Jumat, 15 Januari 2016

As'ad Said Ali: Jalan Berliku Perdamaian Afghanistan (Bagian 1)



Jalan Berliku Perdamaian Afghanistan (Bagian 1)
Oleh: As'ad Said Ali

Sejak mengambil alih kekuasaan dari Taliban pada 2001, Hamid Karzai sebagai kepala pemerintahan transisi, dan kemudian terpilih melalui pemilu presiden secara langsung pada 2004 dan 2009, telah bekerja keras membangun landasan negara Islam yang demokratis di Afghanistan. Proses demokratisasi itu kemudian dilanjutkan oleh Presiden Ashraf Ghani, yang terpilih pada September 2014 melalui pemilu langsung.

Selain pemilihan presiden, parlemen (majelis rendah) juga dipilih secara langsung. Sedangkan, senat (majelis tinggi) dipilih oleh perwakilan distrik/provinsi dan sepertiga selebihnya diangkat oleh presiden atas usul badan independen.

Namun, proses demokratisasi itu kini menghadapi ancaman akibat ofensif militer Taliban sejak September 2015 dan Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS) yang juga mulai mengembangkan pengaruhnya. Pemilihan presiden yang telah berlangsung tiga kali dan parlemen sebanyak dua kali disambut antusias oleh masyarakat di tengah ancaman kekerasan dari kekuatan antidemokrasi.

Persoalannya, apakah proses demokratisasi itu bisa terus dipertahankan jika situasi keamanan makin memburuk? Pertanyaan berikutnya, apakah masyarakat internasional membiarkan pembangunan demokrasi hancur oleh kekuatan antidemokrasi?

Ancaman Taliban dan ISIS

Taliban sebagai unsur "destabilisasi", begitu menurut pandangan Barat, sebenarnya telah melakukan perundingan dengan pemerintahan Karzai pada Juni 2015. Namun, pada Juli perundingan itu terhenti setelah meninggalnya Mullah Umar. Kematiannya itu menimbulkan perpecahan di lingkaran pimpinan Taliban mengenai siapa penggantinya.

Meskipun kemudian terpilih Akhtar Mansour (salah satu putra Mullah Umar) sebagai ketua Taliban, perpecahan tidak bisa dihindarkan. Pada 4 Desember 2015, Akhtar Mansour dikabarkan tewas, padahal ia termasuk pendukung proses perdamaian.

Di tengah berita meninggalnya pemimpin baru Taliban itu, ofensif militer dari elemen militan Taliban terus meningkat, bahkan beberapa kali mampu melakukan aksi bom bunuh diri dan bom mobil di dalam Kota Kabul, termasuk instalasi militer pasukan koalisi. Kemajuan ofensif militan Taliban tidak bisa diabaikan setelah pada akhir Desember berhasil merebut Kota Sangin di Provinsi Helmand yang merupakan pusat tanaman mariyuana. Sebelumnya, pada September tahun itu Taliban berhasil merebut Kota Kunduz di wilayah utara Afghanistan, meskipun akhirnya berhasil direbut kembali oleh pasukan pemerintah.

Ofensif militer ini diduga sebagai upaya menguji kemampuan pasukan pemerintah setelah sebagian besar pasukan koalisi internasional pimpinan Amerika Serikat ditarik dan hanya menyisakan sekitar 12 ribu personel dengan tugas sebagai pelatih dan penasihat militer. Moral pasukan Afghanistan juga menurun akibat perbedaan pendapat di antara pemimpin Afghanistan tentang siapa menteri pertahanan sehingga hampir setahun dibiarkan kosong dijabat oleh pejabat sementara.

Para pemimpin Afghanistan menuduh Pakistan berada di balik ofensif militer tersebut, meskipun dibantah oleh Pemerintah Pakistan. Pada periode 1994-2001, intelijen Pakistan (ISI) memang mendukung Taliban merebut kekuasaan dari tangan pemerintahan Mujahidin dengan pertimbangan strategis, terutama mencegah makin kuatnya pengaruh Iran di Afghanistan dan upaya memengaruhi perkembangan di Asia Tengah. Strategi Pakistan ini didukung Amerika Serikat dengan tujuan yang sama.

Melihat ke belakang, sesungguhnya terbentuknya Taliban (dan Alqaidah) adalah produk kebijakan bersama antara AS, Pakistan, dan beberapa negara Arab dalam rangka menghadapi perluasan pengaruh Uni Soviet (komunisme) pada 1980-an. Bentuk dari kebijakan itu adalah radikalisasi pengikut Suni Deobandi di Pakistan dan Afghanistan, khususnya di kalangan suku Pastun dan kemudian mempersenjatai mereka.

Radikalisasi itu juga merupakan bagian strategi Pakistan untuk menghadapi India dalam masalah Kashmir. Pada mulanya mereka tidak diorganisasi dalam suatu kesatuan. Pada akhirnya, Alqaidah dan Taliban serta Taliban di Pakistan (Tehrik-i-Taliban) tidak bisa dikendalikan dan menjadi bumerang berbalik menyerang mantan majikannya.

Beberapa sumber di kalangan intelijen Pakistan menuturkan, Pemerintah Pakistan sejak 2001 tidak lagi membantu Taliban, tetapi unsur pimpinan militer Pakistan yang berasal dari suku Pastun memihak mereka atas dasar ikatan kesukuan. Alasan ini cukup masuk akal karena pada 2008 pasukan Pakistan melakukan operasi besar-besaran memburu Taliban Pakistan karena dianggap melawan pemerintah.

Dengan kata lain, meskipun secara resmi tidak membantu Taliban, Pakistan tidak mampu mencegah adanya bantuan secara diam-diam dari elemen internal di dalam pemerintahan Pakistan kepada Taliban Afghanistan. Berbeda dengan Alqaidah yang melakukan aksi teror di berbagai negara, Taliban hanya melakukan aksi kekerasan di dalam wilayah Afghanistan sendiri dengan target pemerintah dan pasukan koalisi internasional pimpinan Amerika Serikat.

Aksi kekerasan tersebut umumnya dilakukan oleh kelompok militan, khususnya kelompok Hakkani yang sekarang dipimpin oleh Sirajudin Hakkani. Sama halnya dengan Alqaidah dan Taliban, kelompok Hakkani, yang sebelumnya dipimpin oleh Maulawi Jalaluddin Hakkani, adalah sekutu Amerika Serikat dan Pakistan dalam berjuang melawan Uni Soviet.

ISIS akhir-akhir ini juga meningkatkan kegiatan dan konsolidasi kekuatan. Jumlah aktivis ISIS di Afghanistan telah mencapai sekitar 3.000 orang dan telah meningkatkan propaganda dengan membangun stasiun radio di perbatasan Afghanistan-Pakistan, bahkan sampai ke Jalalabad (Afghanistan). Aksi kekerasan juga mulai dilakukan berupa aksi peledakan dan penculikan untuk menimbulkan rasa takut.

Beberapa negara mempunyai berbagai kepentingan strategis, politis, dan ekonomis di Afghanistan. Negara yang berpenduduk sekitar 35 juta itu terletak di tengah antara negara Asia Tengah (Tajikistan, Uzbekistan, Kazakhstan, Turkmenistan, Kirgistan), Iran, Cina (Xin Chiang), Pakistan, dan India. Pada abad pertengahan, Afghanistan adalah bagian dari rangkaian jalur sutera yang menghubungkan Asia Selatan, kawasan Timur Tengah, dan Cina.

Pada masa lalu, kepentingan strategis dan politis seperti itu sangat menonjol dan hal itu masih dirasakan hingga kini. India dan Pakistan, misalnya, saling bersaing untuk berebut pengaruh terkait masalah Kashmir. Pakistan dituduh India memanfaatkan Taliban Afghanistan untuk menekan India di Kashmir.

Sebaliknya, Pakistan juga menuduh India memanfaatkan warga Afghanistan yang tinggal di perbatasan Afghanistan-Pakistan untuk mengganggu Pakistan, khususnya gangguan stabilitas di Provinsi Baluchistan. Untuk memelihara pengaruhnya di Afghanistan, pada 2015 India memberikan bantuan berupa 25 helikopter tempur dan membangun gedung  parlemen Afghanistan yang baru diresmikan oleh PM India Narendra Modi pada pertengahan Desember lalu. []

REPUBLIKA, 12 Januari 2016
As'ad Said Ali | Tokoh Nahdlatul Ulama (NU)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar