Jumat, 08 Januari 2016

Kang Sobary: Bulan Tak Ada yang Punya



Bulan Tak Ada yang Punya
Oleh: Mohamad Sobary

Kalau kau mati gadis kecil berkaleng kecil Bulan di atas itu tak ada yang punya Dan kotaku, ah kotaku Hidupnya tak lagi punya tanda (Toto Sudarto Bachtiar)

Hampir seminggu berlalu kita menyambut Tahun Baru. Seminggu belum lama. Dan, kita ingat suasana ingar-bingar malam itu.

Rasanya kita seperti hidup di suatu dunia lain, yang begitu nyaman, seperti bukan di Jakarta yang kita kenal sehari-hari. Di sebuah perkampungan yang padat, kami memasang tenda-tenda besar mengelilingi panggung tinggi dan kekar. Orang turun-naik untuk mencoba merasakan kekuatan panggung itu. Sudah biasa, di tengah hunian penduduk yang campur aduk asal-muasalnya, dibangun panggung seperti itu. Ini panggung bebas, milik seluruh warga.

Sebuah panggung buat sebuah pesta: pesta rakyat. Kebebasan, sesuatu yang memang jarang ada pada malammalam lain, saat itu mewarnai kehidupan kita. Kebebasan itu mungkin hakikatnya tak bisa dilukiskan dengan ungkapan kata-kata yang paling canggih sekalipun. Bersama angin malam yang sejuk, dan bintangbintang yang mengintip dari kejauhan, kita seperti dilepas dari ingatan dan segenap kesadaran akan kewajiban yang menjadi beban hidup yang berat dan menekan kita setiap hari.

Pikiran dan perasaan terasa begitu enteng. Dan, kita pun menyanyi, seperti bukan dengan suara kita sendiri. Kita menari tanpa beban. Kaki, tangan, perasaan, seperti bukan milik kita sendiri. Ada sejenis kegembiraan yang asing. Dan, kita tidak tahu di bagian mana. Manusia berjejal-jejal. Nyata bahwa yang hadir di tempat itu bukan hanya warga di lingkungan tempat tinggal kami. Orangorang dari jauh turut hadir dan memenuhi ruang kosong yang terbatas.

Para pedagang, mungkin terutama penjual terompet, para pelancong, terutama mudamudi zaman sekarang, naik motor bergelantungan lebih dari tiga orang di satu motor yang terbatas sambil berteriakteriak satu sama lain. Pejalankaki meniupterompet dengan sepenuh perasaan. Para pengendara mobil meniup terompet. Jugaanak-anakmuda di atas motor mereka. Kemudian bunyi petasan dan kembang api.

Bumi seperti bergoyang. Bunyi terompet seperti jerit sangkakala yang ditiup dari langit yang jauh. Suara begitu gemuruh. Serbariuh rendah. “Ini pesta apa kiamat?” teriak seseorang di tengah keriuhan itu. “Pesta,” jawab yang lain. “Mengapa pesta begini liar?” teriak orang itu lagi. “Ini pesta besar,” jawab yang lain. “Pesta harapan,” jawab yang lain lagi. Ini pesta menyambut Tahun Baru. Kita mengerek bendera harapan baru. Kaum pedagang meminta kemajuan besar di dunia perdagangan.

Para pegawai kantor berdoa meminta kenaikan gaji dan fasilitas hidup yang mencukupi. Rakyat di desa-desa maupun di kota-kota, yang bukan pedagang, bukan orang kantoran, meminta kemakmuran yang adil dan merata. Politisi tahu apa yang mereka minta, tanpa harus menyebutkannya. Mereka bilang, meminta harus taktis dan strategis agar yang diminta tercapai, tanpa banyak kata-kata.

Para rohaniwan meminta lebih banyak lagi: kemakmuran dunia-akhirat, hartamelimpah, dan keluarga bahagia. Para gelandangan dan peminta-minta termangumangu. Semua sudah diminta. Apa yang menyenangkan dan membawa rasa bahagia sudah diminta orang lain. “Kita mau minta apa?” “Sisanya saja?” “Sudah tak tersisa lagi”

***

Malam makin larut. Udara di tanah terbuka terasa lebih dingin menggigit wajah-wajah yang mulai mengantuk dan lelah. Di atas panggung itu musik dan suara penyanyi seperti makin keras makin tak terkendali, tapi sudah kehilangan semangat dan jiwa yang menggelora, yang meminta Tahun Baru menjadi lebih baik dan lebih baik lagi. Suara mereka tinggal ampas, tinggal debu, tinggal sisa-sisa tak bermakna.

Mungkin dalam malam dingin seperti itu dulu sastrawan Soekanto SA, menemukananakanak kecil, anak-anak tak berayah tak beribu di jalanan, yang disebutnya “anak-anak malam”, yang dikisahkannya di dalam novel berjudul Anak-AnakMalam yang diterbitkan Pustaka Jaya pada tahun 1970-an. Anak-anak itu dibawa pulang, diberi tempat di rumahnya, dan diasuh dengan baik seperti mengasuh anaknya sendiri. Kemanusiaan bisa juga kebapakan terasa di dalam jalinan kisah mengharukan itu.

Soekanto sendiri Pak Kanto yang mengajari saya menuliscerpen, denganpenuhfilosofi hidup yang mendalam, mungkin tak sempat terharu. Spontanitas kemanusiaannya yang berbicara, dengan segenap komitmen hidup, untuk menolong “bocah-bocah” itu tanpa berpikir mengenai untung-ruginya. Menolong ya menolong. Jauhkansegenappamrih. Kecuali untuk menolong itu sendiri. Dan, di sepanjang cerita dalam buku tersebut, hanya itu yang “berbicara”.

Selebihnya sunyi. Sesunyi malam di jalanan yang hampir tak ada lagi kendaraan kecuali becak-becak yang minggirmencarikehangatandipojokan yang gelap. PenyairToto SudartoBachtiar memandang anak jalanan dengan sudut pandang lain lagi. Dia kagum pada seorang anak peminta-minta, yang disebut Gadis Kecil Peminta-minta, dan menjadi judul puisinya. Gadis kecil itu selalu membawa kaleng kecil. Dia kagumi ketulusannya.

Dia bangga melihat senyumnya. Tapi, dia bukan Soekanto SA, yang lebih merupakan seorang bapak? Seperti disebut di atas, Soekanto lebih menuruti dorongan spontanitasnya: suara hati nurani yang tak pernah berhitung tentang untung rugi tadi. Penyair Toto Sudarto mengambil jarak. Dia melihat anak itu dari kejauhan, sambil berdendang, seperti ditulis di awal tulisan ini: “Kalau kau mati, gadis kecil berkaleng kecil/Bulan di atas itu tak ada yang punya/Dan kotaku, ah kotaku/Hidupnya tak lagi punya tanda”.

Penyair Toto Sudarto melihat anak kecil itu dengan kepentingan, mungkin kepentingan estetik. Dan, berhenti di situ. Estetika kelihatannya lebih penting dari kemanusiaan dan hasrat menyelamatkan harga kemanusiaan orang lain, yang dengan gigih dibela Soekanto SA. Tak mengherankan bila Toto Sudarto kurang memberi hak hidup anak itu. Dia mengutamakan estetika dan memberi anak itu hak memiliki bulan.

Maka bila “kau mati, anak kecil berkaleng kecil/Bulan di atas itu tak ada yang punya”. Jadi dalam kemiskinannya, “gadis kecil berkaleng kecil” itu boleh memiliki bulan. Tapi, kita tidak tahu, untuk apa “memiliki bulan”? Bukankah lebih merupakan kebutuhan riilnya kalau dia diajak “memiliki hidupnya” seperti dilakukan Soekanto SA tadi? Penyair ini menyesali: “Dan kotaku, ah kotaku/ Hidupnya tak lagi punya tanda” Apakah maksudnya kemiskinan, yang direpresentasikan gadis kecil berkaleng kecil itu, dianggap sebagai tanda bagi kotanya?

Hilangnya si gadis kecil berkaleng kecil sebagai hilangnya sebuah tanda? Kalau begitu, apakah sang penyair bermaksud mengabadikan kemiskinan, berlawanan dengan sikap hidup novelis Soekanto SA, yang turut sibuk melawan kemiskinan, dan jika mungkin menghapuskannya? Pesta rakyat buat menyambut Tahun Baru tetap menyisakan kemiskinan. Bulan di atas itu tak ada yang punya.

Apakah itu masalah besar bagi gadis kecil berkaleng kecil bagi kemanusiaan yang lebih membutuhkan hidup nyata, dibanding bayangan keindahan bulan yang tak enak dimakan? Maka, bulan di atas itu tak ada yang punya, bukan masalah kita. []

KORAN SINDO, 06 Januari 2016
Mohamad Sobary | Esais Anggota Pengurus Masyarakat Bangga Produk Indonesia, untuk Advokasi, Mediasi, dan Promosi. Penggemar Sirih dan Cengkih, buat Kesehatan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar