Antisipasi
Gafatar dan Kultus
Oleh:
Azyumardi Azra
Kehebohan
mengenai Gerakan Fajar Nusantara tidak hanya menyangkut menghilangnya sejumlah
orang dan keluarga, tetapi juga terkait ajaran dan praksisnya. Tidak diketahui
pasti berapa jumlah orang yang terekrut, tetapi melihat adanya cabang dari Aceh
sampai Ternate, terindikasi Gerakan Fajar Nusantara menyebar cukup luas.
Pemerintah,
seperti dikatakan Wakil Presiden Jusuf Kalla dan Menteri Dalam Negeri Tjahjo
Kumolo (14/1/2016), akan mengambil tindakan tegas kepada Gerakan Fajar
Nusantara (Gafatar) yang konon sudah dibubarkan ketua umumnya, Mahful Muis
Tumanurung sejak 13 Agustus 2015.
Ditemukannya
dokter Rica dan anaknya di Pangkalan Bun, Kalimantan Tengah, beserta masih banyaknya
mereka yang menghilangkan diri menunjukkan Gafatar tetap aktif pasca
”pembubaran diri” (self-declared disbandment).
”Millah”
Ibrahim: sinkretisme
Berdasarkan
banyak sumber, baik dari Gafatar sendiri maupun yang lain, hampir bisa
dipastikan Gafatar adalah kecambah baru (offshoot) dan proliferasi dari paham
dan gerakan yang nyaris sama-dan-sebangun di masa sebelumnya. Gafatar adalah
transformasi dari atau berkaitan dengan Al Qiyadah al Islamiyah pimpinan Ahmad
Mussadeq yang ditetapkan sesatdalam fatwa MUI Pusat (4 Oktober 2007). Pada
2008, Pengadilan Negeri Jakarta Selatan menjatuhkan hukuman empat tahun penjara
atas Mussadeq karena terbukti melakukan penodaan agama.
Mussadeq
sebelumnya adalah figur penting Negara Islam Indonesia Komandemen Wilayah (NII
KW) IX. Mendirikan Al Qiyadah al Islamiyah yang kemudian menjadi organisasi
terlarang, Mussadeq selanjutnya menjadi penasihat Gafatar dan narasumber dalam
berbagai acara para pimpinan dan anggota Gafatar di sejumlah tempat Indonesia.
Meski
Gafatar menyatakan berasas Pancasila, tetapi tujuan religio-politiknya
tampaknya adalah penciptaan Negara Kesatuan Tuhan Semesta Alam (NKSA) di
Indonesia. Ini mengindikasikan, Gafatar lebih daripada sekadar organisasi
dengan berbagai aksi sosial di sejumlah tempat di Tanah Air, tetapi memiliki
tujuan akhir penciptaan sebuah negara.
Langkah
menuju pembentukan negara itu—seperti juga ada pada kelompok dan organisasi
lain—dimulai dengan perumusan doktrin teologis dan ritual; penggalangan dana;
pemberlakuan hijrah (dalam kasus dokter Rica, dari Yogyakarta ke Pangkalan
Bun); dan akhirnya pembentukan negara.
Sebagai
organisasi ”agama”, Gafatar jelas terkait erat dengan paham dan praksis
”millahIbrahim” (agama Abrahamik), yang kemudian membentuk Komunitas Millah Abraham
(Komar).Maraknya respons dan kritik dari kalangan ulama dan aktivis arus utama
(mainstream) terhadap pemahamanmillahIbrahim yang mereka anut, nama Komar
kemudian cenderung ditinggalkan untuk diganti dengan Gafatar.
IstilahmillahIbrahim
disebut dalam Al Quran sebanyak 10 kali yang terpencar dalam berbagai ayat.
Sesuai dengan latar belakang turun dan konteks ayat-ayat
tersebut,jumhur(mayoritas) ulama mainstream menyimpulkan bahwa ketiga agama
(Yahudi, Kristiani, dan Islam) memiliki keterkaitan dengan Nabi Ibrahim
(Abraham), yang merupakan salah satuulul azmi, nabi utama.
Dalam
akidah (keimanan) Islam, setiap dan seluruh Muslim wajib memercayai Musa,
Ibrahim, dan Isa Almasih sebagai nabi. Kitab suci yang dipegangi umat Yahudi
(Taurat/Perjanjian Lama) dan umat Kristiani (Injil/Perjanjian Baru) wajib pula
diimani Muslimin wahyu dari Allah.
Penulis
menyebut ketiga agama sebagai ”kakak-adik” (siblings) yang selain memiliki
platform yang sama (dalam istilah Quran,kalimatun sawa’), juga perbedaan.
Masing-masing memiliki karakter sendiri, yang tidak masuk akal untuk disatukan
menjadi sebuah batang tubuh agama tunggal. Di sinilah terletak kekeliruan
Gafatar, yang dalam pemahaman dan praksis ”menyatukan” ketiga agama itu.
Hasilnya adalah teologi, ibadah, dan praksis keagamaan sinkretik.
Secara
teopraksis, kredonya adalah ”Sepuluh Perintah Tuhan” (Ten Commandements) dari
Tuhan kepada Nabi Musa.Jika diringkas Sepuluh Perintah Tuhan itu mencakup;
hanya menyembah dan menghormati Tuhan—tidak membuat dan menyembah berhala;
menguduskanSabbath(hari Sabtu); menghormati kedua orangtua; tidak berzina,
mencuri, berdusta, dan menginginkan hak milik orang lain.
Atas
dasar inilah kemudian Gafatar mengajarkan pada para anggotanya untuk
merayakanSabbath, hari ibadah bagi umat Yahudi dan juga Kristiani. Kalau mau,
mereka juga bisa juga merayakan hari Jumat,saayidul-ayyam Muslim.
Dalam
kaitan itu, Gafatar menolak rukun Islam. Memercayai hanya salah satu dari dua
kalimat syahadat dengan mengimani Allah, Gafatar menolak beriman pada Nabi
Muhammad. Mereka juga menolak rukun Islam lain, shalat lima waktu, puasa
Ramadhan, dan naik haji ke Mekkah. Sedangkan rukun Islam tentang kewajiban
zakat, tampaknya tetap mereka pegang—terkait penggalangan dana.
Kultus
heterodoks
Dari
sudut sosiologi agama, Gafatar dan organisasi atau kelompok pendahulunya tidak
lain adalah kultus (cult) yang solid. Gafatar bukanlah gerakan ”spiritualitas
masa baru” (new age spirituality) yang jauh lebih longgar. Baik kultus
maupunnew agedapat marak sewaktu-waktu tergantung pada berbagai faktor yang
memberikan iklim kondusif bagi pertumbuhannya.
Kultus
ditandai sejumlah ciri, karakteristik dan pendekatan: kepemimpinan karismatik
yang mampu memukau; penggunaan jargon perubahan paham dan praksis
keagamaan—dari yang lama yang dianggap menyimpang kepada ”yang murni”;
penciptaan ketundukan dan ketergantungan psiko religius pengikut beserta
keluarganya kepada sang pemimpin dan lingkarannya.
Semua ini
kemudian membentuk cara pandang dunia (world view) tertentu yang mesti diimani,
dipegangi, dan dilaksanakan para pengikut. Keadaan ini selanjutnya menjadikan
para pengikut sebagai obyek eksploitasi dan kemauan pemimpin kultus. Dalam
pandangan masyarakat umum, para pengikut kultus, seperti Gafatar seolah telah
kehilangan nalar sehat, sebagaimana terlihat dalam kasus dokter Rica yang
berpendidikan tinggi.
Kenapa
selalu ada orang yang tampil sebagai pemimpin kultus? Penyebabnya banyak sejak
dari kontestasi kekuasaan dan pengaruh sampai pada motif material keuangan dan
harta benda.
Selain
itu, kepemimpinan kultus bisa muncul dari dua macam sosok pribadi. Pertama dari
orang yang memiliki pengetahuan agama sesuai ortodoksi—atau memiliki kredensial
agama relatif memadai. Karena alasan tertentu, dengan kredensialnya sosok
bersangkutan cukup meyakinkan memperkenalkan ajaran baru agama (atau
agama-agama) yang menyimpang dari ortodoksi atau heterodoks.
Kedua,
bisa muncul dari sosok yang merasa lahir kembali sebagai orang religius
(religiously born again). Orang seperti ini sering mengklaim sebagai telah
mendapat ilham, petunjuk atau perintah langsung dari Tuhan yang harus ia
sampaikan pada warga masyarakat atau umat beragama. Tidak memiliki kredensial
keagamaan, orang seperti ini bisa menjungkirbalikkan ortodoksi agama mapan.
Suasana
sosial-keagamaan Indonesia— seperti juga di banyak negara Barat—cukup rentan
bagi muncul dan berkembangnya kultus semacam Gafatar. Kondisi sosial, ekonomi,
politik, dan budaya yang terus mengalami disrupsi dan disorientasi dapat
menjadi lahan subur bagi sosok tertentu yang menawarkan ”jalan pintas” pada
orang atau umat beragama untuk mendapatkan ketenangan dan kedamaian di dunia
ini dan di akhirat kelak.
Karena
itu, kepemimpinan ortodoksi agama patut mencermati perkembangan umat
masing-masing. Pada saat yang sama perlu penerapan pendekatan baru yang lebih
kontekstual untuk pembinaan umat supaya tidak tersesat dalam kehidupan agama
dan spiritualitas mereka.
Pada saat
yang sama, pemerintah harus lebih proaktif dalam mencermati dinamika kelompok
agama atau kultus yang dapat menimbulkan gangguan terhadap kehidupan agama dan
sosial. Dengan begitu, pemerintah dapat mempertahankan kehidupan keagamaan yang
sehat, dinamis, dan rukun. []
KOMPAS,
15 Januari 2016
Azyumardi Azra | Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah Jakarta;
Anggota Council on Faith, World Economic Forum Davos
Tidak ada komentar:
Posting Komentar