasarkan banyak sumber, baik dari Gafatar sendiri maupun yang lain, hampir bisa dipastikan Gafatar adalah kecambah baru (offshoot) dan proliferasi dari paham dan gerakan yang nyaris sama-dan-sebangun di masa sebelumnya. Gafatar adalah transformasi dari atau berkaitan dengan Al Qiyadah al Islamiyah pimpinan Ahmad Mussadeq yang ditetapkan sesatdalam fatwa MUI Pusat (4 Oktober 2007). Pada 2008, Pengadilan Negeri Jakarta Selatan menjatuhkan hukuman empat tahun penjara atas Mussadeq karena terbukti melakukan penodaan agama.

Mussadeq sebelumnya adalah figur penting Negara Islam Indonesia Komandemen Wilayah (NII KW) IX. Mendirikan Al Qiyadah al Islamiyah yang kemudian menjadi organisasi terlarang, Mussadeq selanjutnya menjadi penasihat Gafatar dan narasumber dalam berbagai acara para pimpinan dan anggota Gafatar di sejumlah tempat Indonesia.

Meski Gafatar menyatakan berasas Pancasila, tetapi tujuan religio-politiknya tampaknya adalah penciptaan Negara Kesatuan Tuhan Semesta Alam (NKSA) di Indonesia. Ini mengindikasikan, Gafatar lebih daripada sekadar organisasi dengan berbagai aksi sosial di sejumlah tempat di Tanah Air, tetapi memiliki tujuan akhir penciptaan sebuah negara.

Langkah menuju pembentukan negara itu—seperti juga ada pada kelompok dan organisasi lain—dimulai dengan perumusan doktrin teologis dan ritual; penggalangan dana; pemberlakuan hijrah (dalam kasus dokter Rica, dari Yogyakarta ke Pangkalan Bun); dan akhirnya pembentukan negara.

Sebagai organisasi ”agama”, Gafatar jelas terkait erat dengan paham dan praksis ”millahIbrahim” (agama Abrahamik), yang kemudian membentuk Komunitas Millah Abraham (Komar).Maraknya respons dan kritik dari kalangan ulama dan aktivis arus utama (mainstream) terhadap pemahamanmillahIbrahim yang mereka anut, nama Komar kemudian cenderung ditinggalkan untuk diganti dengan Gafatar.

IstilahmillahIbrahim disebut dalam Al Quran sebanyak 10 kali yang terpencar dalam berbagai ayat. Sesuai dengan latar belakang turun dan konteks ayat-ayat tersebut,jumhur(mayoritas) ulama mainstream menyimpulkan bahwa ketiga agama (Yahudi, Kristiani, dan Islam) memiliki keterkaitan dengan Nabi Ibrahim (Abraham), yang merupakan salah satuulul azmi, nabi utama.

Dalam akidah (keimanan) Islam, setiap dan seluruh Muslim wajib memercayai Musa, Ibrahim, dan Isa Almasih sebagai nabi. Kitab suci yang dipegangi umat Yahudi (Taurat/Perjanjian Lama) dan umat Kristiani (Injil/Perjanjian Baru) wajib pula diimani Muslimin wahyu dari Allah.

Penulis menyebut ketiga agama sebagai ”kakak-adik” (siblings) yang selain memiliki platform yang sama (dalam istilah Quran,kalimatun sawa’), juga perbedaan. Masing-masing memiliki karakter sendiri, yang tidak masuk akal untuk disatukan menjadi sebuah batang tubuh agama tunggal. Di sinilah terletak kekeliruan Gafatar, yang dalam pemahaman dan praksis ”menyatukan” ketiga agama itu. Hasilnya adalah teologi, ibadah, dan praksis keagamaan sinkretik.

Secara teopraksis, kredonya adalah ”Sepuluh Perintah Tuhan” (Ten Commandements) dari Tuhan kepada Nabi Musa.Jika diringkas Sepuluh Perintah Tuhan itu mencakup; hanya menyembah dan menghormati Tuhan—tidak membuat dan menyembah berhala; menguduskanSabbath(hari Sabtu); menghormati kedua orangtua; tidak berzina, mencuri, berdusta, dan menginginkan hak milik orang lain.

Atas dasar inilah kemudian Gafatar mengajarkan pada para anggotanya untuk merayakanSabbath, hari ibadah bagi umat Yahudi dan juga Kristiani. Kalau mau, mereka juga bisa juga merayakan hari Jumat,saayidul-ayyam Muslim.

Dalam kaitan itu, Gafatar menolak rukun Islam. Memercayai hanya salah satu dari dua kalimat syahadat dengan mengimani Allah, Gafatar menolak beriman pada Nabi Muhammad. Mereka juga menolak rukun Islam lain, shalat lima waktu, puasa Ramadhan, dan naik haji ke Mekkah. Sedangkan rukun Islam tentang kewajiban zakat, tampaknya tetap mereka pegang—terkait penggalangan dana.
Kultus heterodoks

Dari sudut sosiologi agama, Gafatar dan organisasi atau kelompok pendahulunya tidak lain adalah kultus (cult) yang solid. Gafatar bukanlah gerakan ”spiritualitas masa baru” (new age spirituality) yang jauh lebih longgar. Baik kultus maupunnew agedapat marak sewaktu-waktu tergantung pada berbagai faktor yang memberikan iklim kondusif bagi pertumbuhannya.

Kultus ditandai sejumlah ciri, karakteristik dan pendekatan: kepemimpinan karismatik yang mampu memukau; penggunaan jargon perubahan paham dan praksis keagamaan—dari yang lama yang dianggap menyimpang kepada ”yang murni”; penciptaan ketundukan dan ketergantungan psiko religius pengikut beserta keluarganya kepada sang pemimpin dan lingkarannya.

Semua ini kemudian membentuk cara pandang dunia (world view) tertentu yang mesti diimani, dipegangi, dan dilaksanakan para pengikut. Keadaan ini selanjutnya menjadikan para pengikut sebagai obyek eksploitasi dan kemauan pemimpin kultus. Dalam pandangan masyarakat umum, para pengikut kultus, seperti Gafatar seolah telah kehilangan nalar sehat, sebagaimana terlihat dalam kasus dokter Rica yang berpendidikan tinggi.

Kenapa selalu ada orang yang tampil sebagai pemimpin kultus? Penyebabnya banyak sejak dari kontestasi kekuasaan dan pengaruh sampai pada motif material keuangan dan harta benda.

Selain itu, kepemimpinan kultus bisa muncul dari dua macam sosok pribadi. Pertama dari orang yang memiliki pengetahuan agama sesuai ortodoksi—atau memiliki kredensial agama relatif memadai. Karena alasan tertentu, dengan kredensialnya sosok bersangkutan cukup meyakinkan memperkenalkan ajaran baru agama (atau agama-agama) yang menyimpang dari ortodoksi atau heterodoks.

Kedua, bisa muncul dari sosok yang merasa lahir kembali sebagai orang religius (religiously born again). Orang seperti ini sering mengklaim sebagai telah mendapat ilham, petunjuk atau perintah langsung dari Tuhan yang harus ia sampaikan pada warga masyarakat atau umat beragama. Tidak memiliki kredensial keagamaan, orang seperti ini bisa menjungkirbalikkan ortodoksi agama mapan.

Suasana sosial-keagamaan Indonesia— seperti juga di banyak negara Barat—cukup rentan bagi muncul dan berkembangnya kultus semacam Gafatar. Kondisi sosial, ekonomi, politik, dan budaya yang terus mengalami disrupsi dan disorientasi dapat menjadi lahan subur bagi sosok tertentu yang menawarkan ”jalan pintas” pada orang atau umat beragama untuk mendapatkan ketenangan dan kedamaian di dunia ini dan di akhirat kelak.

Karena itu, kepemimpinan ortodoksi agama patut mencermati perkembangan umat masing-masing. Pada saat yang sama perlu penerapan pendekatan baru yang lebih kontekstual untuk pembinaan umat supaya tidak tersesat dalam kehidupan agama dan spiritualitas mereka.

Pada saat yang sama, pemerintah harus lebih proaktif dalam mencermati dinamika kelompok agama atau kultus yang dapat menimbulkan gangguan terhadap kehidupan agama dan sosial. Dengan begitu, pemerintah dapat mempertahankan kehidupan keagamaan yang sehat, dinamis, dan rukun. []

KOMPAS, 15 Januari 2016
Azyumardi Azra | Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah Jakarta; Anggota Council on Faith, World Economic Forum Davos

Tidak ada komentar:

Posting Komentar