Ihwal Hilangnya Keperawanan
dan Status Hukumnya
Pertanyaan:
Assalamu’alaikum wr. wb. Redaksi bahtsul
masail yang saya hormati. Saya ingin menanyakan tentang status seorang
perempuan yang belum pernah menikah, tetapi sudah tidak perawan lagi karena
waktu pacaran dengan seseorang melakukan hubungan badan sehingga menyebabkan
hilangnya keperawanannya. Begitu juga bagaimana kalau seorang perempuan yang hilang
keperawananya bukan karena melakukan hubungan badan, seperti akibat mastrubasi
dengan tangannya sendiri? Dikatakan perawan tetapi sudah tidak perawan lagi,
dikatakan janda tetapi belum pernah menikah. Lantas, bagaimana status hukumnya?
Atas pejelasannya saya ucapkan terimakasih. Wassalamu’alaikum wr. wb.
Ahmad – Banten
Jawaban:
Wassalamu’alaikum wr. wb
Penanya yang budiman, semoga selalu dirahmati
Allah swt. Keperawanan adalah sesuatu yang paling berharga bagi seorang
perempuan. Karenanya, menjaga keperawanan adalah keniscayaan, dan tak bisa
ditawar lagi. Bahkan dalam salah satu sabdanya Rasulullah saw menganjurkan
untuk menikah dengan perempuan yang masih perawan.
عَلَيْكُمْ
بِالأَبْكَارِ فَإِنَّهُنَّ أَعْذَبُ أَفْوَاهًا وَأَنْتَقُ أَرْحَامًا وَأَرْضَى
بِالْيَسِيرِ
“Hendaklah kalian menikah dengan gadis karena
mereka lebih segar baunya, lebih banyak anaknya (subur), dan lebih rela dengan
yang sedikit” (H.R. Baihaqi).
Lantas siapakah perempuan yang dikategorikan
sebagai perawan? Perempuan perawan adalah perempuan yang keperawanannya atau
selaput daranya masih utuh. Hal ini sebagaimana disinggung oleh Imam
al-Haramain al-Juwaini dalam kitab Nihayah al-Mathlab fi Dirayah al-Madzhab.
Menurutnya, keperawanan itu menggambarkan atau mengandaikan tentang selaput
dara atau hymen. Lantas apakah yang menyebabkan keperawanan itu bisa hilang?
Setidaknya ada dua kategori hal-hal yang bisa
menyebabkan keperawanan itu hilang. Kategori pertama hilangnya keperawanan
karena hubungan badan. Hubungan badan dalam konteks ini meliputi hubungan badan
yang halal, yang haram, atau yang syubhat (wathi syubhah). Dalam hal ini
perempuan yang melakukan hubungan badan, baik hubungan badan yang halal atau
yang tidak halal maka statusnya adalah bukan perawan (tsayyib).
وَالْبِكَارَةُ
عِبَارَةٌ عَنِ جِلْدَةِ الْعُذْرَةِ فَإِنْ زَالَتْ بِجِمَاعِ حَلَالٍ أَوْ
حَرَامٍ أَوْ وَطْءِ شُبْهَةٍ صَارَتْ ثَيِّبًا
“Keperawanan adalah menggambarkan tentang
selaput dara (hymen). Jika keperawanan seorang perempuan hilang sebab hubungan
badan yang halal atau haram atau wathi` syubhat maka ia menjadi tidak perawan”
(Imam al-Haramain al-Juwaini, Nihayah al-Mathlab fi Dirayah al-Madzhab, tahqiq,
Abdul Azhim Mahmud ad-Dib, Bairut-Dar al-Minhaj, cet ke-1, 1428 H/2007 M, juz,
12, h. 43)
Ketegori kedua, hilangnya keperawanan di luar
hubungan badan. Misalnya seorang perempuan bisa hilang keperawanannya karena
melakukan lompatan, memasukan jari-jemarinya ke dalam kemaluannya, atau bisa
juga karena terlalu lama melajang. Lantas, apakah perempuan yang hilang
keperwanannya bukan karena disebabkan melakukan hubungan badan masih bisa
dikategorikan sebagai perawan?
Dalam kasus ini Imam al-Haraiman al-Juwaini
menghadirkan dua pendapat. Pendapat pertama, ia masuk dalam kategori tidak
perawan karena hilangnya keperawananya. Sedang pendapat kedua mengatakan bahwa
ia masih masuk kategori sebagai perawan karena faktanya ia tidak pengalaman
berhubungan dengan laki-laki.
وَلَوْ
زَالَتْ بِقَفْزَةٍ أَوْ وَثْبَةٍ أوْ بِأَصْبَعٍ أَوْ بِطُولِ التَّعْنِيسِ
وَالتَّعَزُّبِ فَفِيهَا وَجْهَانِ أَحَدُهُمَا أَنَّهَا ثَيِّبٌ لِزَوَالِ
الْبِكَارَةِ وَالثَّانِي أَنَّهَا بِكْرٌ لِأَنَّ الْبِكَارَةَ عِبَارَةٌ عَنْ
عَدَمِ الْمُمَارَسَةِ وَاخْتِبَارِ الرِّجَالِ وَذَلِكَ لْمْ يَحْصُلْ
“Dan seandainya keperawanan itu hilang karena
melompat-lompat, terkena jari-jemari, lama tidak mau menikah (perawan tua) atau
melajang maka dalam kasus ini ada dua pendapat. Pertama, ia dikategorikan
sebagai janda karena hilangnya keperawanan. Kedua, ia tetapi dianggap sebagai
perawan karena keperawanan itu mengandaikan ketiadaan pengalamannya dalam
berhubungan dengan laki-laki, sedangkan hal ini (pengalaman berhubungan dengan
laki-laki) tidak ada. (Nihayah al-Mathlab fi Dirayah al-Madzhab, juz, 12, h.
43)
Perbedaan antara perempuan yang masih perawan
dan perempuan yang sudah tidak perawan ini tentunya berimplikasi status yang
melekat pada keduanya. Misalnya, dalam hal menikah perempuan yang sudah tidak
perawan lebih berhak atas dirinya di banding walinya. Dalam sebuah hadits,
Rasulullah saw bersabda;
الثَّيِّبُ
أَحَقُّ بِنَفْسِهَا مِنْ وَلِيِّهَا وَالْبِكْرُ تُسْتَأْمَرُ وَإِذْنُهَا
سُكُوتُهَا
“Perempuan yang sudah tidak perawan lebih
berhak dengan dirinya dibanding walinya, dan perempuan yang masih perawan
dimintai ijinnya, sedang ijinnya adalah diamnya” (H.R. Muslim)
Muhyiddin Syarf an-Nawawi menjelaskan bahwa
kata “ahaqqu” (lebih berhak) dalam hadits tersebut mengandaikan adanya
persekutuan dalam hak. Artinya, baik pihak perempuan atau walinya sama-sama
memilik hak. Perempuan memiliki hak atas dirinya dalam menentukan pasangan
hidupnya, sedang wali memiliki hak untuk menikahkannya. Namun hak si perempuan
tersebut lebih diutamakan atau diunggulkan daripada walinya.
Akibatnya apabila terjadi perselisihan dalam
memilih pasangan hidup, maka pilihan si perempuan didahulukan. Misalnya, pihak
wali menginginkan untuk menikahkan anaknya yang sudah tidak perawan lagi dengan
laki-laki sekufu, tetapi si perempuan tidak mau, maka dalam hal ini ia tidak
boleh dipaksa. Atau sebaliknya, si perempuan sudah memilih pasangan hidupnya
yang sekufu tetapi walinya tidak mau menikahkannya, maka dalam hal ini wali
boleh dipaksa untuk menikahkannya, dan apabila tidak mau maka hakim yang
menikahkannya.
وَاعْلَمْ
أَنَّ لَفْظَةَ أَحَقُّ هُنَا لِلْمُشَارَكَةِ مَعْنَاهُ أَنَّ لَهَا فِي
نَفْسِهَا فِي النِّكَاحِ حَقًّا وَلِوَلِيِّهَا حَقًّا وَحَقُّهَا أَوْكَدُ مِنْ
حَقِّهِ فَإِنَّهُ لَوْ أَرَادَ تَزْوِيجَهَا كُفْؤًا وَامْتَنَعَتْ لَمْ تُجْبَرْ
وَلَوْ أَرَادَتْ أَنْ تَتَزَوَّجَ كُفْؤًا فَامْتَنَعَ الْوَلِيُّ أُجْبِرَ
فَإِنْ أَصَرَّ زَوَّجَهَا الْقَاضِي فَدَلَّ عَلَى تَأْكِيدِ حَقِّهَا
وَرُجْحَانِهِ
“Ketahuilah bahwa kata ahaqqu (lebih berhak)
yang terdapat dalam hadits ini adalah untuk menunjukkan adanya persekutuan,
artinya bahwa perempuan yang sudah tidak perawan memiliki hak atas dirinya
dalam menikah, begitu juga walinya memiliki hak (untuk menikahkannya). Akan
tetapi hak perempuan tersebut lebih kuat daripada haknya walinya. Karenanya,
jika ingin wali menikahkannya dengan lelaki yang sekufu tetapi ia menolak maka
ia tidak boleh dipaksa. Sedang apabila ia ingin menikah dengan lelaki
(pilihannya) yang sekufu, tetapi walinya tidak mau menikahkannya maka walinya
boleh dipaksa. Oleh sebab itu jika walinya tetap keukeh tidak mau menikahkannya
maka hakim yang menikahkan. Hal ini menujukkan kuat dan unggulnya hak perempuan
yang sudah tidak perawan” (Muhyiddin Syarf an-Nawawi, al-Minhaj Syarhu Shahihi
Muslim bin al-Hajjaj, Bairut-Daru Ihya`i Turats al-‘Arabi, cet ke-2, 1392 H,
juz, 9, h. 204)
Demikian penjelasan yang dapat kami
kemukakan. Semoga bisa diapahami dengan baik. Sarran kami, sudah seharusnya para
remaja puteri untuk selalu berhati-hati dalam pergaulan dan menjaga
kehormatannya. Dan kami selalu terbuka untuk menerima saran dan kritik dari
para pembaca.
Wallahul muwaffiq ila aqwamith thariq,
Wassalamu’alaikum wr. wb
Mahbub Ma’afi Ramdlan
Tim Bahtsul Masail NU
Tidak ada komentar:
Posting Komentar