Rabu, 20 Januari 2016

NU dan Gaya Politik Ta’ridh (2)



NU dan Gaya Politik Ta’ridh (2)
Oleh: Syarif Hidayat Santoso

Memasuki orde merdeka, tak dapat dipungkiri peranan seluruh komponen bangsa, baik umat Islam, kaum nasionalis dan juga komunis. Didudukkannya Soekarno sebagai presiden pertama juga mendapat pengakuan NU. Di tengah perseteruan NU dengan Masyumi pasca keluarnya NU dari Masyumi dan juga persoalan DI-TII, problematika ta’ridh menjadi menarik. Ta’ridh justru menjadi solusi di tengah rumitnya problematika politik bangsa.

Persoalan ta’ridh yang paling besar dimulai dari DI-TII dan relasinya dengan Soekarno. DI-TII sendiri mengemuka setelah persoalan perjanjian Renville yang tak disetujui sebagian laskar Hizbullah Sabilillah non NU di Jawa Barat. Pendiri DI-TII, Sekarmadji Marijan Kartosuwiryo adalah pemuda cerdas yang justru hanya memahami agama Islam dari sumber-sumber sekunder berbahasa Belanda. Sama dengan Soekarno yang juga hanya memahami Islam dari sumber-sumber non kitab kuning. Ideologi DI-TII jelas menyebut Indonesia sebagai sesuatu yang harus dijihadi manakala Belanda telah terusir dari Indonesia.

Berbeda dengan NU yang tetap menyebut Indonesia sebagai negara Islam karena telah kembali ke pangkuan umat Islam sendiri. Ideologi Imarahad (Iman, Hijrah dan Jihad) ala Kartosuwiryo justru berbeda jauh dengan NU. Darul Islam menjadi garis batas antara pengikut DI-TII dengan mayoritas masyarakat muslim pada umumnya. Menurut Kartosuwiryo, Keabsahan bangsa Indonesia menjadi tidak sah karena tujuan-tujuan utama guna mencapai mardhatillah dan juga rahmat Allah yang disandarkan kepada dasar Republik Indonesia yang semestinya Islam, jaminan pelaksanaan syariat Islam seluas-luasnya, keterbebasan dari penghambaan, serta kesempatan untuk melakukan kewajiban duniawi dan ukhrawi bagi setiap umat islam belum tercapai. Kartosuwiryo menganggap bahwa konsep-konsep negara Indonesia dibawah Soekarno tidak memuat hal tersebut (Muhtar Ghazali:2004).

Di sisi lain, Soekarno sendiri memiliki garis pemikiran keagamaan yang tak dekat dengan aswaja NU. Dalam bukunya, Pantja Azimat Revolusi, Soekarno berkata “Sebagai fajar sehabis malam yang gelap-gelita, sebagai penutup abad-abad kegelapan, maka didalam abad kesembilan belas berkilau-kilauanlah di dalam dunia ke-islam-an sinarnya dua pendekar, jang namanja tak akan hilang tertulis dalam buku-riwayat muslim, Sheikh Mohammad Abdouh dan Seyid Djamaludin Al Afghani, dua panglima Pan-Islamisme yang telah membangunkan dan menjunjung rakyat Islam di seluruh benua Asia dari kegelapan dan kemunduran (Pantja Azimat Revolusi halaman 16). Jelas arah pemikiran keislaman Soekarno mengarah kepada modernisme Islam ala Abduh dan Al Afghani.

Halaman-halaman tentang keislaman dalam buku tersebut jelas menunjukkan afiliasi Soekarno kepada modernisme Islam dan tak dekat pada Aswaja. Soekarno mengutip gurunya, HOS Cokroaminoto, tokoh Islam modernis pendiri Sarekat Islam. Bahkan Soekarno mengutip gurunya tersebut dalam hal pembenaran terhadap unsur sosialisme dalam Islam. Soekarno memberikan contoh, bahwa rusaknya Islam dari kekhalifahan menjadi kerajaan di masa Ummayah adalah kesalahan Muawiyah yang mengakibatkan rusaknya sistem Islam sosialistis (Pantja Azimat Revolusi:18).

Soekarno jelas pemuja modernisme Islam. Dalam deretan tokoh-tokoh Islam yang disebut Soekarno sebagai propagandis nasionalisme tertera nama-nama sejak Mustafa Kemal, Arabi Pasha, Ali Pasha, Mohammad Farid Bey, Ahmad Bey Agayeff, Mohammad Ali dan Shaukat Ali. Tak ada nama-nama ulama Aswaja yang berjuang dalam memperjuangkan nasionalisme. Namun, yang lebih unik lagi, Soekarno berujar agar Islam berkawan dengan Marxisme (Pantja Azimat Revolusi:19). Jelas Soekarno tak menoleh untuk NU meski dia berhadapan dengan DI-TII, tak akrab pula dengan Masyumi.

Andree Feillard juga memotret bagaimana perseteruan pers NU yaitu Berita Nahdlatoel Oelama pada tahun-tahun menjelang masuknya Jepang ke Indonesia yang berisi pertentangan antara pemikiran Soekarno dengan aliran Aswaja NU. BNO telah menuduh Soekarno terjebak kedalam generalisasi berlebihan karena menimpakan kesalahan kepada umat Islam hanya karena ulah segelintir oknum muslim (Andree Feillard:1999). Jelas, ada citarasa tak harmonis antara Aswaja NU dengan pemikiran keagamaannya Soekarno.

Tapi, meski secara ideologis, Soekarno tak dekat dengan NU, NU tetap mendudukkan Soekarno sebagai pemimpin yang absah secara hukum Islam. Ini terjadi tahun 1954 ketika disematkannya gelar Waliyyul Amri Ad Dlaruri Bisy Syaukah. Sebelumnya, tahun 1940 pada Muktamar Surabaya, NU memilih Soekarno sebagai calon presiden manakala Indonesia merdeka. Persoalan Soekarno secara hukum Islam pada tahun 1954 menjadi menarik. Hal ini bukan saja karena persoalan keabsahan wali hakim bagi penghulu dalam administrasi republik Indonesia. Tapi juga karena persoalan Imamah Kartosuwiryo dalam DI-TII yang menyebut kepemimpinan Soekarno tak sah secara hukum Islam. NU berupaya menyematkan gelar Waliyyul Amri Ad Dlaruri Bisy Syaukah.

Tuduhan bahwa NU menjilat Soekarno dengan gelar tersebut jelas tak benar karena Soekarno sendiri dalam sejumlah tulisannya tak pernah menyebut kelebihan Aswaja. Soekarnopun lebih akrab dengan HOS Cokroaminoto dan surat menyuratnya dengan tokoh Persis, Ahmad Hassan menunjukkan bandul keislaman Soekarno mendekat kearah Islam modernis. NU pun tak mendapat sesuatu yang bernilai positif dari Soekarno pada era 1960-an ketika NU dipaksa menjadi Nasakom selain cercaan dari kalangan eks Masyumi yang menuding NU sebagai partai oportunis. []

Syarif Hidayat Santoso, Kader NU Sumenep, alumni hubungan internasional FISIP Universitas Jember.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar