Ketika Pengarang Alfiyah Dihinggapi Rasa Ujub
Siapa tak kenal kitab Alfiyah? Seolah
memancarkan berkah tak kunjung habis, nahdham seribu bait yang mengulas ilmu
nahwu ini dipelajari terus di berbagai majelis ilmu hingga kini.
Pengarangnya, Al-‘Allâmah Abû ‘Abdillâh
Muhammad Jamâluddîn ibn Mâlik at-Thâî atau tersohor dengan sebutan Ibnu Malik,
merupakan pakar gramatika Arab ternama dari Andalusia (Spanyol). Alfiyah yang
merupakan ringkasan karya sebelumnya, al-Kafiyah asy-Syafiyah, pun dipuji
banyak cendekiawan, dan melahirkan berjilid-jilid kitab syarah dan karya
komentar yang sudah tak terbilang.
Namun demikian, ada cerita menarik di sela
proses penulisan muqaddimah nadham luar biasa yang masih dilantunkan di
berbagai pesantren dan madrasah ini.
وَأسْتَـعِيْنُ
اللهَ فِيْ ألْفِــيَّهْ ¤ مَقَاصِدُ الْنَّحْوِ بِهَا مَحْوِيَّهْ
(Dan aku memohon kepada Allah untuk kitab
Alfiyah, yang dengannya dapat mencakup seluruh materi Ilmu Nahwu)
تُقَرِّبُ
الأَقْصَى بِلَفْظٍ مُوْجَزِ ¤ وَتَبْسُـطُ الْبَذْلَ بِوَعْدٍ مُنْجَزِ
(Mendekatkan pengertian yang jauh dengan
lafadz yang ringkas serta dapat memberi penjelasan rinci dengan waktu yang
singkat)
وَتَقْتَضِي
رِضَاً بِغَيْرِ سُخْطِ ¤ فَـائِقَةً أَلْفِــــيَّةَ ابْنِ مُعْطِي
(Kitab ini menuntut kerelaan tanpa kemarahan,
melebihi kitab Alfiyah-nya Ibnu Mu’thi)
Sampai di sini Ibnu Malik hendak menjelaskan
kepada pembaca bahwa kitabnya lebih unggul dan komprehensif dari kitab karya
ulama sebelumnya, yakni Yahya ibn Abdil Mu’thî ibn Abdin Nur Az-Zawâwi
al-Maghribi atau Ibnu Mu'thi. Dalam kitab Hasyiyah al-'Allâmah Ibnu Hamdûn 'ala
Syarhil Makûdî li Alfiyati ibn Mâlik dikisahkan, setelah itu Ibnu Malik
meneruskannya dengan bait:
فَائِقَةً
لَهَا بِأَلْفِ بَيْتٍ ¤ ................
(Mengunggulinya [karya Ibnu Mu’thi] dengan
seribu bait,…....)
Belum sempurna bait ini dibuat, tiba-tiba
saja Imam Ibnu Malik terhenti. Inspirasinya lenyap, tak mampu menulis apa yang
hendak dilanjutkan. Suasana pikiran kosong semacam ini bahkan berlangsung
sampai beberapa hari. Hingga kemudian ia bertemu seseorang dalam mimpi.
“Aku
mendengar kau sedang mengarang Alfiyah tentang ilmu nahwu?”
“Betul,” sahut Ibnu Malik.
“Sampai di mana?”
“Fâiqatan lahâ bi alfi baitin…”
“Apa yang membuatmu berhenti menuntaskan bait
ini?”
“Aku lesu tak berdaya selama beberapa hari,”
jawabnya lagi.
“Kau ingin menuntaskannya?”
“Ya.”
Lalu orang dalam mimpi itu menyambung bait فَائِقَةً لَهَا بِأَلْفِ بَيْتٍ yang terpotong dengan
وَ اْلحَيُّ قَدْ يَغْلِبُ أَلْفَ مَيِّتٍ (Orang hidup memang terkadang bisa
menaklukkan seribu orang mati). Terang saja, orang hidup meski cuma seorang
dijamin sanggup mengalahkan berapa pun banyaknya orang yang tak punya kuasa
pembelaan lantaran sudah mati.
Kalimat ini merupakan sindiran kepada Ibnu
Malik atas rasa bangganya (‘ujub) terhadap kitab Alfiyah yang dianggap lebih
bagus dari pengarang sebelumnya yang sudah wafat. Sebuah tamparan keras
menghantam perasaan sang pengarang Alfiyah
Segera Ibnu Malik mengonfirmasi, “Apakah kau
Ibnu Mu’thi?”
“Betul.”
Ibnu Malik insaf dan malu luar biasa. Pagi
harinya seketika ia membuang potongan bait yang belum tuntas itu dan
menggantinya dengan dua bait muqaddimah yang lebih sempurna:
وَهْوَ
بِسَبْقٍ حَائِزٌ تَفْضِيْلاً ¤ مُسْـتَوْجِبٌ ثَنَائِيَ الْجَمِيْلاَ
(Beliau [Ibnu Mu’thi] lebih istimewa karena
lebih awal. Beliau berhak atas sanjunganku yang indah)
وَاللَّهُ
يَقْضِي بِهِبَـاتٍ وَافِرَهْ ¤ لِي وَلَهُ فِي دَرَجَاتِ الآخِرَهْ
(Semoga Allah melimpahkan karunianya yang
luas untukku dan untuk beliau pada derajat-derajat tinggi akhirat)
Kisah di atas mengungkap pesan bahwa tak ada
seorang pun yang bisa beranggapan keilmuannya secara mutlak lebih unggul dari
ulama sebelumnya. Uraian Ibnu Malik dalam Alfiyah-nya mungkin lebih lengkap dan
detail dari karya Ibnu Mu’thi, tapi karya pendahulu tetap lebih penting karena
memberi dasar-dasar rintisan bagi karangan ulama berikutnya. Dalam sebuah
hadits disebutkan: âbâukum khairun min abnâikum ilâ yaumil qiyâmah (para pendahulu
[pelopor] lebih baik dari generasi penerus hingga hari kiamat).
Cerita tersebut juga mengingatkan kita
tentang pentingnya tetap dalam ketawadukan. Capaian puncak prestasi tertentu,
sehebat apapun, menjadi rendah ketika disikapi dengan kecongkakan. Ibnu Malik
sempat sedikit tergelincir ke arah itu, lantas segera berbenah. Alhasil,
karyanya terus mengalirkan pengetahuan dan berkah, bak mata air yang tak
kunjung padam hingga sekarang. []
(Mahbib Khoiron)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar