Ibu
Oleh: M.
Quraish Shihab
Ibu—Mama, Mami, Mak, atau apa pun
kata yang digunakan manusia untuk memanggil siapa yang
melahirkannnya—kesemuanya merupakan kata panggilan yang paling mesra dan tulus
yang dikenal oleh umat manusia.
Ibu
adalah belasungkawa ketika anak sedih, harapan ketika asanya putus, kekuatan
ketika kelemahannya tampil. Yang kehilangan ibu kehilangan dada tempat
bersandar, tangan yang membelai, dan mata yang penuh kasih memandang dan
menjaga.
Sekian
banyak kata yang telah diketahui manusia, sekian banyak kalimat yang telah
disusunnya, sekian banyak bahasa dan peribahasa yang pernah diucapkan, bahkan
diketahui. Namun, tetap saja itu semua belum cukup untuk menggambarkan
bagaimana kasih sayang, pembelaan, dan pengorbanan ibu bagi anak-anaknya.
Dapatkah
persembahan ibu kepada anaknya dinamai cinta atau dorongan
naluri? Kalau menanyakan kepada “rasa”, maka jawabannya: Tidak. Walau pikir
boleh jadi mengiyakan. Mengapa tidak? Karena persembahan ibu lebih daripada
cinta. Bukankah cinta dapat layu? Bukan juga sekadar dorongan karena ia pasti
mewujud walau tanpa dorongan.
Dapatkah
ia dinamai kasih sayang? Ini pun belum cukup karena persembahannya melampaui
batas kasih. Dapatkah itu dinamai pengorbanan? Tidak juga karena dalam
pengorbanan ada sedikit kepahitan, sedang pengorbanan ibu terasa manis olehnya,
manis begitu melihat mata anaknya disentuh oleh sikap ibunya yang dinamai
“pengorbanan” itu.
Sebaliknya,
apa yang dipersembahkan anak kepada ibunya tiada artinya setelah perut ibu
menjadi tempat tumbuh anak. Payudaranya menjadi wadah minumnya, bahkan
minumannya, dan pelukannya menjadi selimut yang menghangatkannya. Ia menahan
kantuk ketika anaknya sakit, berbisik ketika anaknya tidur, dan memberinya
makan ketika anaknya lapar, kendati ia sendiri lapar.
Tiada
bantal yang lebih empuk dan lebih nyaman daripada dada ibuku, denyut jantungnya
adalah ketukan-ketukan yang membuaiku, nyanyiannya adalah musik yang
menidurkanku. Aku walau telah dewasa, masih kecil jika berhadapan dengannya.
Ketika tua pun aku masih kanak-kanak saat bersamanya. Aku masih senang berada
di pembaringannya walau aku telah berumah tangga. Aku merengek tanpa malu, aku
menciumnya tanpa puas, aku berlutut dengan bangga di hadapannya. Setelah
kepergiannya menemui Tuhan pun bayangannya masih saja berbekas dan suaranya
masih mengiang di telingaku.
Jika
demikian, sungguh wajar kitab suci menggandengkan perintah patuh kepada Allah
dengan perintah bakti—sekali lagi bakti, bukan sekadar patuh—kepada
orangtua. Sungguh tepat ketika Nabi Muhammad saw. menyebut ibu, lalu ibu, lalu
ibu baru kemudian ayah. Sungguh bermakna ungkapan yang dinisbahkan kepada Nabi
saw.: “Surga di bawah telapak kaki ibu.” Semoga kita dapat berbakti kepada ibu
saat hidup dan setelah kepergiannya. Amin.
Demikian , wa Allah A’lam. []
Tidak ada komentar:
Posting Komentar