Pesantren
Oleh: Komaruddin Hidayat
Sejak awal mula, pesantren merupakan pusat pendidikan keagamaan di
daerah perdesaan yang dipimpin seorang kiai. Dari segi bahasa, kata pesantren
dan kiai yang berasal dari bahasa Sansekerta sudah menunjukkan produk
akulturasi budaya Islam dan Hindu. Santri artinya pelajar, tempatnya disebut
pesantren. Lembaga pendidikan pesantren memiliki keunikan tersendiri yang masih
bertahan sampai hari ini. Di situ ada figure sentral yang disebut kiai,
bagaikan sumber mata air keilmuan yang menarik para santri berdatangan dan tinggal
di asrama berdekatan dengan rumah kiai.
Di zaman penjajahan, pesantren merupakan basis perlawanan terhadap
penguasa, baik karena alasan agama maupun membela Tanah Air. Penjajah Belanda
waktu itu diidentikkan dengan orang kafir (Kristen) dan pesantren di mata
penjajah diposisikan sebagai basis perlawanan umat Islam terhadap penguasa.
Oleh orang kota, komunitas pesantren sering kali dipersepsikan sebagai orang
kampungan karena memang lahir dan besar di kampung, bahkan belajarnya juga di
kampung.
Oleh orang kota, mereka dianggap tidak terpelajar—padahal kata
santri itu sendiri berarti pelajar— hanya karena orang pesantren waktu itu
umumnya buta huruf dan buta bahasa Eropa. Di pesantren yang dipelajari hanyalah
kitab-kitab klasik berhuruf Arab yang kertasnya sudah menguning sehingga
popular dengan sebutan kitab kuning, yaitu kitab keagamaan yang dikarang oleh
ulama klasik. Mayoritas pesantren dimiliki kiai yang berafiliasi kepada NU.
Adapun Muhammadiyah lebih fokus membangun lembaga pendidikan model
sekolah yang kebanyakandidirikandiperkotaan sehingga warga Muhammadiyah sering
dipersepsikan sebagai orang-orang modernis dan warga NU sebagai orang-orang
tradisionalis. Lembaga pendidikan Muhammadiyah dimiliki oleh perserikatan,
sedangkan lembaga pesantren umumnya dimiliki oleh pribadi kiainya.
Seiring dengan perkembangan zaman, dunia pesantren banyak
mengalami perubahan. Pembedaan dikotomis pemahaman keagamaan antara warga
Muhammadiyah dan NU juga mengarah pada konvergensi. Dunia pesantren mulai
mengadopsi sistem sekolah, sementara beberapa sekolah Muhammadiyah mengadopsi
sistem pesantren meskipun jumlahnya lebih banyak pesantren yang mulai
memberlakukan sistem sekolah di pagi harinya.
Karena ciri pesantren ditandai dengan adanya sosok kiai, kualitas
dan popularitas kiai sangat menentukan terhadap kualitas dan popularitas
pesantrennya. Kurikulum pendidikan pesantren berlangsung selama 24 jam di
bawahpengawasandanbimbingan kiai dan para pembantunya yang disebut ustaz atau
guru. Model pendidikan seperti itulah yang saya masuki setelah tamat SR
(sekolah rakyat), yaitu Pondok Pesantren Pabelan, Magelang, Jawa Tengah. Lokasi
pesantren itu hanya 10 menit bila ditempuh dengan berjalan kaki dari rumah
saya.
Sebelum masuk pesantren, ayah saya menyuruh belajar pertukangan
kayu di STK (Sekolah Teknik Kanisius) Muntilan. Namun tidak sampai setahun saya
keluar karena merasa kurang tertarik, di samping mesti jalan kaki ke kota.
Ketika almarhum Kiai Hamam Ja’far membuka Pesantren Pabelan pada 1965, saya
bersama 28 santriwansantriwati berbaur di kelas yang sama, merupakan santri
angkatan pertama. Pusat belajar kami di serambi masjid, dilengkapi meja dan
bangku layaknya sebuah ruang kelas. Meski begitu kami belajar sangat serius.
Para guru atau ustaz masuk kelas dengan mengenakan dasi. Kami
belajar sangat disiplin. Malam hari pun kadang ada kelas. Setidaknya ada jam
wajib belajar. Hidup di pesantren dari bangun tidur sampai mau tidur diatur
dengan jadwal. Beberapa nilai pesantren yang merupakan living values serta
selalu dijaga dan ditaati adalah, pertama, persaudaraan.
Bayangkan saja, setiap hari 24 jam berkumpul, belajar, dan hidup
bareng selama beberapa tahun, maka terbentuk suasana persaudaraan yang akrab.
Di pesantren pantang terjadi perkelahian. Risikonya dikeluarkan. Kedua,
kesederhanaan. Di pesantren tumbuh suasana hidup sederhana.
Santri dikondisikan untuk merasa malu kalau bermewah diri melebihi
saudaranya yang lain dengan membanggakan kekayaan orang tuanya. Ketiga, cinta
ilmu. Belajar di pesantren tidak ditanamkan untuk mengejar ijazah. Kalaupun ada
ujian, itu bagian dari belajar, bukan belajar untuk lulus ujian. Oleh karenanya
di pesantren mencontek itu aib besar. Keempat, berwawasan luas. Kami diajari
untuk menatap kehidupan lebih luas karena panggung kehidupan yang telah menanti
tidak sebatas ruang kelas.
Dunia itu luas, isinya sangat beragam. Jangan mudah kagetan
(terkejut), jangan mudah gumunan (silau dan kagum), janganmudah membenci.
Kelima, mandiri. Di pesantren kami selalu diingatkan agar bisa dan berani hidup
di atas kaki sendiri. Jangan bermentallembek, selaluinginmencari sandaran dan
belas kasih orang. Pekerjaan apa pun mulia di mata Allah asal halal dan tidak
merepotkan orang lain. Keenam, ikhlas.
Jalanilah hidup dengan ikhlas, jangan ciut hati ketika dicela dan
dikritik, jangan pula lupa diri ketika dipuji. Setialah pada hati nurani karena
hati nurani penghubung terdekat kepada Allah. Demikianlah, angkatan pertama
santri Pondok Pabelan hanya bertahan empat tahun yang semuanya memang berasal
dari Desa Pabelan. Satusatu selepas itu keluar. Ada yang bekerja sebagai kusir
andong, ada yang bertani, berjualan martabak di kota, menjadi sopir truk,
kondektur bus, membantu administrasi pesantren, jadi ibu rumah tangga, dan
lainlain.
Saya sendiri lalu pindah meneruskan ke Madrasah Aliyah Al-Iman,
Muntilan. Saya hanya setahun di sekolah yang baru ini semata untuk mendapatkan
ijazah setingkat SLTA. Tanpa ijazah SLTA saya tak mungkin diterima sebagai
mahasiswa. Terima kasih pesantren, kau laksana ibu kandungku yang telah
mendidik dan membesarkan diriku. Saya sedih dan prihatin ketika ada beberapa
teroris yang membawa-bawa nama pesantren, padahal setahu saya para kiai itu
sangat menekankan kedamaian, kerukunan, dan keramahan sekalipun terhadap mereka
yang bukan muslim.
Justru karena sikap kiai yang seperti itu, dulu Islam sangat mudah
diterima masyarakat perdesaan di Pulau Jawa yang semula beragama Hindu-Buddha
atau penganut kepercayaan lokal. []
KORAN SINDO, 22 Januari 2016
Komaruddin Hidayat ; Guru Besar Universitas Islam
Negeri Syarif Hidayatullah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar