Kerukunan,
Kekerasan, dan Terorisme
Oleh:
Azyumardi Azra
Kerukunan
intra dan antar-umat beragama merupakan agenda yang tak kunjung selesai. Meski
Indonesia secara umum adalah negara di mana kerukunan umat beriman yang berbeda
aliran, mazhab, denominasi dan agama cukup baik, perkembangan di dalam dan luar
negeri bukan tidak sering memunculkan tensi, konflik, kekerasan dan bahkan
terorisme atas nama agama.
Dalam
waktu empat tahun terakhir dapat dikatakan tidak terjadi peristiwa kekerasan
atau terorisme berskala besar. Kekerasan terhadap warga Ahmadiyah di Cikeusik,
Banten terjadi empat tahun lalu (6/2/2011). Begitu juga bom bunuh diri di
Masjid Polresta Cirebon (Jumat 15/4/2011). Lalu ada kekerasan terhadap penganut
Syiah di Sampang Madura (26/8/2012).
Selain
itu ada kasus gereja Yasmin Bogor yang penyelesaiannya belum diterima semua
pihak; lalu ada insiden Tolikara ketika massa Gereja Injili di Indonesia (GIDI)
membubarkan jamaah Muslim yang sedang salat Idul Fitri (17/7/2015) dan
pembakaran gereja di Singkil (13/10/2015).
Semua
kasus yang dapat mengganggu kerukunan umat beragama berbeda itu dapat disebut
sebagai isolated cases—kasus-kasus terpencil; bukan merupakan gejala umum yang
berlaku di seluruh tanahair. Kasus-kasus itu lebih merupakan letupan terkait
situasi lokalitas tertentu sehingga tidak menyebar ke wilayah lain di tanahair.
Karena itu pula, secara umum dapat dikatakan kekerasan atas nama atau bermotif
agama menurun cukup signifikan.
Keadaan
ini juga terlihat dari kesimpulan temuan Pusdiklat Kehidupan Agama,
Balitbang-Diklat yang diumumkan dan diekspos pada 22/12/15 lalu. Penelitian
menemukan secara umum terjadi peningkatan tingkat kerukunan di berbagai
provinsi Indonesia. Walaupun demikian, jelas masih terdapat sejumlah
‘titik panas’ (hot spots) di beberapa kota atau kabupaten seperti tercermin
dalam laporan Indeks Toleransi (16/11/2015). Di kawasan kota atau kabupaten ini
masih terdapat masalah tertentu yang mengganggu kerukunan baik intra maupun
antar-agama.
Dalam
skala lebih serius, ancaman terhadap kerukunan atau bahkan stabilitas
sosial-politik Indonesia datang dari warga Indonesia yang tergabung dalam
kelompok, sel atau simpatisan IS (ISIS). Dalam silaturahim dengan para pimpinan
Ormas dan tokoh Islam yang diprakarsai Wakil Presiden Jusuf Kalla (16/12/15),
terungkap ada sembilan kelompok atau sel di berbagai tempat di Tanah Air yang
aktif mendukung IS.
Menurut
Kapolri Jenderal Polisi Badroddin Haiti, warga terindikasi terkait dengan IS di
seluruh Indonesia berjumlah 1.085 orang; kelompok inti 543, pendukung 246 dan
simpatisan 296 orang. Lalu ada 408 warga Indonesia yang sudah atau terindikasi
bakal bergabung dengan IS. Dari jumlah itu, tewas di IS 54 orang; kembali ke
Indonesia 47, dan rencana berangkat 70 orang.
Mereka
ini, khususnya yang sudah kembali sebagai veteran atau bakal kembali nanti
potensial melakukan kekerasan atau aksi teror sebagai bukti loyalitas mereka
kepada IS. Mereka dapat memanfaatkan momentum tertentu seperti suasana liburan
keagamaan akhir dan penggantian tahun untuk melakukan aksi. Indonesia patut
mewaspadai kemungkinan ini, karena Indonesia sejauh ini terhindar dari aksi
kekerasan atau terorisme terkait IS.
Menghadapi
gejala cukup mencemaskan terkait IS, Wakil Presiden menyatakan pemerintah
dan aparat kepolisian dan keamanan memilih ‘pendekatan lunak’ (soft approach) dari
‘pendekatan keras” (hard
approach). Para pimpinan ormas Islam sepakat dengan pendekatan
lunak; pemerintah dan aparat keamanan perlu bertindak tegas tapi harus tetap
terukur. Pendekatan keras bisa memunculkan lingkaran kekerasan dan dendam yang
sulit diakhiri. “Menghadapi kekerasan dan terorisme tidak bisa dengan aliansi
militer,” tegas Wapres Jusuf Kalla.
Karena
itu, penguatan kerukunan dan pencegahan kekerasan dan terorisme
memerlukan pendekatan komprehensif. Dari sudut negara, Indonesia harus
tetap mampu memelihara stabilitas politik, ekonomi dan sosial. Alasannya jelas,
kekerasan dan terorisme seperti membiak di Timur Tengah bersumber dari negara
gagal (failed states)
yang tidak mampu menciptakan ketidakstabilan politik. Di sini ini pemerintah
Indonesia berkewajiban menciptakan keadilan ekonomi, politik, sosial, dan
hukum. Kegagalan menciptakan keadilan menjadi sumber utama keresahan dan
pergolakan sosial dan politik.
Instabililitas
politik karena berbagai faktor domestik maupun luar—seperti penyerbuan AS dan
sekutu ke Iraq—mendorong radikalisasi terutama di kalangan mereka yang disebut
Jusuf Kalla sebagai ‘anak-anak muda pemarah’ (angry young people). Banyak di antara mereka
semula tidak akrab dengan agama, tetapi kemudian melalui cuci otak dan
indoktrinasi tertentu mengalami radikalisasi—siap melakukan kekerasan dan
terorisme.
Dalam
konteks terakhir ini, ormas Islam yang memiliki jangkauan anggota, lembaga dan
jaringan sampai ke tingkat akar rumput berkewajiban senantiasa meneguhkan
pemahaman dan praksis Islam wasathiyah yang inklusif, toleran dan damai. Tak
kurang pentingnya, seperti ditegaskan Ketua Umum PB NU, KH Agil Siroj, perlu
penguatan kepaduan keislaman dan keindonesiaan. Kepaduan Islam dengan
nasionalisme Indonesia merupakan faktor penting untuk memelihara Indonesia yang
rukun, damai, dan berkeadaban. []
REPUBLIKA,
31 Desember 2015
Azyumardi Azra | Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah Jakarta;
Penerima MIPI Award 2014 dari Masyarakat Ilmu Pemerintahan Indonesia
Tidak ada komentar:
Posting Komentar