Senin, 11 Januari 2016

(Ngaji of the Day) Ihwal Hilangnya Keperawanan dan Status Hukumnya



Ihwal Hilangnya Keperawanan dan Status Hukumnya

Pertanyaan:

Assalamu’alaikum wr. wb. Redaksi bahtsul masail yang saya hormati.  Saya ingin menanyakan tentang status seorang perempuan yang belum pernah menikah, tetapi sudah tidak perawan lagi karena waktu pacaran dengan seseorang melakukan hubungan badan sehingga menyebabkan hilangnya keperawanannya. Begitu juga bagaimana kalau seorang perempuan yang hilang keperawananya bukan karena melakukan hubungan badan, seperti akibat mastrubasi dengan tangannya sendiri? Dikatakan perawan tetapi sudah tidak perawan lagi, dikatakan janda tetapi belum pernah menikah. Lantas, bagaimana status hukumnya? Atas pejelasannya saya ucapkan terimakasih. Wassalamu’alaikum wr. wb.

Ahmad – Banten

Jawaban:   

Wassalamu’alaikum wr. wb
Penanya yang budiman, semoga selalu dirahmati Allah swt. Keperawanan adalah sesuatu yang paling berharga bagi seorang perempuan. Karenanya, menjaga keperawanan adalah keniscayaan, dan tak bisa ditawar lagi. Bahkan dalam salah satu sabdanya Rasulullah saw menganjurkan untuk menikah dengan perempuan yang masih perawan.

عَلَيْكُمْ بِالأَبْكَارِ فَإِنَّهُنَّ أَعْذَبُ أَفْوَاهًا وَأَنْتَقُ أَرْحَامًا وَأَرْضَى بِالْيَسِيرِ

“Hendaklah kalian menikah dengan gadis karena mereka lebih segar baunya, lebih banyak anaknya (subur), dan lebih rela dengan yang sedikit” (H.R. Baihaqi).       

Lantas siapakah perempuan yang dikategorikan sebagai perawan? Perempuan perawan adalah perempuan yang keperawanannya atau selaput daranya masih utuh. Hal ini sebagaimana disinggung oleh Imam al-Haramain al-Juwaini dalam kitab Nihayah al-Mathlab fi Dirayah al-Madzhab. Menurutnya, keperawanan itu menggambarkan atau mengandaikan tentang selaput dara atau hymen. Lantas apakah yang menyebabkan keperawanan itu bisa hilang?

Setidaknya ada dua kategori hal-hal yang bisa menyebabkan keperawanan itu hilang. Kategori pertama hilangnya keperawanan karena hubungan badan. Hubungan badan dalam konteks ini meliputi hubungan badan yang halal, yang haram, atau yang syubhat (wathi syubhah). Dalam hal ini perempuan yang melakukan hubungan badan, baik hubungan badan yang halal atau yang tidak halal maka statusnya adalah bukan perawan (tsayyib).    

وَالْبِكَارَةُ عِبَارَةٌ عَنِ جِلْدَةِ الْعُذْرَةِ فَإِنْ زَالَتْ بِجِمَاعِ حَلَالٍ أَوْ حَرَامٍ أَوْ وَطْءِ شُبْهَةٍ صَارَتْ ثَيِّبًا

“Keperawanan adalah menggambarkan tentang selaput dara (hymen). Jika keperawanan seorang perempuan hilang sebab hubungan badan yang halal atau haram atau wathi` syubhat maka ia menjadi tidak perawan” (Imam al-Haramain al-Juwaini, Nihayah al-Mathlab fi Dirayah al-Madzhab, tahqiq, Abdul Azhim Mahmud ad-Dib, Bairut-Dar al-Minhaj, cet ke-1, 1428 H/2007 M, juz, 12, h. 43)      
    
Ketegori kedua, hilangnya keperawanan di luar hubungan badan. Misalnya seorang perempuan bisa hilang keperawanannya karena melakukan lompatan, memasukan jari-jemarinya ke dalam kemaluannya, atau bisa juga karena terlalu lama melajang. Lantas, apakah perempuan yang hilang keperwanannya bukan karena disebabkan melakukan hubungan badan masih bisa dikategorikan sebagai perawan?

Dalam kasus ini Imam al-Haraiman al-Juwaini menghadirkan dua pendapat. Pendapat pertama, ia masuk dalam kategori tidak perawan karena hilangnya keperawananya. Sedang pendapat kedua mengatakan bahwa ia masih masuk kategori sebagai perawan karena faktanya ia tidak pengalaman berhubungan dengan laki-laki.    

 وَلَوْ زَالَتْ بِقَفْزَةٍ أَوْ وَثْبَةٍ أوْ بِأَصْبَعٍ أَوْ بِطُولِ التَّعْنِيسِ وَالتَّعَزُّبِ فَفِيهَا وَجْهَانِ أَحَدُهُمَا أَنَّهَا ثَيِّبٌ لِزَوَالِ الْبِكَارَةِ وَالثَّانِي أَنَّهَا بِكْرٌ لِأَنَّ الْبِكَارَةَ عِبَارَةٌ عَنْ عَدَمِ الْمُمَارَسَةِ وَاخْتِبَارِ الرِّجَالِ وَذَلِكَ لْمْ يَحْصُلْ

“Dan seandainya keperawanan itu hilang karena melompat-lompat, terkena jari-jemari, lama tidak mau menikah (perawan tua) atau melajang maka dalam kasus ini ada dua pendapat. Pertama, ia dikategorikan sebagai janda karena hilangnya keperawanan. Kedua, ia tetapi dianggap sebagai perawan karena keperawanan itu mengandaikan ketiadaan pengalamannya dalam berhubungan dengan laki-laki, sedangkan hal ini (pengalaman berhubungan dengan laki-laki) tidak ada. (Nihayah al-Mathlab fi Dirayah al-Madzhab, juz, 12, h. 43)

Perbedaan antara perempuan yang masih perawan dan perempuan yang sudah tidak perawan ini tentunya berimplikasi status yang melekat pada keduanya. Misalnya, dalam hal menikah perempuan yang sudah tidak perawan lebih berhak atas dirinya di banding walinya. Dalam sebuah hadits, Rasulullah saw bersabda; 

الثَّيِّبُ أَحَقُّ بِنَفْسِهَا مِنْ وَلِيِّهَا وَالْبِكْرُ تُسْتَأْمَرُ وَإِذْنُهَا سُكُوتُهَا

“Perempuan yang sudah tidak perawan lebih berhak dengan dirinya dibanding walinya, dan perempuan yang masih perawan dimintai ijinnya, sedang ijinnya adalah diamnya” (H.R. Muslim)

Muhyiddin Syarf an-Nawawi menjelaskan bahwa kata “ahaqqu” (lebih berhak) dalam hadits tersebut mengandaikan adanya persekutuan dalam hak. Artinya, baik pihak perempuan atau walinya sama-sama memilik hak. Perempuan memiliki hak atas dirinya dalam menentukan pasangan hidupnya, sedang wali memiliki hak untuk menikahkannya. Namun hak si perempuan tersebut lebih diutamakan atau diunggulkan daripada walinya.

Akibatnya apabila terjadi perselisihan dalam memilih pasangan hidup, maka pilihan si perempuan didahulukan. Misalnya, pihak wali menginginkan untuk menikahkan anaknya yang sudah tidak perawan lagi dengan laki-laki sekufu, tetapi si perempuan tidak mau, maka dalam hal ini ia tidak boleh dipaksa. Atau sebaliknya, si perempuan sudah memilih pasangan hidupnya yang sekufu tetapi walinya tidak mau menikahkannya, maka dalam hal ini wali boleh dipaksa untuk menikahkannya, dan apabila tidak mau maka hakim yang menikahkannya. 

وَاعْلَمْ أَنَّ لَفْظَةَ أَحَقُّ هُنَا لِلْمُشَارَكَةِ مَعْنَاهُ أَنَّ لَهَا فِي نَفْسِهَا فِي النِّكَاحِ حَقًّا وَلِوَلِيِّهَا حَقًّا وَحَقُّهَا أَوْكَدُ مِنْ حَقِّهِ فَإِنَّهُ لَوْ أَرَادَ تَزْوِيجَهَا كُفْؤًا وَامْتَنَعَتْ لَمْ تُجْبَرْ وَلَوْ أَرَادَتْ أَنْ تَتَزَوَّجَ كُفْؤًا فَامْتَنَعَ الْوَلِيُّ أُجْبِرَ فَإِنْ أَصَرَّ زَوَّجَهَا الْقَاضِي فَدَلَّ عَلَى تَأْكِيدِ حَقِّهَا وَرُجْحَانِهِ

“Ketahuilah bahwa kata ahaqqu (lebih berhak) yang terdapat dalam hadits ini adalah untuk menunjukkan adanya persekutuan, artinya bahwa perempuan yang sudah tidak perawan memiliki hak atas dirinya dalam menikah, begitu juga walinya memiliki hak (untuk menikahkannya). Akan tetapi hak perempuan tersebut lebih kuat daripada haknya walinya. Karenanya, jika ingin wali menikahkannya dengan lelaki yang sekufu tetapi ia menolak maka ia tidak boleh dipaksa. Sedang apabila ia ingin menikah dengan lelaki (pilihannya) yang sekufu, tetapi walinya tidak mau menikahkannya maka walinya boleh dipaksa. Oleh sebab itu jika walinya tetap keukeh tidak mau menikahkannya maka hakim yang menikahkan. Hal ini menujukkan kuat dan unggulnya hak perempuan yang sudah tidak perawan” (Muhyiddin Syarf an-Nawawi, al-Minhaj Syarhu Shahihi Muslim bin al-Hajjaj, Bairut-Daru Ihya`i Turats al-‘Arabi, cet ke-2, 1392 H, juz, 9, h. 204)   

Demikian penjelasan yang dapat kami kemukakan. Semoga bisa diapahami dengan baik. Sarran kami, sudah seharusnya para remaja puteri untuk selalu berhati-hati dalam pergaulan dan menjaga kehormatannya. Dan kami selalu terbuka untuk menerima saran dan kritik dari para pembaca.

Wallahul muwaffiq ila aqwamith thariq,
Wassalamu’alaikum wr. wb

Mahbub Ma’afi Ramdlan
Tim Bahtsul Masail NU

Tidak ada komentar:

Posting Komentar