Senin, 25 Januari 2016

Kang Sobary: Perjuangan Tanpa Teror



Perjuangan Tanpa Teror
Oleh: Mohamad Sobary

Ada perjuangan tanpa teror. Inilah yang kita sukai. Kalau tidak salah, inilah perjuangan sejati. Kita mengharapkan hasil perjuangan bisa kita nikmati bersama. Hasil perjuangan membuat kita bersukacita dan berbahagia.

Apa yang kita cari dalam hidup, di dunia yang serbafana ini bila bukan sukacita dan rasa bahagia seperti ini? Kita bikin bumi tempat kita berpijak ini menjadi dunia yang kaya, makmur, dan melimpah ruah dengan harta yang kita butuhkan. Dan, harta yang melimpah ruah itu kita tata pembagiannya secara adil dan merata. Jangan keliru: harus adil dan merata. Ini bukan adil secara distributif.

Tidak mungkin tiap warga memperoleh bagian yang persis sama. Tidak mungkin diciptakan suatu keadaan yang sama rasa sama rata. Tidak mungkin. Ini ruwet. Dan, bisa menimbulkan persoalan lebih gawat. Bisa menimbulkan kemunafikan ideologis yang parah. Maka, yang paling penting, tidak boleh ada manusia kelewat serakah dan memiliki terlalu banyak harta. Tidak boleh ada warga, sahabat, dan saudara kita yang tersia-sia. Tidak boleh. Kita manusia biasa.

Tak begitu aneh bila perjuangan kita itu kita harapkan untuk dicapai hasilnya sekarang, di dunia fana ini, untuk kita nikmati, supaya hidup kita menjadi lebih enak, lebih makmur, lebih adil, dan tertata. Tapi, kita tidak memimpikan terciptanya surga di bumi ini. Orang per orang, tak peduli kaum miskin maupun para penimbun harta dunia, mungkin ada sudah memperoleh surga di sini.

Itu tak mustahil dan mungkin dilarang. Kita juga harus memperhitungkan bahwa mungkin, sangat mungkin, perjuangan itu baru berhasil sesudah kita tidak ada. Itu tak menjadi soal. Generasi anak-cucu akan menikmatinya. Itu sudah baik. Dan, jika mungkin, kita menonton dari jauh, untuk turut berbahagia bersama anak-cucu kita yang menikmati buah peruangan kita. Bagi kita, ini kebahagiaan sejati.

Mirip dengan kesediaan kita menanam dan menanam pohon-pohon yang buahnya bukan kita sendiri yang memetik, melainkan anak-cucu kita. Mereka memetik dan menikmati buah dari pohon-pohon yang kita tanam dan kita berbahagia. Ini bukan ideologi, tapi sesuatu yang nyata, sangat nyata.

***

Di negeri yang masih berantakan seperti ini, yang pemerintahnya kewalahan mengatur krisis sumber daya alam yang sudah sangat parah, terutama di tanah Jawa, banyak lahan perjuangan yang harus dilaksanakan secara sukarela oleh setiap warga negara. Ini jenis tantangan perjuangan yang tak usah disertai teror. Kita mau meneror siapa dan untuk apa? Perjuangan sejati menuntut ketulusan sejati.

Untuk tulus saja sudah berat dan sangat susah. Apalagi harus ditambah dengan teror yang berbahaya. Sangat menakutkan. Janganjangan teror itu tanda tak mampu. Di negeri yang pemerintahnya kocar-kacir, kehendak politik Presiden diterjemahkan seenaknya oleh para menteri, sesuai kepentingan politik masing- masing, kita tahu Presiden hampir sendirian, tanpa kawan.

Perjuangan di bidang pendidikan misalnya masih begitu banyak sisa yang tak tergarap pemerintah. Anak-anak gelandangan, yang tak jelas orang tuanya, atau tak jelas kemampuan finansial mereka, memerlukan campur tangan warga negara. Ada begitu banyak rumah singgah dan berbagai jenis pendidikan dasar yang dilakukan warga negara tanpa biaya pemerintah.

Ini perjuangan yang membuat kita merasa seperti mendidih. Tidak mudah menangani persoalan seperti ini. Tapi, warga negara, bukan pemerintah, menanganinya dengan segenap keterbatasan. Ini perjuangan tanpa teror yang selalu diuji untuk tetap bertahan dengan dana seadanya, kemampuan seadanya, tapi dengan kesabaran yang bukan seadanya.

Kesabaran di sini harus melimpah ruah. Kesabaran di sini begitu luar biasa seperti bisa menimbulkan ”goro-goro” yang mengguncang dunia. Dalam tradisi sastra lisan di masyarakat Jawa dikabarkan, bila jagat terkena panasnya ”goro-goro”, dewa-dewa turun dan turut prihatin mencarikan jalan pemecahan persoalan yang sedang dihadapi para kawula.

Tapi, di dalam politik Indonesia, di dunia nyata, ”gorogoro” boleh terjadi sehari tujuh kali, penguasa, menteri, atau pejabat lain bisa dengan tenang bersikap pura-pura budek. Apa tak takut kalau menjadi budek betulan?

***

Banyak perjuangan yang tak usah disertai teror. Seperti dicontohkan di atas, jelas bagi kita bahwa di dalam hidup sehari-hari, banyak persoalan yang harus diperjuangkan dengan sungguhsungguh, setulus hati, sebaikbaiknya, dengansegenappengorbanan tenaga, pikiran, harta, dan mungkin pertaruhan jiwa.

Tapi, meskipun sangat serius, dan sungguh-sungguh, bahkan disertai ketulusan tanpa batas sehingga perjuangan kita itu ibaratnya tidak ada bandingannya, kalau bisa sebaiknya jangan kita bicara tentang pertaruhan jiwa. Biarkan saja keadaan di lapangan yang menentukan. Kalau kondisi di lapangan berkembang sedemikian rupa sehingga kita tak mampu lagi berbuat lain selain mempertaruhkan jiwa kita, itu soal lain.

Mungkin di sini kita lalu bicara mengenai sikap ksatria. Mungkin disebut sikap ksatria sejati yang rela bertaruh nyawa untuk sesuatu yang besar: untuk bangsa, untuk negara. Bila kita bicara perjuangan agama, kita bicara tentang kesediaan berkurban jiwa untuk menjadi syuhada. Demi perjuangan agama, kita menempuh cara hidup kesahid-sahidan, bukan sekadar sebagai kebajikan yang lahir dari panggilan etis di dalam diri kita, melainkan panggilan etis sekaligus panggilan hukum.

Patut menjadi catatan kita di sini bahwa jiwa kita, yang hanya satu, dan kita sayang-sayang itu, sebaiknya tidak untuk pertaruhan di dalam hidup duniawi yang biasa-biasa ini. Tapi, bila perjuangan kita telah sampai pada batas di mana ungkapan ”bertaruh nyawa” menjadi panggilan terakhir, mungkin kita bicara: apa boleh buat. Bila jalan lain sungguh tak ada, kita maju, maju, dan tak takut apa pun. Kata Pak Jokowi, kita tak boleh takut.

Dan, kita harus menang. Kita siap menghadapi kesulitan, apa pun yang harus kita pertaruhkan. Tapi, kita bukan menantang, bukan mencari musuh, bukan meneror orang lain. Perjuangan menata kembali lingkungan tak usah disertai teror. Perjuangan menata pendidikan anak-anak yang luput dari perhatian negara merupakan panggilan ”langit” yang harus dilaksanakan di Bumi Pertiwi kita.

Dan, perjuangan itu menuntut ketulusan yang nyata. Teror tak diperlukan sama sekali karena siapa yang harus diteror? Kalau pemerintah, dalam hal ini menteri pendidikan bisa merasa malu, alangkah baiknya. Perjuangan sejati tak memerlukan teror. Kita sibuk menjaga ketulusan, dan kata teror terhapus secara otomatis dari dalam kamus hidup kita.

Kata terror tanpa perjuangan. Dua hal ini sedang berada di dalam perjuangan kita. Konsep dasar kita, pihak lain merupakan sumber daya yang bisa dilibatkan dalam perjuangan. Pihak lain merupakan pasangan potensial untuk membikin perjuangan kita sukses. Dengan begitu, jelas bahwa mereka itu pendukung yang baik bila kita mampu melibatkan mereka ke dalam kerja demi kerja yang kita laksanakan dengan ikhlas, dan semampu kita. Perjuangan itu semampu kita, seikhlas kita.

Tak perlu dipaksakan. Apa yang dipaksa bisa melewati batas keikhlasan tadi. Dan, bakal percuma. Apalagi kalau perjuangan disertai teror demi teror yang membikin segenap warga negara gemetar, cemas, dan menjadi tidak produktif. Itu kita. Itu perjuangan biasa. Sekadar mencintai Tanah Air. Sekedar mencintai bangsa kita sendiri. Sekadar mengamalkan panggilan agama, semampunya, seikhlasnya, sebatas yang kita bisa. Dan, sekali lagi, yang penting kita berjuang tanpa teror.

Tapi, ada pula teror tanpa perjuangan. Teror itu hanya untuk teror. Yang dianggap penting, orang takut kepada mereka, cemas pada ulah mereka, dan mengakui mereka dewa pemetik maut tanpa hak yang nyata. Mereka dewa tanpa hak. Jadi jelas, bukan dewa. []

KORAN SINDO, 20 Januari 2016
Mohamad Sobary | Esais, Anggota Pengurus Masyarakat Bangga Produk Indonesia, untuk Advokasi, Mediasi, dan Promosi. Penggemar Sirih dan Cengkih, buat Kesehatan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar