NU dan Gaya Politik
Ta’ridh (2)
Oleh:
Syarif Hidayat Santoso
Memasuki orde
merdeka, tak dapat dipungkiri peranan seluruh komponen bangsa, baik umat Islam,
kaum nasionalis dan juga komunis. Didudukkannya Soekarno sebagai presiden
pertama juga mendapat pengakuan NU. Di tengah perseteruan NU dengan Masyumi
pasca keluarnya NU dari Masyumi dan juga persoalan DI-TII, problematika ta’ridh
menjadi menarik. Ta’ridh justru menjadi solusi di tengah rumitnya problematika
politik bangsa.
Persoalan ta’ridh
yang paling besar dimulai dari DI-TII dan relasinya dengan Soekarno. DI-TII
sendiri mengemuka setelah persoalan perjanjian Renville yang tak disetujui
sebagian laskar Hizbullah Sabilillah non NU di Jawa Barat. Pendiri DI-TII,
Sekarmadji Marijan Kartosuwiryo adalah pemuda cerdas yang justru hanya memahami
agama Islam dari sumber-sumber sekunder berbahasa Belanda. Sama dengan Soekarno
yang juga hanya memahami Islam dari sumber-sumber non kitab kuning. Ideologi
DI-TII jelas menyebut Indonesia sebagai sesuatu yang harus dijihadi manakala
Belanda telah terusir dari Indonesia.
Berbeda dengan NU
yang tetap menyebut Indonesia sebagai negara Islam karena telah kembali ke
pangkuan umat Islam sendiri. Ideologi Imarahad (Iman, Hijrah dan Jihad) ala
Kartosuwiryo justru berbeda jauh dengan NU. Darul Islam menjadi garis batas
antara pengikut DI-TII dengan mayoritas masyarakat muslim pada umumnya. Menurut
Kartosuwiryo, Keabsahan bangsa Indonesia menjadi tidak sah karena tujuan-tujuan
utama guna mencapai mardhatillah dan juga rahmat Allah yang disandarkan kepada
dasar Republik Indonesia yang semestinya Islam, jaminan pelaksanaan syariat
Islam seluas-luasnya, keterbebasan dari penghambaan, serta kesempatan untuk
melakukan kewajiban duniawi dan ukhrawi bagi setiap umat islam belum tercapai.
Kartosuwiryo menganggap bahwa konsep-konsep negara Indonesia dibawah Soekarno
tidak memuat hal tersebut (Muhtar Ghazali:2004).
Di sisi lain,
Soekarno sendiri memiliki garis pemikiran keagamaan yang tak dekat dengan
aswaja NU. Dalam bukunya, Pantja Azimat Revolusi, Soekarno berkata “Sebagai
fajar sehabis malam yang gelap-gelita, sebagai penutup abad-abad kegelapan,
maka didalam abad kesembilan belas berkilau-kilauanlah di dalam dunia
ke-islam-an sinarnya dua pendekar, jang namanja tak akan hilang tertulis dalam
buku-riwayat muslim, Sheikh Mohammad Abdouh dan Seyid Djamaludin Al Afghani,
dua panglima Pan-Islamisme yang telah membangunkan dan menjunjung rakyat Islam
di seluruh benua Asia dari kegelapan dan kemunduran (Pantja Azimat Revolusi
halaman 16). Jelas arah pemikiran keislaman Soekarno mengarah kepada modernisme
Islam ala Abduh dan Al Afghani.
Halaman-halaman
tentang keislaman dalam buku tersebut jelas menunjukkan afiliasi Soekarno
kepada modernisme Islam dan tak dekat pada Aswaja. Soekarno mengutip gurunya,
HOS Cokroaminoto, tokoh Islam modernis pendiri Sarekat Islam. Bahkan Soekarno
mengutip gurunya tersebut dalam hal pembenaran terhadap unsur sosialisme dalam
Islam. Soekarno memberikan contoh, bahwa rusaknya Islam dari kekhalifahan
menjadi kerajaan di masa Ummayah adalah kesalahan Muawiyah yang mengakibatkan rusaknya
sistem Islam sosialistis (Pantja Azimat Revolusi:18).
Soekarno jelas pemuja
modernisme Islam. Dalam deretan tokoh-tokoh Islam yang disebut Soekarno sebagai
propagandis nasionalisme tertera nama-nama sejak Mustafa Kemal, Arabi Pasha,
Ali Pasha, Mohammad Farid Bey, Ahmad Bey Agayeff, Mohammad Ali dan Shaukat Ali.
Tak ada nama-nama ulama Aswaja yang berjuang dalam memperjuangkan nasionalisme.
Namun, yang lebih unik lagi, Soekarno berujar agar Islam berkawan dengan
Marxisme (Pantja Azimat Revolusi:19). Jelas Soekarno tak menoleh untuk NU meski
dia berhadapan dengan DI-TII, tak akrab pula dengan Masyumi.
Andree Feillard juga
memotret bagaimana perseteruan pers NU yaitu Berita Nahdlatoel Oelama pada
tahun-tahun menjelang masuknya Jepang ke Indonesia yang berisi pertentangan
antara pemikiran Soekarno dengan aliran Aswaja NU. BNO telah menuduh Soekarno
terjebak kedalam generalisasi berlebihan karena menimpakan kesalahan kepada
umat Islam hanya karena ulah segelintir oknum muslim (Andree Feillard:1999). Jelas,
ada citarasa tak harmonis antara Aswaja NU dengan pemikiran keagamaannya
Soekarno.
Tapi, meski secara
ideologis, Soekarno tak dekat dengan NU, NU tetap mendudukkan Soekarno sebagai
pemimpin yang absah secara hukum Islam. Ini terjadi tahun 1954 ketika disematkannya
gelar Waliyyul Amri Ad Dlaruri Bisy Syaukah. Sebelumnya, tahun 1940 pada
Muktamar Surabaya, NU memilih Soekarno sebagai calon presiden manakala
Indonesia merdeka. Persoalan Soekarno secara hukum Islam pada tahun 1954
menjadi menarik. Hal ini bukan saja karena persoalan keabsahan wali hakim bagi
penghulu dalam administrasi republik Indonesia. Tapi juga karena persoalan
Imamah Kartosuwiryo dalam DI-TII yang menyebut kepemimpinan Soekarno tak sah
secara hukum Islam. NU berupaya menyematkan gelar Waliyyul Amri Ad Dlaruri Bisy
Syaukah.
Tuduhan bahwa NU
menjilat Soekarno dengan gelar tersebut jelas tak benar karena Soekarno sendiri
dalam sejumlah tulisannya tak pernah menyebut kelebihan Aswaja. Soekarnopun
lebih akrab dengan HOS Cokroaminoto dan surat menyuratnya dengan tokoh Persis,
Ahmad Hassan menunjukkan bandul keislaman Soekarno mendekat kearah Islam
modernis. NU pun tak mendapat sesuatu yang bernilai positif dari Soekarno pada
era 1960-an ketika NU dipaksa menjadi Nasakom selain cercaan dari kalangan eks
Masyumi yang menuding NU sebagai partai oportunis. []
Syarif
Hidayat Santoso,
Kader NU Sumenep, alumni hubungan internasional FISIP Universitas Jember.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar