Senin, 18 Januari 2016

As'ad Said Ali: Jalan Berliku Perdamaian Afghanistan (Habis)



Jalan Berliku Perdamaian Afghanistan (Habis)
Oleh: As'ad Said Ali

Iran dan Arab Saudi bersaing di Afghanistan dalam konteks perebutan pengaruh politik regional, khususnya isu Syiah-Suni. Sebagai contoh, Arab Saudi menjalin hubungan dekat dengan berbagai pimpinan mujahidin Afghanistan yang kini menduduki posisi penting di Kabul. Sebaliknya, Iran juga punya hubungan dekat dengan mantan pemimpin mujahidin yang tergabung dalam aliansi utara, khususnya Gulbuddin Hekmatiyar.

Negara-negara Asia Tengah dan Cina serta India mengkhawatirkan perembesan terorisme ke wilayah masing-masing. Afghanistan berbatasan langsung dengan Provinsi Xin Chiang (Uighur), sehingga Cina khawatir kaum militan Muslim Uighur menjalin koalisi dengan kaum radikal atau negara lain. Kekhawatiran Cina cukup beralasan mengingat kaum militan Uighur pernah mengikuti latihan kemiliteran di Afghanistan pada era Usamah bin Ladin (1996-2001) dan sejumlah kaum militan Uighur kemudian menjadi bagian dari ISIS.

Adapun Amerika Serikat dan Cina punya kepentingan ekonomi untuk menguasai migas dan mineral di Afghanistan dan Asia Tengah. Bahkan, akhir-akhir ini, Rusia menunjukkan minatnya melibatkan diri di Afghanistan yang ditunjukkan oleh pernyataan Presiden Rusia Vladimir Putin yang mengklaim punya hubungan intelijen dengan Taliban.

Pendeknya, ketiga negara besar itu menaruh perhatian besar di Afghanistan, selain karena posisinya yang strategis dan kaya sumber daya alam, juga pusat pusaran terorisme dan perdagangan narkoba. Berbagai kepentingan asing ini memengaruhi segenap upaya perdamaian Afghanistan, sehingga tanpa adanya kesepahaman mereka, sulit rasanya bangsa Afghanistan dapat keluar dari konflik internal dan membangun masyarakatnya.

Paradigma baru perdamaian

Dalam perkembangan terakhir, tampak muncul kepentingan ekonomi regional. Pada 24 Desember 2015, untuk pertama kalinya sejak 2004, PM India Narendra Modi melakukan kunjungan mendadak ke Lahore, Pakistan, bertemu PM Pakistan Nawaz Sharif. Kunjungan ini untuk memberikan sinyal bahwa India mengedepankan pendekatan dialog dan peningkatan kerja sama ekonomi dengan Pakistan.

Sinyal seperti itu penting mengingat negara-negara kawasan Asia Selatan dan Asia Tengah berusaha lebih serius membangun kerja sama ekonomi regional. Misalnya, pada 12 Desember 2015 ada peresmian proyek kerja sama pembangunan pipa gas alam Turkemenistan yang melewati wilayah Afghanistan-Pakistan-India di Ashgabad, ibu kota Turkmenistan.

Peresmian dilakukan oleh Wapres India Hamid Anshari, PM Pakistan Nawaz Sharif, Presiden Afghanistan Ashraf Ghani, dan Presiden Turkmenistan Berdi Muhamedov. Wakil presiden India menegaskan, peresmian ini menandai dimulainya realisasi integrasi ekonomi wilayah Teluk Benggali sampai Laut Kaspia.

Kerja sama ini akan memperkuat kerja sama regional lain yang telah terbentuk sebelumnya, yakni Central Asia Regional Economic Cooperation yang beranggotakan Afghanistan, Kazakstan, Mongolia, Pakistan, Turkmenistan, Tajikistan, dan Uzbekistan.

