Senin, 11 Januari 2016

Azyumardi: Jalur Rempah Bukan Jalur Sutra Maritim (1)



Jalur Rempah Bukan Jalur Sutra Maritim (1)
Oleh: Azyumardi Azra

Mulai 2016, Indonesia bukan hanya menjadi wilayah ‘tanpa batas’ terkait implementasi Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA), tetapi juga agaknya kian sulit menghindari silk road boom yang terus digiatkan pemerintah Cina. Selain jalur sutra darat yang melintasi Asia Tengah, Cina juga terus mempercepat pembentukan maritime silk road—jalur sutra maritim. Terlepas dari soal ekonomi dan politik terkait, secara historis apakah maritime silk road itu eksis? Bagaimana kaitannya dengan jalur rempah (spice road) yang terekam sejarah identik dengan nusantara-Indonesia?

“Jalur rempah adalah salah satu anomali terbesar dalam sejarah, [masih banyak] terselubung dalam kabut”, demikian tulisan pengantar untuk buku karya John Keay, The Spice Route: A History (2007). Tetapi, segera ditambahkan, rute rempah itu telah eksis sebelum seorang pun tahu tentang konfigurasinya. Rempah-rempah datang dari negeri yang tidak pernah terbayangkan dan seolah tidak pernah bisa terjangkau orang-orang di kawasan lain, khususnya di Eropa. Karena itulah, rempah-rempah beserta jalurnya sangat diinginkan orang Eropa.

Rute rempah telah berumur lebih tiga milenium. Orang harus mengelilingi dunia untuk membuat kronik lengkap tentang rute perdagangan rempah. Dengan bantuan berbagai peta kuno, penuturan dan cerita para pengembara, buku panduan pelayaran lama, catatan muatan kapal, John Keay merekonstruksi pelayaran orang Mesir kuno yang memelopori perdagangan maritim rempah dari arah barat menuju ke timur dengan melintasi Semenanjung Arabia; para pelayar Romawi-Yunani yang menemukan rute perjalanan ke India dan Kepulauan Nusantara untuk mendapatkan merica dan jahe (ginger).

Masa puncak jalur rempah tercapai sejak kemunculan Islam dan kebangkitan Dinasti Umayyah dan Abbasiyah. Mereka membangkitkan perdagangan melewati jalur rempah pada masa pra-Islam. Kemudian, sejak abad ke-7 dan 8 M, para pelayar dan pedagang Muslim dari Arabia seperti dilaporkan al-Ramhurmuzi dalam Aja’ib al-Hindi berlayar ke pelabuhan-ibu kota Sriwijaya untuk membeli rempah. Para pelayar dan pedagang Muslim dari Arabia ini kemudian juga sampai ke ‘Kepulauan Rempah-rempah’ (Spice Islands), Maluku.

Dengan demikian, bersama para pelayar dan pedagang Muslim lokal yang mendapat patronase dari sultan atau raja lokal, pedagang Muslim dari Arabia dan wilayah Lautan India membangkitkan kembali jalur rempah. Sepanjang jalur rempah ini, perdagangan berlangsung bebas (international free trade). Dengan berlakunya perdagangan bebas, muncullah masa yang disebut sejarawan Anthony Reid sebagai ‘the age of commerce’—masa kejayaan perdagangan di ‘negeri bawah angin’ (the land below the wind atau zirbadat dalam bahasa Arab).

Dalam masa pasca-Abbasiyah, barulah pengembara Eropa mulai mencari jalur rempah. Christopher Columbus berlayar ke arah barat guna menemukan rempah; sebaliknya Vasco de Gama berlayar ke arah timur untuk tujuan yang sama; atau Magellan menyeberangi Lautan Pasifik dengan niat yang sama.

Menyimak semua ini, bisa dipahami mengapa akhirnya berbagai kekuatan Eropa terlibat dalam pertarungan, dan perang untuk menguasai rute pelayaran rempah dan sekaligus bumi penghasil rempah, Kepulauan Nusantara.  Kedatangan kolonialisme Eropa yang menerapkan monopoli perdagangan rempah dan komoditas lain mengakibatkan retardasi perdagangan dan ekonomi masyarakat lokal.

Rempah atau rempah-rempah dalam bahasa Inggris disebut spices yang berasal dari bahasa Latin spices yang berarti ‘barang yang memiliki nilai istimewa’—bukan barang biasa. Karena itu, tidak mengherankan kalau orang-orang berani menempuh perjalanan jauh ke Timur, ke Kepulauan Nusantara untuk mendapatkan spices yang mengandung banyak nilai ritual dan pengobatan serta eksotisme. Rempah hanya bisa tumbuh di kawasan tropis seperti Nusantara; dan lebih khusus lagi Kepulauan Maluku yang menghasilkan berbagai macam rempah dikenal dalam literatur perjalanan sebagai ‘Spice Islands’. 

Menurut UNESCO, jalur rempah adalah nama yang diberikan pada rute jaringan pelayaran yang menghubungkan Dunia Timur dengan Dunia Barat. Jalur rempah terbentang mulai dari sebelah barat-selatan Jepang menyambung dengan Kepulauan Nusantara (Indonesia) melewati selatan India ke laut Merah untuk melintasi daratan Arabia-Mesir terus memasuki Laut Tengah dan selatan Eropa.          

Mengikuti jalur rempah seperti itu, perjalanan melewati jalur ini menempuh jarak sekitar 15 ribu km. Bisa dibayangkan kesulitan menempuh perjalanan sangat panjang ini di masa silam karena di masa sekarang saja—era pesawat jet—juga tidak mudah.         

Dalam periwayatan historis terlihat tidak ada maritime silk road yang kini ingin ‘dibangkitkan kembali’ pemerintah Cina belakangan ini. Karena itu, perlu dikaji lebih jauh implikasi dan reperkusi ekonomi dan politiknya terhadap Indonesia. []

REPUBLIKA, 07 Januari 2016
Azyumardi Azra | Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah Jakarta; Penerima MIPI Award 2014 dari Masyarakat Ilmu Pemerintahan Indonesia

Tidak ada komentar:

Posting Komentar