Rabu, 13 Januari 2016

Kang Komar: Anak Kampung



Anak Kampung
Oleh: Komaruddin Hidayat

Khususnya di Pulau Jawa, suasana kampung dulu dan sekarang sudah banyak berubah. Saya terlahir di Kampung Pabelan, dekat Candi Borobudur, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, akhir 1953. Dalam rentang waktu 60 tahunan, banyak yang sudah berubah, sekalipun banyak pula yang masih sama. Jumlah penduduk desa bertambah banyak, namun dari segi ekonomi dan pendidikan tidak banyak berubah. Sawah-sawah di perdesaan Jawa semakin sempit, belum setelah dibagi-bagi pada anak-anak sebagai ahli warisnya, sementara sektor industri hampir-hampir tidak berkembang, khususnya di daerah Magelang.

Sampai tamat SLTA praktis saya habiskan umur saya di Desa Pabelan, baik untuk belajar di tingkat sekolah dasar —dulu namanya SR (Sekolah Rakyat)— maupun sekolah lanjutan di Pesantren Pabelan. Tumbuh sebagai anak di kampung, yang mengasuh seakan seluruh warga kampung karena orang tua saling mengetahui dan menjaga keselamatan anak-anak, sehingga ke mana pun anak pergi bermain, orang tua tidak merasa khawatir. Anak kampung itu tak ubahnya ayam kampung.

Pagipagi dilepas dari kandangnya, sore akan kembali dengan sendirinya dengan perut kenyang. Kelebihan ayam kampung itu bisa cari makan sendiri di kebun, tidak mudah terserang penyakit, daging dan telurnya lebih mahal harganya disbanding ayam negeri yang hidupnya dimanjakan. Untuk menyalurkan kebutuhan bermain bagi anak kampung sangatlah murah dan mudah. Semua alat yang dibutuhkan bisa dibuat sendiri dengan bahan yang tersedia.

Misalnya membuat layanglayang, mobil-mobilan dari kulit jeruk, petasan bambu dengan karbit, main gobak sodor, gundu, adu menyelam di sungai, adu jangkrik, dan masih banyak permainan lain yang sekarang tidak lagi populer. Semasa kecil, masjid merupakan pusat berkumpulnya anak-anak baik untuk bermain di halamannya yang luas maupun di ruang serambi. Bahkan sekali-sekali kami tidur di masjid. Kami belajar membaca Alquran tidak menunggu disuruh siapa pun, tetapi secara suka rela kami belajar di masjid dengan guru yang juga dengan suka rela mengajari kami.

Seiring berjalannya waktu, suasana damai perdesaan yang kami alami dulu sekarang sudah berubah. Listrik masuk desa sungguh sangat signifikan pengaruhnya. Kehadiran televisi telah mengurangi atau mengalihkan aktivitas anak-anak untuk bermain di luar rumah. Saya tak lagi melihat permainan anak-anak yang dahulu sangat populer dari ujung ke ujung desa.

Jumlah sekolah dasar meningkat dengan bangunannya yang permanen. Beberapa remajanya mulai mengenal kehidupan kota, sebagian bekerja sebagai buruh di kota, pekerja bangunan dan jasa angkutan umum. Saya sulit menduga-duga, apa yang menjadi mimpi anak-anak remaja kampung yang dari segi pendidikan mayoritas hanya tamat SD, sebagian kecilnya lagi hanya SMP. Pasti mereka tidak tahu apa itu MEA, Masyarakat Ekonomi ASEAN, tidak juga bonus demografi, yang justru akan menjadi beban jika usia angkatan kerja kitamiskinpendidikan, skill, dan gizi.

Orang tua sering kali bercerita betapa susahnya hidup di zaman Belanda dan Jepang. Tanpa disadari, cerita pahit kenangan masa lalu itu bisa memengaruhi mental miskin warga desa serta tahan banting. Bahwa kondisi sekarang jauh lebih baik ketimbang zaman dulu. Kalaupun di dunia kita kalah, kemenangan di akhirat sudah menunggu asal kita sabar dan tawakal kepada Allah. Kehidupan desa yang saya rasakan semasa kecil, hidup itu sekadar untuk bertahan dan menapaki hari tua sembari berdamai dengan nasib.

Ketika pengaruh kota masuk desa, terutama melalui televisi dan banyak warga kampong yang mulai bekerja di kota, apa pun pekerjaannya, tembok isolasi mulai terbuka. Kemiskinan semakin dirasakan sebagai penyiksaan, tidak bisa lagi dijinakkan dengan membandingkan semasa penjajahan Belanda dan pendudukan Jepang.

Cerita-cerita masa lalu tidak lagi populer, menghilang bersama beragam permainan semasa kecil saya dulu. Yang kemudian muncul adalah tontonan gebyar artis sinetron dan penyanyi dangdut yang mendadak populer dan kaya, yang mungkin sekali menstimulasi anak-anak kampung untuk bermimpi bagaimana mengubah nasib.

Saya sendiri merasa beruntung berhasil menerobos tembok isolasi kampung, lalu bergulat berguru kehidupan di Jakarta sejak 1974. Tetapi setiap pulang kampung, yang muncul adalah rasa empati dan kasihan melihat kondisi perdesaan yang masih tertindas oleh kemajuan kota. Dalam konteks nasional, pemerintah kita memang tidak punya master plan bagaimana membangun perdesaan di Pulau Jawa yang padat penduduk ini. []

KORAN SINDO, 08 Januari 2016
Komaruddin Hidayat  ;  Guru Besar Universitas Islam Negeri  Syarif Hidayatullah

Tidak ada komentar:

Posting Komentar