Kerja sama ekonomi lain negara subregional Asia Selatan, terdiri atas Bhutan, Bangladesh, India, Nepal, Sri Lanka, dan Maladewa. Berbagai keinginan untuk meningkatkan kerja sama regional ini merupakan faktor yang bisa memengaruhi sikap negara-negara regional yang punya kepentingan di Afghanistan.

Paradigma baru lain adalah perubahan kebijakan Amerika Serikat dan anggota koalisinya. Tercapainya kesepakatan nuklir Iran membawa perubahan sikap ke arah peredaan ketegangan di antara negara-negara tetangga Afghanistan. Iran seharusnya tidak lagi dianggap sebagai negara yang menjadi ancaman sebagai kekuatan nuklir oleh negara-negara Teluk Persia, sehingga cepat atau lambat bisa mengurangi ketegangan di kawasan.

Perubahan sikap AS, negara-negara nuklir lainnya, dan Iran ini berpotensi positif menurunkan ketegangan Pakistan-India tentang isu nuklir yang menjadi salah satu pemicu konflik, selain soal Kashmir yang telah akut.

Kebijakan Presiden Barack Obama mengurangi pasukan di Afghanistan secara signifikan pada 2014 juga merupakan faktor penting lainnya bagi perdamaian di Afghanistan. Taliban merespons kebijakan itu dengan bersedia memulai perundingan pada Juni 2015, seperti disebutkan di atas.

Kebijakan Obama ini mendapat apresiasi dari masyarakat Afghanistan, tapi juga menimbulkan kekhawatiran menurunnya situasi keamanan karena tentara nasional tidak mampu mengendalikan keamanan di negerinya. Hal ini merupakan masalah tersendiri bagi AS dan sekutunya untuk mencari cara bagaimana situasi keamanan Afghanistan tetap terkendali.

Kini, jumlah pasukan AS di Afghanistan tinggal 9.800 personel dan total jumlah pasukan koalisi pimpinan AS sekitar 12.500 personel dengan misi terbatas. Pengurangan personel pasukan koalisi sebaiknya diikuti dengan kebijakan, dipandangnya semacam "Marshall Plan" agar ekonomi Afghanistan bangkit kembali. Sebab, dengan perbaikan ekonomi Afghanistan diharapkan mendorong tumbuhnya masyarakat madani.

Harus dicatat bahwa gairah masyarakat madani yang bangkit sejak Hamid Karzai menjadi faktor penting bagi perdamaian. Sebab, dengan itu radikalisme akan terkikis alamiah. Antusiasme itu tampak yang ditandai dengan munculnya LSM yang bergerak di berbagai sektor sosial, advokasi publik, bantuan hukum, pemantauan pemilu, pendidikan, dan lain-lain.

Ratusan pemancar radio juga mengudara setiap hari di sana. Bahkan, siaran telivisi, baik nasional maupun lokal, berkembang pesat. Napas kebebasan mengambil ruang cukup luas mendesak suasana ketertutupan sikap yang ditinggalkan oleh konflik hampir 40 tahun. Jelas, ini landasan penting dan sangat berharga untuk tumbuhnya masyarakat sipil atau madani meskipun harus diakui kekuatan radikal masih cukup kuat.

Peranan NU

Iklim kebebasan ini juga ditumbuhkembangkan oleh para ulama Afghanistan? yang dalam perjuangan mengusir tentara pendudukan Uni Soviet mempunyai peranan besar. Dimulai dengan undangan Nahdlatul Ulama (NU) kepada 20 ulama terkemuka dan tokoh LSM Afghanistan pada Juli 2011 untuk menghadiri harlah ke-85 NU.

Dalam kesempatan ini terwujudlah kesepahaman perlunya tukar-menukar pengalaman, terutama bagaimana ulama Indonesia berperan serta membangun landasan masyarakat nasional yang demokratis dan agamais. Mantan presiden Afghanistan Burhanudin Rabbani, pemimpin mujahidin Jemaat Islami yang berorientasi Ikhwanul Muslimin, menginisiasi agar NU mengirim ulama dan membangun pusat dakwah di Kabul.

Rabbani menggarisbawahi doktrin tawasuth (moderat), tawazun (seimbang), dan tasamuh (toleransi) harus dikembangkan untuk menata kembali masyarakat Afghanistan yang rapuh sebagai dampak perang sejak 1979. Berkat dukungan Kemenlu RI, khususnya Kedutaan Besar Indonesia di Kabul dan Kementerian Agama, pusat dakwah itu sedang dalam proses pembangunan.

Sejak Juni 2014, ulama Afghanistan telah membentuk organisasi nonpolitik dan independen yang diberi nama "Nahdlatul Ulama Afghanistan" disingkat NUA. Ketika baru dibentuk, hanya tujuh provinsi yang bergabung.

Namun, sejak awal Desember 2015, ulama yang bergabung mencapai 22 provinsi, termasuk eks pendukung Taliban, antara lain, mantan menteri Amar Ma'ruf Nahi Munkar Maulana Qolamudin. NUA telah diakui oleh Pemerintah Afghanistan dan dianggap bisa menjadi ujung tombak pembangunan masyarakat madani dan menjadi penyempurna upaya pembangunan masyarakat modern Afghanistan.

Adalah suatu hal yang mustahil memaksakan demokrasi ala Barat di negeri yang mempunyai budaya dan peradaban yang berakar pada agama, seperti halnya di Afghanistan ini, kecuali melibatkan ulama yang sebelumnya bahkan telah mengalami pencerahan. Hubungan erat antara ulama Afghanistan dan ulama Indonesia, khususnya ulama NU dan NUA, kiranya menjadi faktor cukup penting, terutama untuk mengurangi gap pendekatan Barat yang dipandang sekularistis.

Sebagai contoh, betapa sulitnya ulama Afghanistan menerima kata "demokrasi", tetapi ketika diyakinkan bahwa demokrasi bagi kaum Muslimin adalah musyawarah, mereka akhirnya menerima. Doktrin tawasuth, tasamuh, tawazun, i'tidal, dan musyawarah atau musyarakah, menurut istilah mereka, telah diadopsi oleh NUA.

Perkembangan seperti itu secara signifikan telah mendorong meluasnya masyakarat madani di Afghanistan dan nyatanya telah menjadi bagian penting dalam mewujudkan perdamaian. AS atau Barat tidak seharusnya memaksakan demokrasi menurut dan berdasarkan nilai-nilai mereka, tetapi biarlah masyarakat Afghanistan mengambil nilai-nilai modern secara perlahan sesuai keyakinan agama dan nilai budaya yang menjadi darah dagingnya.

Mewujudkan perdamaian dan mendorong terbentuknya masyarakat modern dan agamais di Afghanistan harus didahului dengan menciptakan stabilitas keamanan dan sikap saling percaya. AS atau Barat dan kekuatan regional lain punya tanggung jawab politis, historis, dan sosiologis, sehingga tidak boleh membiarkan konflik Afghanistan berkelanjutan. Jasa dan pengorbanan rakyat Afghanistan sangatlah besar dalam Perang Dingin dan karena itu wajib diapresiasi.

Penarikan pasukan koalisi pimpinan AS merupakan langkah bijaksana, tetapi dengan langkah itu tidak boleh bersikap masa bodoh dan membiarkan kekuatan radikal dan teroris menguasai Afghanistan. Padahal, keberhasilan membangun negara Islam modern yang demokratis di Afghanistan jelas merupakan tahap penting dan mengandung pengaruh positif yang bersifat langsung terhadap kawasan Timur Tengah pasca-Arab Spring.

Sementara, kesadaran membangun kerja sama ekonomi regional kawasan sekitar Afghanistan menjadi faktor penting lainnya dan merupakan momentum untuk mendorong kesadaran bersama negara-negara regional mendukung terwujudnya stabilitas politik dan keamanan. Ini adalah tugas sejarah mendesak untuk terwujudnya perdamaian dunia. []

REPUBLIKA, 13 Januari 2016
As'ad Said Ali | Tokoh Nahdlatul Ulama (NU)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar