Anak Kampung
Oleh: Komaruddin Hidayat
Khususnya di Pulau Jawa, suasana kampung dulu dan sekarang sudah
banyak berubah. Saya terlahir di Kampung Pabelan, dekat Candi Borobudur,
Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, akhir 1953. Dalam rentang waktu 60 tahunan,
banyak yang sudah berubah, sekalipun banyak pula yang masih sama. Jumlah
penduduk desa bertambah banyak, namun dari segi ekonomi dan pendidikan tidak
banyak berubah. Sawah-sawah di perdesaan Jawa semakin sempit, belum setelah
dibagi-bagi pada anak-anak sebagai ahli warisnya, sementara sektor industri
hampir-hampir tidak berkembang, khususnya di daerah Magelang.
Sampai tamat SLTA praktis saya habiskan umur saya di Desa Pabelan,
baik untuk belajar di tingkat sekolah dasar —dulu namanya SR (Sekolah Rakyat)—
maupun sekolah lanjutan di Pesantren Pabelan. Tumbuh sebagai anak di kampung,
yang mengasuh seakan seluruh warga kampung karena orang tua saling mengetahui
dan menjaga keselamatan anak-anak, sehingga ke mana pun anak pergi bermain,
orang tua tidak merasa khawatir. Anak kampung itu tak ubahnya ayam kampung.
Pagipagi dilepas dari kandangnya, sore akan kembali dengan
sendirinya dengan perut kenyang. Kelebihan ayam kampung itu bisa cari makan
sendiri di kebun, tidak mudah terserang penyakit, daging dan telurnya lebih
mahal harganya disbanding ayam negeri yang hidupnya dimanjakan. Untuk
menyalurkan kebutuhan bermain bagi anak kampung sangatlah murah dan mudah.
Semua alat yang dibutuhkan bisa dibuat sendiri dengan bahan yang tersedia.
Misalnya membuat layanglayang, mobil-mobilan dari kulit jeruk,
petasan bambu dengan karbit, main gobak sodor, gundu, adu menyelam di sungai,
adu jangkrik, dan masih banyak permainan lain yang sekarang tidak lagi populer.
Semasa kecil, masjid merupakan pusat berkumpulnya anak-anak baik untuk bermain
di halamannya yang luas maupun di ruang serambi. Bahkan sekali-sekali kami
tidur di masjid. Kami belajar membaca Alquran tidak menunggu disuruh siapa pun,
tetapi secara suka rela kami belajar di masjid dengan guru yang juga dengan
suka rela mengajari kami.
Seiring berjalannya waktu, suasana damai perdesaan yang kami alami
dulu sekarang sudah berubah. Listrik masuk desa sungguh sangat signifikan
pengaruhnya. Kehadiran televisi telah mengurangi atau mengalihkan aktivitas
anak-anak untuk bermain di luar rumah. Saya tak lagi melihat permainan anak-anak
yang dahulu sangat populer dari ujung ke ujung desa.
Jumlah sekolah dasar meningkat dengan bangunannya yang permanen.
Beberapa remajanya mulai mengenal kehidupan kota, sebagian bekerja sebagai
buruh di kota, pekerja bangunan dan jasa angkutan umum. Saya sulit
menduga-duga, apa yang menjadi mimpi anak-anak remaja kampung yang dari segi
pendidikan mayoritas hanya tamat SD, sebagian kecilnya lagi hanya SMP. Pasti
mereka tidak tahu apa itu MEA, Masyarakat Ekonomi ASEAN, tidak juga bonus
demografi, yang justru akan menjadi beban jika usia angkatan kerja
kitamiskinpendidikan, skill, dan gizi.
Orang tua sering kali bercerita betapa susahnya hidup di zaman
Belanda dan Jepang. Tanpa disadari, cerita pahit kenangan masa lalu itu bisa
memengaruhi mental miskin warga desa serta tahan banting. Bahwa kondisi
sekarang jauh lebih baik ketimbang zaman dulu. Kalaupun di dunia kita kalah,
kemenangan di akhirat sudah menunggu asal kita sabar dan tawakal kepada Allah.
Kehidupan desa yang saya rasakan semasa kecil, hidup itu sekadar untuk bertahan
dan menapaki hari tua sembari berdamai dengan nasib.
Ketika pengaruh kota masuk desa, terutama melalui televisi dan
banyak warga kampong yang mulai bekerja di kota, apa pun pekerjaannya, tembok
isolasi mulai terbuka. Kemiskinan semakin dirasakan sebagai penyiksaan, tidak
bisa lagi dijinakkan dengan membandingkan semasa penjajahan Belanda dan
pendudukan Jepang.
Cerita-cerita masa lalu tidak lagi populer, menghilang bersama
beragam permainan semasa kecil saya dulu. Yang kemudian muncul adalah tontonan
gebyar artis sinetron dan penyanyi dangdut yang mendadak populer dan kaya, yang
mungkin sekali menstimulasi anak-anak kampung untuk bermimpi bagaimana mengubah
nasib.
Saya sendiri merasa beruntung berhasil menerobos tembok isolasi
kampung, lalu bergulat berguru kehidupan di Jakarta sejak 1974. Tetapi setiap
pulang kampung, yang muncul adalah rasa empati dan kasihan melihat kondisi
perdesaan yang masih tertindas oleh kemajuan kota. Dalam konteks nasional,
pemerintah kita memang tidak punya master plan bagaimana membangun perdesaan di
Pulau Jawa yang padat penduduk ini. []
KORAN SINDO, 08 Januari 2016
Komaruddin Hidayat ; Guru Besar Universitas Islam
Negeri Syarif Hidayatullah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar