Menjaga
Indonesia (1)
Oleh :
Azyumardi Azra
Aksi
teror pekan lalu (14/1) di sekitar kawasan Sarinah-Menara Cakrawala, Jalan
Thamrin, Jakarta, menunjukkan masih adanya kalangan warga Indonesia yang ingin
menghancurkan bumi Allah tercinta ini. Dengan korban akhir delapan orang tewas
dan 26 luka-luka, para pelaku yang terduga keras berafililiasi dengan Negara
Islam Irak dan Suriah (ISIS) tidak sekadar menciptakan teror. Tujuan pokoknya
adalah menghancurkan negara Indonesia dan menggantinya dengan daulah Islamiah
dalam bentuk khilafah, seperti dicitakan ISIS.
Tidak
masuk akal jika upaya penghancuran Indonesia itu dilakukan dengan mengimpor
konflik, kekerasan, dan saling bunuh di antara berbagai pihak di dunia Arab di
Timur Tengah. Inilah masa paling kritis di antara negara-negara Arab di mana
konflik dan perang melanda sebagian besar wilayahnya.
Lihatlah
apa yang terjadi di Suriah dan Irak yang terus mengalami konflik dan kekerasan
internal. Keadaan inilah yang memberikan kesempatan bagi kemunculan ISIS
(kemudian dikenal sebagai IS atau Da'is/Dawlah Islamiyyah). Terutama, sejak
April 2013 ketika kelompok militan-teroristik ini mendeklarasikan khilafahnya
di bawah pimpinan Abu Bakr al-Baghdadi. Sejak itu, ISIS menguasai wilayah cukup
luas yang milik Suriah dan Irak.
Meski
berbagai kekuatan internasional, seperti Rusia, AS, Turki, dan negara-negara
Arab sendiri belakangan ini mengintensifkan usaha menghancurkannya, ISIS yang
mengalami langkah mundur kelihatan tetap mampu bertahan dan melanjutkan
berbagai aksi biadabnya di wilayah yang langsung dikuasainya maupun di tempat
lain, seperti di Prancis dan Indonesia melalui jaringannya.
Lalu,
kekerasan dan perang juga masih berlanjut di Yaman antara koalisi Arab Saudi
bersama sejumlah negara Arab lain melawan pemberontak Hauthi. Sudah sekitar
4.000 warga sipil tewas dan puluhan ribu luka-luka serta terusir dari kampung
halaman mereka.
Sejak
intervensi Arab Saudi dan koalisinya pada 26 Maret 2015, tidak terlihat tanda
aksi militer Saudi dapat menyelesaikan masalah di Yaman. Banyak analis
menyatakan, inilah perang yang tidak bisa dimenangkan (unwinnable wars) Arab
Saudi. Perang ini tidak bakal menghasilkan apa-apa, kecuali kehancuran
kemanusiaan dan peradaban.
Instabilitas
politik juga terus bertahan di Libya atau Mesir. Libya masih mengalami konflik
dan kekerasan di antara berbagai pihak dan kabilah yang berusaha menguasai
kekuasaan. Sejauh ini, tidak terlihat tanda meyakinkan berakhirnya konflik dan
kontestasi kekuasaan di Libya.
Sementara,
di Mesir, tangan besi kekuasaan militer pimpinan Presiden Jenderal el-Sisi
belum mampu pula menghancurkan anasir radikal di kalangan organisasi al-Ikhwal
al-Muslimun yang sudah dilucuti dalam berbagai segi eksistensinya. Karena itu,
apa yang yang terus terjadi adalah war of attrition, perang panjang yang
terkait banyak dengan 'daya tahan' masing-masing pihak.
Sementara,
fron baru konflik yang membuat kawasan Timur Tengah kian membara tercipta pula
sejak awal 2016 antara Arab Saudi dan beberapa negara sekutunya pada satu pihak
dengan Iran di pihak lain. Ketegangan ini bermula dari eksekusi hukuman mati
pada 2 Januari 2016 terhadap 47 orang, termasuk tokoh Syiah Syaikh Nimr
al-Nimr. Eksekusi ini berbuntut dengan demo besar anti-Saudi di Teheran yang
berujung dengan pemutusan hubungan diplomatik Saudi dan beberapa negara Arab
lain dengan Iran.
Terlibat
kontestasi dan perebutan pengaruh sejak awal 1980-an, ketegangan antara Arab
Saudi versus Iran mengancam stabilitas politik, ekonomi, dan agama, bukan hanya
di kawasan Timur Tengah, melainkan juga bisa mengimbas ke wilayah lain. Ketegangan
dan konflik sektarianisme Suni versus Syiah jelas meningkat pula di berbagai
kawasan dunia Muslim, termasuk di Indonesia.
Apakah
perang terbuka bakal pecah antara Saudi dan sekutunya melawan Iran? Banyak
analis melihat adanya kemungkinan tersebut, walaupun tidak terlalu besar.
Apakah perang itu terjadi atau tidak, yang jelas proxy wars di antara
kelompok atau agen masing-masing negara di tempat-tempat lain bakal meningkat
pula. Proxy wars di antara kelompok pendukung Saudi atau Iran telah
terjadi di Lebanon, Suriah, Yaman, Afghanistan, Pakistan, dan mulai menunjukkan
gejala di Indonesia.
Keadaan
menyedihkan juga terjadi di Nigeria dengan Boko Haram yang masih bertahan
dengan brutalitasnya. Aksi teroris terjadi di Hotel Splendid Burkina Paso, sehari
setelah teror di Jalan Thamrin, Jakarta, menewaskan setidaknya 23 orang.
Alqaidah mengklaim bertanggung jawab atas aksi brutal ini.
Brutalitas
ISIS, Alqaidah, Boko Haram, dan semacamnya di berbagai wilayah dunia yang
melanggar ajaran Islam dan norma kemanusiaan berketuhanan dan beradab justru
ingin ditiru dan dilakukan sekelompok warga Indonesia. Mereka ingin
menghancurkan Indonesia, negara dengan penduduk Muslim terbesar di dunia. Ke
mana akal sehat, nalar, dan nurani para teroris warga Indonesia tersebut? []
REPUBLIKA,
21 Januari 2016
Azyumardi Azra | Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah Jakarta;
Penerima MIPI Award 2014 dari Masyarakat Ilmu Pemerintahan Indonesia
Tidak ada komentar:
Posting Komentar