Jalur
Rempah Bukan Jalur Sutra Maritim (1)
Oleh:
Azyumardi Azra
Mulai
2016, Indonesia bukan hanya menjadi wilayah ‘tanpa batas’ terkait implementasi
Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA), tetapi juga agaknya kian sulit menghindari silk road boom yang terus
digiatkan pemerintah Cina. Selain jalur sutra darat yang melintasi Asia Tengah,
Cina juga terus mempercepat pembentukan maritime
silk road—jalur sutra maritim. Terlepas dari soal ekonomi dan
politik terkait, secara historis apakah maritime
silk road itu eksis? Bagaimana kaitannya dengan jalur rempah (spice road) yang terekam
sejarah identik dengan nusantara-Indonesia?
“Jalur
rempah adalah salah satu anomali terbesar dalam sejarah, [masih banyak]
terselubung dalam kabut”, demikian tulisan pengantar untuk buku karya John
Keay, The Spice Route: A
History (2007). Tetapi, segera ditambahkan, rute rempah itu telah
eksis sebelum seorang pun tahu tentang konfigurasinya. Rempah-rempah datang
dari negeri yang tidak pernah terbayangkan dan seolah tidak pernah bisa
terjangkau orang-orang di kawasan lain, khususnya di Eropa. Karena itulah,
rempah-rempah beserta jalurnya sangat diinginkan orang Eropa.
Rute
rempah telah berumur lebih tiga milenium. Orang harus mengelilingi dunia untuk
membuat kronik lengkap tentang rute perdagangan rempah. Dengan bantuan berbagai
peta kuno, penuturan dan cerita para pengembara, buku panduan pelayaran lama,
catatan muatan kapal, John Keay merekonstruksi pelayaran orang Mesir kuno yang
memelopori perdagangan maritim rempah dari arah barat menuju ke timur dengan
melintasi Semenanjung Arabia; para pelayar Romawi-Yunani yang menemukan rute
perjalanan ke India dan Kepulauan Nusantara untuk mendapatkan merica dan jahe (ginger).
Masa
puncak jalur rempah tercapai sejak kemunculan Islam dan kebangkitan Dinasti
Umayyah dan Abbasiyah. Mereka membangkitkan perdagangan melewati jalur rempah
pada masa pra-Islam. Kemudian, sejak abad ke-7 dan 8 M, para pelayar dan
pedagang Muslim dari Arabia seperti dilaporkan al-Ramhurmuzi dalam Aja’ib al-Hindi
berlayar ke pelabuhan-ibu kota Sriwijaya untuk membeli rempah. Para pelayar dan
pedagang Muslim dari Arabia ini kemudian juga sampai ke ‘Kepulauan
Rempah-rempah’ (Spice
Islands), Maluku.
Dengan
demikian, bersama para pelayar dan pedagang Muslim lokal yang mendapat
patronase dari sultan atau raja lokal, pedagang Muslim dari Arabia dan wilayah
Lautan India membangkitkan kembali jalur rempah. Sepanjang jalur rempah ini,
perdagangan berlangsung bebas (international
free trade). Dengan berlakunya perdagangan bebas, muncullah masa
yang disebut sejarawan Anthony Reid sebagai ‘the age of commerce’—masa kejayaan
perdagangan di ‘negeri bawah angin’ (the
land below the wind atau zirbadat
dalam bahasa Arab).
Dalam
masa pasca-Abbasiyah, barulah pengembara Eropa mulai mencari jalur rempah.
Christopher Columbus berlayar ke arah barat guna menemukan rempah; sebaliknya
Vasco de Gama berlayar ke arah timur untuk tujuan yang sama; atau Magellan
menyeberangi Lautan Pasifik dengan niat yang sama.
Menyimak
semua ini, bisa dipahami mengapa akhirnya berbagai kekuatan Eropa terlibat
dalam pertarungan, dan perang untuk menguasai rute pelayaran rempah dan
sekaligus bumi penghasil rempah, Kepulauan Nusantara. Kedatangan
kolonialisme Eropa yang menerapkan monopoli perdagangan rempah dan komoditas
lain mengakibatkan retardasi perdagangan dan ekonomi masyarakat lokal.
Rempah
atau rempah-rempah dalam bahasa Inggris disebut spices yang berasal dari bahasa Latin spices yang berarti
‘barang yang memiliki nilai istimewa’—bukan barang biasa. Karena itu, tidak
mengherankan kalau orang-orang berani menempuh perjalanan jauh ke Timur, ke
Kepulauan Nusantara untuk mendapatkan spices
yang mengandung banyak nilai ritual dan pengobatan serta eksotisme. Rempah
hanya bisa tumbuh di kawasan tropis seperti Nusantara; dan lebih khusus lagi
Kepulauan Maluku yang menghasilkan berbagai macam rempah dikenal dalam
literatur perjalanan sebagai ‘Spice Islands’.
Menurut
UNESCO, jalur rempah adalah nama yang diberikan pada rute jaringan pelayaran
yang menghubungkan Dunia Timur dengan Dunia Barat. Jalur rempah terbentang
mulai dari sebelah barat-selatan Jepang menyambung dengan Kepulauan Nusantara
(Indonesia) melewati selatan India ke laut Merah untuk melintasi daratan
Arabia-Mesir terus memasuki Laut Tengah dan selatan Eropa.
Mengikuti
jalur rempah seperti itu, perjalanan melewati jalur ini menempuh jarak sekitar
15 ribu km. Bisa dibayangkan kesulitan menempuh perjalanan sangat panjang ini
di masa silam karena di masa sekarang saja—era pesawat jet—juga tidak
mudah.
Dalam
periwayatan historis terlihat tidak ada maritime
silk road yang kini ingin ‘dibangkitkan kembali’ pemerintah Cina
belakangan ini. Karena itu, perlu dikaji lebih jauh implikasi dan reperkusi
ekonomi dan politiknya terhadap Indonesia. []
REPUBLIKA,
07 Januari 2016
Azyumardi Azra | Guru Besar UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta; Penerima MIPI Award 2014 dari Masyarakat Ilmu
Pemerintahan Indonesia
Tidak ada komentar:
Posting Komentar